Angin berembus semakin kencang, merobohkan pepohonan di beberapa sisi jalan. Hujan pun sepertinya masih memiliki stok air melimpah karena sejak siang tadi tak juga kunjung berhenti.
Dari kaca spion tengah, Alvaro menatap kondisi Azlina. Gadis itu memeluk jaket pemberian Alvaro erat dengan bibir gemeretak. Wajahnya kian pucat dengan beberapa kali terdengar igauan. Sepertinya suhu tubuh Azlina semakin meninggi.
Alvaro jelas merasa cemas. Dia tak mungkin membiarkan anak orang kenapa-kenapa, apalagi dia tahu betul bagaimana sifat mengerikan kakak ipar Azlina. Alvaro tidak ingin disalahkan jika terjadi sesuatu terhadap Azlina. Hingga di depan sana terlihat papan nama sebuah hotel dengan lampu neon box menyala terang tertutup derasnya hujan, Alvaro segera mengarahkan mobilnya ke sana.
Mobil berhenti tepat di depan lobby hotel dengan Bellboy datang membawakan payung untuk menjemput tamu dari derasnya hujan, bersiap bersiaga di depan pintu mobil.
"Hei, bangun!" ucap Alvaro, menepuk-nepuk pipi Azlina yang terasa panas.
Gadis itu membuka mata malas, hawa dingin masih saja menyeruak di sekujur tubuhnya, tetapi dia masih tersadar untuk mengetahui di mana dirinya saat ini.
"Kita di mana, Om?" Azlina bertanya ketika melihat bangunan tinggi menjulang yang berada di hadapannya.
"Ayo, turun! Kita butuh istirahat."
"Bukannya kita akan pulang. Keluarga saya pasti sedang sibuk mencari saya, Om. Saya ingin pulang saja." Azlina tampak ingin menangis, ponselnya mati sejak sore tadi. Dia belum sempat men-charge ulang, sementara saat ini diperjalanan justru ada badai yang merobohkan banyak pepohonan hingga menghalangi jalan raya membuat Alvaro mengurungkan niatnya untuk segera pulang. Bagaimana ini?
"Jangan cemas. Aku yang akan mempertanggungjawabkannya."
"Apaan, sih, Om. Kayak lagi hamilin anak orang aja pake tanggung jawab." Azlina mengerutkan kening, kepalanya terasa berdenyut kesakitan dengan tubuh yang menggigil. "Om enggak berniat macam-macam, kan, ngajak saya ke sini? Ingat, ya, Om. Meski saya sedang sakit, saya bisa menghajar orang." Azlina memberikan ultimatum kepada lelaki itu, antisipasi jika dia dalam kondisi berbahaya.
"Enggak, udah kamu nurut saja. Bukannya kamu mau nyari pisang. Nanti kita cari pisang di sana biar kamu bisa nelen itu tablet."
Azlina tampak berpikir sejenak, tetapi tarikan tangan Alvaro membuatnya segera menyetujui secara paksa perkataan lelaki itu. Mereka turun melalui pintu yang sama dengan Bellboy menaungi mereka dengan payung besar berwarna hitam berlogo hotel. Tangan Alvaro merangkul bahu Azlina untuk sekadar mempertahankan tubuh gadis itu agar tidak lunglai. Mereka masuk ke dalam hotel menuju resepsionis.
"Maaf, hanya tinggal satu kamar, yaitu single room." Wanita cantik dengan rambut disanggul ke belakang menampilkan senyuman menawan itu berkata sembari menangkupkan kedua tangan di dada.
Bersamaan dengan itu seorang wanita lain yang tampak elegan dengan balutan pakaian formal celana bahan hitam dipadukan jas warna senada dengan kemeja putih yang terlihat dari balik jas yang sepertinya dijahit khusus mengikuti lekuk tubuhnya berjalan menghampiri. Dia tersenyum ramah menunjukkan sikap profesional juga cerdas dan berwibawa.
"Malam ini tiba-tiba ada badai, sehingga banyak tamu menyewa kamar untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan esok hari sehingga kami kekurangan stok kamar kosong, Tuan." Wanita itu turut menjelaskan.
Single room, itu adalah jenis kamar yang paling kecil dari sekian banyak kamar. Berniat mencari hotel yang lain, tetapi Alvaro yakin jika kesemuanya pasti akan mengalami lonjakan tamu mengingat badai belum juga berhenti. Apalagi melihat Azlina yang menggigil kedinginan itu harus segera mendapatkan tempat beristirahat, tak mungkin jika dia nekat untuk mencari penginapan yang lain.
"Aku ambil! Bisakah menyiapkan satu selimut lagi, aku akan membayar biaya lebihnya. Emm, dan tolong antarkan makan malam untuk kami ... plus pisang." Alvaro masih mengingat pisang itu lagi. Ya, gara-gara pisang dia harus terjebak di sini.
"Kami akan menyiapkannya segera." Petugas resepsionis itu menyodorkan kartu akses sebagai kunci kamar kepada Bellboy. "Silakan mengikutinya, semoga malam Anda menyenangkan."
Alvaro hanya mengangguk tanpa menjawab sikap ramah petugas resepsionis itu. Mereka berjalan beriringan dengan bellboy sebagai penunjuk jalan di mana ruangan mereka berada.
...***...
"Om, kita tidur sekamar? Jangan macam-macam, ya, Om. Ingat! Saya bisa menghajar orang meski dalam kondisi sakit." Azlina masih berdiri di depan ranjang yang hanya berisi satu bed saja.
Ruangannya tidak luas, bahkan terkesan sempit, tetapi masih bisa dipakai oleh dua orang dewasa. Ranjang berukuran 160 x 200 yang dibalut dengan sprei putih tanpa corak serta selimut tebal berwarna senada. Di samping ranjang terdapat nakas kecil dengan beberapa laci ukuran berbeda di bawahnya, tidak lupa vas bunga biru bercorak dengan bunga segar yang sepertinya setiap hari diganti oleh petugas kebersihan tertata cantik di sudut ruangan.
"Ini, minum obatmu, pisangnya sudah ada." Alvaro memberikan tablet itu kepada Azlina, tetapi gadis itu hanya bergeming tak berniat mengambilnya.
"Ayo cepat! Kau ingin kedinginan semalaman?"
"Om, obatnya ada efek samping mengantuk, kan? Awas, ya, kalau Om nyari kesempatan. Pokoknya saya enggak mau tidur satu ranjang. Dosa!"
Alvaro tampak berdecak kesal. Memang siapa yang mau tidur seranjang dengan gadis ingusan seperti dia. Adanya Alvaro dikira om-om pedofil yang mesum.
Tanpa menjawab perkataan Azlina, Alvaro segera menggelar selimut di lantai yang sempit itu. Dia menanggalkan kemejanya yang telah basah kuyup, lalu segera masuk ke kamar mandi.
Azlina memalingkan muka, duduk di tepian ranjang, mengambil selimut untuk dibalutkan ke tubuhnya.
Dingin, begitu dingin yang dia rasakan. Sangat kontras dengan suhu panas di permukaan tubuhnya.
Lima menit berlalu dengan Alvaro keluar hanya mengenakan bathrobe. Azlina semakin ketakutan, dia sudah membayangkan hal yang tidak-tidak. Kisah-kisah seorang gadis diperkosa oleh om-om mesum berputar-putar di kepala. Dia semakin mengeratkan pelukan pada selimut yang membalut tubuhnya seraya menatap penuh horor terhadap Alvaro.
Alvaro mendekat, melihat tingkah Azlina yang begitu aneh. Tubuhnya ditenggelamkan dalam selimut dengan posisi duduk. Apakah gadis itu semakin parah?
Hingga Alvaro sudah berdiri di depan Azlina, gadis itu beringsut mundur. "Om, dengar, ya, jangan mencari kesempatan!" ucap Azlina dengan suara bergetar, tetapi sorot matanya dingin dan penuh antisipasi.
》Lanjut, ya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Rita
sabar om namanya juga orang waspada
2023-03-25
0
Rini Pamungkaswati
huhhu harus waspada kejahatan bisa terlaksana karena kesempatan 🤭🤭
2022-05-19
1
Sham Estelle
haha..dalam pada sakit masih mampu mengancam orang
2022-04-21
1