"Kamu jangan bikin Papa malu, Al!" Wajah pria paruh baya itu tampak lesu. Dia menggenggam hasil laporan penjualan bulan ini. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja berlapis kaca tebal dengan sebuah foto keluarga yang terpasang di pigora kecil berwarna hitam terletak di ujung meja.
Ruangan itu di dominasi warna putih dan hitam. Warna monocrom yang merupakan warna maskulin, menjadi ciri khas ruangan pria. Di bagian jendela kaca yang menampilkan pemandangan dari lantai empat puluh telah terpasang tirai berwarna abu-abu yang dibiarkan terbuka, memberi akses sinar matahari untuk menyinari ruangan gelap itu, sementara bagian atas dinding dihiasi ornamen kayu klasik berpelitur yang ditata rapi di atas rak-rak tempel yang merekat kuat di dinding. Ada sofa panjang berwarna senada, yaitu charcoal yang berada di sudut ruangan dengan Alvaro duduk sembari menaikkan sebelah kakinya tak sopan. Lelaki itu selalu bersikap santai di depan papanya.
"Itu sudah naik satu persen lebih tinggi dari bulan lalu. Memang Papa mau naik sebanyak apa? Jangan serakah, deh, Pa. Kasih kesempatan perusahaan yang masih merangkak untuk berkembang."
Papa Agus yang merupakan pemilk perusahaan yang bergerak dibidang Jewelry itu hanya bisa menghela napas kasar menanggapi cara pandang anaknya. Bagaimana bisa Alvaro harus merelakan perusahan berkembang secara stagnan tanpa ada perubahan yang berarti hanya demi memberi kesempatan perusahaan-perusahaan kecil yang baru merintis dengan dalih agar tidak serakah. Semua perusahaan pasti berlomba-lomba mencari keuntungan sebanyak-banyaknya agar tidak sampai mengalami defisit pada suatu saat nanti. Akan tetapi, pola pikir Alvaro sangatlah meresahkan.
Papa Agus merasa anaknya itu harus diberikan tanggung jawab agar pola pikirnya berubah. Mungkin, karena Alvaro masih lajang sehingga dia tidak berpikir panjang dalam mengambil sikap. Lelaki itu hanya menangkap satu masalah hanya dari satu sisi saja. Seyogyanya permasalahan akan lebih mudah teratasi jika kita mampu mengubah sudut pandang. Dan itu membutuhkan tingkat kedewasaan yang sebenarnya, mengabaikan keegoisan atau pun rasa paling benar sendiri dalam diri. Berupaya menerima segala masukan dari orang-orang baik yang berkompeten atau yang sekadar sok tahu, lalu menyaringnya hingga menemukan solusi yang tepat.
Sampai ketika Papa Agus memutuskan menjodohkan Alvaro dengan Liora. Gadis cantik yang merupakan anak salah satu rekan bisnisnya, dan tentunya cerdas dengan pendidikan tinggi, berharap Alvaro berubah menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab setelah mendapatkan istri. Namun, semua rencana itu hanya tinggal rencana. Alvaro dengan sikap kekanak-kanakannya justru kabur di hari pertunangan mereka dan membuat Papa Agus malu.
"Papa gak mau tahu. Pokoknya bulan ini, Papa minta kamu membuat sebuah gebrakan hebat untuk membuat perusahaan menjadi lebih baik, atau Papa akan mencari manager lain untuk menggantikan posisimu."
Terdengar helaan napas berat dari Alvaro. Dia menilik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir waktu makan siang sehingga ada alasan bagi Alvaro untuk kabur. Mendengar ceramah panjang lebar sang Papa pasti membuat perutnya meronta menuntut untuk segera diisi.
Alvaro beranjak dari duduknya, mengabaikan sang Papa yang masih mempelajari laporan penjualan itu dengan saksama, melangkah menuju pintu keluar. Namun, sebelum langkahnya berhasil mencapai bibir pintu, Papa Agus memanggilnya.
"Mau ke mana kamu?"
"Eh! Em, mau makan siang, Pa." Alvaro tampak sedikit celingukan, menggaruk tengkuk kepalanya yang mendadak gatal tanpa sebab.
"Siapa yang menyuruhmu keluar? Papa masih belum selesai."
"Ayolah, Pa. Ini sudah waktunya makan siang. Apa Papa tidak lelah ceramah hampir dua jam hanya untuk membahas hal yang sama?"
Papa Agus hanya menggelengkan kepala, mendengar jawaban Alvaro yang selalu menganggap remeh apa yang telah dikhawatirkannya. Hingga sebuah ide tercetus dalam pikiran lelaki paruh baya itu, memunculkan seringai licik untuk mengerjai anaknya.
"Besok *anniversary* Mama dan Papa. Papa terlupa membeli bunga. Kau bisa membantu Papa membelikan bunga untuk Mama?"
Hanya bunga, sangat mudah, bukan?
"Oh, tentu saja. Papa tidak perlu mencemaskan itu. Varo akan membelikan bunga yang terbaik dan tercantik untuk Mama." Senyum Alvaro mengembang, menunjukkan sebuah kebanggaan dalam dirinya.
"Bagus. Carikan bunga edelweiss segar. Papa minta nanti malam bunga itu sudah ada di rumah."
"A-apa? Bunga edelwiss segar?" Alvaro berseru, terkejut dengan bunga apa yang diminta sang Papa. Akan tetapi, pria paruh baya itu tampak serius dengan permintaannya.
"Apa kau tidak mampu mencari hanya seikat bunga saja untuk Mama?"
"Tentu saja itu hal kecil untukku, Pa. Hanya saja, banyak sekali jenis-jenis bunga indah, tetapi mengapa Papa malah memilih edelweiss untuk hadiah *anniversary* kalian?"
Papa Agus tampak tersenyum, dia menegakkan punggungnya, lalu menyandarkan ke punggung kursi putarnya. "Edelweiss, bunga keabadian. Karena cinta Papa untuk Mama adalah abadi. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya cinta dalam sebuah pernikahan. Meskipun aku menjelaskannya beribu-ribu kali kepadamu, kau tak akan memahaminya."
"Ya, ya, ya. Kalian saling mencintai, sehidup semati, hingga maut memisahkan. Itu yang selalu Papa pamerkan kepadaku, kan?" Varo menggeleng kemudian, menatap serius ke arah Papa Agus. "Belum ada wanita yang cocok untuk masa depan Varo, Pa. Jadi Papa harus lebih bersabar, ya?"
Tanpa menunggu reaksi Papa Agus, Alvaro segera melangkah pergi, keluar dari ruangan itu. Ada hal paling penting yang harus dia kerjakan, yaitu mencari bunga edelweiss segar sesuai permintaan papanya. Entah di mana dia harus mencarinya, karena bunga langka itu diperjualbelikan secara bebas hanya dalam kondisi kering saja.
Oh, Papa. Kenapa permintaanmu selalu di luar akal sehat?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Bzaa
cari di Bogor banyak.... tinggal naik dikit ke gede ato salak 😁
2023-04-12
0
Rita
supaya kamu ada kerjaan yg nguras pikiran ma tenaga
2023-03-25
0
Tiktok: misshel_author
bunga deposito lebih abadi dan membekas Pah, 😅
2022-02-01
0