Alvaro menepati perkataannya. Dia berhenti tepat di salah satu rumah makan cepat saji. Dia memarkirkan motor itu, lalu menoleh ke belakang. "Ayo turun!"
"Enggak usah, Om. Saya pulang saja." Azlina menolak dengan sopan. Bukannya apa, tak baik menerima makanan dari orang yang tak dikenal. Apalagi orang itu baru pertama kali ditemuinya. Bagaimana jika Azlina dijebak seperti yang ada di dalam cerita novel itu. Diberi obat mantap-mantap, lalu diperkosa tanpa sadar. Membayangkannya saja dia sudah bergidik ngeri.
Azlina menggelengkan kepala setelah berusaha mengusir pikiran buruknya tentang itu. Namun, perkataan Alvaro selanjutnya membuat pikiran Azlina berubah.
"Udah, turun saja. Anggap aja aku gantiin biaya sewa motor kamu."
Azlina tampak berpikir lagi, lalu mengangguk. Benar juga, dia sudah teramat rugi karena mengantar Om aneh itu ke mana-mana. Anggap saja ini sebuah imbalan karena dia sudah dilibatkan dalam situasi yang tidak mengenakkan.
Tak ada alasan lain bagi Azlina untuk menolak. Akan tetapi, hatinya masih waswas. Pertemuan tak terduga dengan kakak iparnya di hotel tadi pagi membuat pikiran Azlina tidak tenang. Bagaimana jika kakak iparnya menceritakan kejadian di hotel itu kepada kedua orang tuanya? Ah, sungguh perasaan Azlina menjadi gelisah.
Hingga kakinya sudah memasuki area rumah makan cepat saji, dia duduk di salah satu kursi kosong yang berada dekat jendela kaca.
"Kamu pesan apa?" tanya Alvaro setelah ikut duduk di meja yang sama.
"Ayam goreng ...." Azlina belum sempat menyelesaikan perkataannya, tetapi Alvaro segera menyelanya.
"Ayam goreng satu, lalu?"
"Ayam goreng paha lima, kentang goreng lima, burger yang big lima. Jangan lupa dengan cola lima!" ucap Azlina tak memedulikan raut wajah Alvaro yang tampak terkejut.
"Selera makanmu seperti kuli, ya?"
Azlina meringis menanggapi. Dia menggeleng kemudian. "Buat oleh-oleh," ucapnya dengan sedikit malu.
...***...
"Terima kasih, Om. Lain kali traktir lagi, ya?"
Alvaro hanya memutar bola mata malas. Tidak menyangka niat baiknya malah dimanfaatkan gadis itu dengan memesan banyak makanan. Akan tetapi, itu tidak jadi soalan, karena berkat Azlina, dia bisa melarikan diri dari perjodohan itu.
Azlina menaiki motor, mengenakan helm kesayangannya, lalu membuka kaca depannya. Dia mengangguk sopan kepada Alvaro. "Pulang dulu, Om. Assalamu'alaikum."
Tanpa menunggu jawaban dari Alvaro, Azlina bergegas melajukan motor itu, meninggalkan Alvaro di depan rumah makan cepat saji.
Alvaro menatap punggung Azlina yang sudah menghilang di balik kelokan. Dia merogoh saku celananya, mengambil Smartphone yang sedari tadi dia matikan.
Ujung ibu jarinya menekan tombol power pada Smartphone itu, dan sesaat benda pipih itu menyala, rentetan pesan masuk dan panggilan tidak terjawab membanjiri notifikasi.
Memilih abai, Alvaro segera menghubungi seseorang yang sejak tadi ingin ditemuinya. Ya, dia adalah wanita yang disukai oleh Alvaro. Wanita incaran yang belum bisa dia taklukkan, Almeera.
...***...
Hampir dua puluh menit berlalu, Azlina akhirnya sampai di depan rumah. Segera dia tepikan motor itu setelah masuk di pekarangan rumahnya yang tampak tidak terlalu luas. Dia melepaskan helmnya, merapikan poni yang panjangnya sebatas alis. Setelah dirasa sudah rapi, dia mengambil kantung makanan hasil rampokan dari Om aneh yang tanpa sengaja dia temui tadi pagi.
Lumayan berat barang bawaannya, hingga Azlina menopang beban itu menggunakan kedua tangannya. Sejenak dia berhenti ketika mencapai ambang pintu. Dilihatnya di dalam ruang tamu yang tidak terlalu luas itu sudah terdapat banyak orang duduk melingkar dengan raut muka serius.
Tubuh Azlina tiba-tiba merasa gemetar, menangkap wajah sang Kakak Ipar telah menatapnya dengan tajam. Dia menelan ludah, takut bercampur ngeri.
Di sana ada kedua orang tuanya, Mbak Salwa yang didampingi suami tercinta, Sean Paderson, juga kedua kakak laki-lakinya, Ahsan dan Alfatih. Ya, Azlina adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Dia tak menampik pemikiran bahwa, semua orang yang sedang memasang wajah serius itu telah menanti kedatangannya.
Apa yang terjadi? Mengapa semua orang berkumpul di sini?
Sampai ketika Azlina mengucapkan salam, semua orang beralih menatapnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullah," jawab mereka yang hampir bersamaan.
Azlina masuk dengan ragu. Dia menunduk, melewati semua orang begitu saja, ingin segera meletakkan makanan yang baru saja dibawanya dari rumah makan cepat saji pemberian Alvaro.
Tepat ketika dia ingin memasuki dapur, suara Ibu terdengar memanggilnya.
"Azlina!"
Dia menghentikan langkah, tanpa menoleh ke belakang, menunggu ucapan Ibu berikutnya.
"Dari mana kamu?"
Azlina tidak terkejut. Dia mengerti arah pembicaraan Ibu. Melihat Kakak Ipar telah menatapnya dengan tajam sudah membuat pertanyaannya terjawab dengan sendirinya.
Azlina meletakkan makanan itu di meja di sisi luar dapur, dia membalikkan tubuhnya, lalu melangkah kembali ke ruang tamu. Dia menunduk, memasang wajah takut, juga menyesal. Akan tetapi, dalam hatinya dia merasa tidak bersalah. Tidak ada yang perlu dia takutkan dan cemaskan. Langkah Azlina terhenti tepat berada di depan Ibu. Tangannya meremas jaket yang belum sempat terlepas dari tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan di hotel, Nak? Jangan membuat Ibuk dan Bapak malu." Ibu Darmini menanyai Azlina dengan disaksikan oleh banyak orang yang mana saat ini pandangan semua orang terpusat padamya.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Buk. Semuanya hanya salah paham. Saya tidak mengenal Om itu."
"Tapi kalian kabur bersama. Semua orang menyaksikan itu." Kakak Ipar menyela perkataan Azlina. Sorot matanya menajam, menusuk secara langsung tepat di hati Azlina. Azlina takut dengan tatapan tajam yang seperti itu, hingga kakaknya, Salwa, menahan Kakak Ipar agar tidak terlalu larut dalam emosi.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Om. Sungguh! Saya kebetulan lewat, lalu om itu tiba-tiba menghadang saya di depan rumahnya. Dia memaksa saya agar mengantarnya ke hotel. Hanya itu, tidak lebih." Azlina berganti menatap ke arah Ibu, lalu memegang tangan Ibu. "Ibu percaya, kan?"
Tampak Ibu Darmini mengangguk, mengusap wajah Azlina di bagian pipi. "Anda dengar sendiri, kan, Tuan. Putri saya tidak tahu apa-apa tentang kaburnya anak Tuan. Dia hanya dipaksa untuk mengantar ke suatu tempat. Tidak lebih."
Perkataan Ibu Darmini membuat Azlina terkesiap. Dia menoleh ke arah kursi di paling ujung. Dan terlihat sosok paruh baya yang mengenakan pakaian rapi telah duduk di antara mereka.
Siapa orang itu?
Sejak kapan dia ada di sini?
Lelaki paruh baya itu mengangguk menyetujui, tetapi tetap saja dia masih membutuhkan banyak informasi dari Azlina.
"Ke mana dia pergi?" tanya lelaki paruh baya itu yang ternyata ayah Alvaro.
Azlina menggeleng. Dia tidak tahu ke mana Om aneh itu berada, tetapi dia mengingat bahwa sebelum dia pergi, Alvaro tertinggal di rumah makan cepat saji.
"Saya meninggalkannya di salah satu rumah makan cepat saji di jalan Pahlawan, Om. Setelah itu, saya tidak tahu ke mana om itu pergi."
Ayah Alvaro tampak mendesah kasar. Dia menyugar rambutnya yang sebelumnya tertata rapi. Ya, anak semata wayangnya itu selalu membawa masalah hingga tumbuh dewasa. Entah sampai kapan Alvaro bisa berubah menjadi lelaki dewasa yang matang jika perilakunya masih saja seperti anak-anak.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Rita
pertemuan yg berkesan ya 😅
2023-03-25
0
Nasya Lau
mampir lagi, tapi ini sudah end so hanya bisa like, tapi komen jarang, maaf ya Thor, tapi makasih ceritanya bagus
2022-10-22
0
Sham Estelle
😄🤣🤣🤣 sean sentiasa menyeramkan...dia hanya takut pada salwa
2022-04-20
1