Langkah Azlina terhenti tepat di depan meja Pak Bambang dengan tatapan semua siswa tertuju kepadanya.
"Apa ini? Mana pekerjaanmu?" tanya Pak Bambang dengan menunjukkan buku tugas milik Azlina.
"Sa-ya ... lupa, Pak. Kemarin tidak masuk sekolah, jadi tidak tahu kalau ada tugas." Azlina memberi alasan.
Pak Bambang tampak mengangguk-angguk seolah-olah memaklumi, membuat Azlina sedikit merasa lega. Namun, apa yang dilakukan Pak Bambang selanjutnya membuat Azlina menyesal karena mengakui ketidakhadirannya kemarin.
Lelaki paruh baya itu membolak-balik buku jurnal absensi kelas, memeriksa kehadiran siswa hari kemarin. Dan keningnya seketika berkerut mendapati apa yang tercantum di dalamnya. Nama Azlina tertera dengan bolpoin warma merah dengan huruf Alpha terbubuhkan di sana.
"Kau membolos?" tanya Pak Bambang kemudian dengan sorot mata tajam yang tampak mengerikan.
"Sa-ya ...." Dia mengangguk menanggapi, tak mampu memberikan alasan yang tepat akan ketidakhadirannya kemarin.
"Bagus! Ambil bukumu, lalu berdiri di depan tiang bendera! Beri hormat hingga siang nanti!" titah Pak Bambang yang membuat Azlina ternganga seketika.
"Ayo, lakukan!" perintahnya lagi ketika melihat Azlina masih bergeming di depannya.
"Ta-pi, Pak!"
"Tidak ada tapi-tapian. Kamu mau pelajaran akuntansimu mendapat nilai nol di raport?"
Azlina menggeleng. Pelaharan akuntansi adalah pelajaran utama di kelas IPS. Dia tidak akan bisa lulus jika mendapatkan nilai nol pada mata pelajaran tersebut.
"Jadi, cepat kerjakan!"
Dengan raut wajah lesu, akhirnya Azlina mengangguk menyetujui. Dia mengambil buku akuntansi itu, lalu segera keluar dari ruang kelas.
...***...
"Jemput Azlina di sekolahnya. Mama ingin kalian mengunjungi butik langganan Mama. Mama sudah memesankan kebaya untuk acara ijab qobul kalian besok!" Suara Tante Rani teedengar bersemangat di seberang sana ketika menghubungi Alvaro lewat telepon.
"Iya, Ma. Mama sudah mengatakannya pagi tadi, lalu via Whatapp, dan sekarang masih menelepon juga?" Alvaro menggelengkan kepala melihat sikap antusias sang mama terhadap pernikahannya.
"Ya, Mama, kan, enggak mau kamu sampai beralasan lupa bawa calon mantu Mama ke butik. Aduh, Mama enggak sabar lihat kalian jadi pengantin."
Alvaro hanya bisa menghela napas panjang mendengar betapa bahagianya sang Mama akan pernikahannya dengan Azlina. Dia tidak ingin mengecewakan perempuan itu dengan mengatakan sejujurnya bahwa pernikahan mereka hanyalah sebuah sandiwara. Ah, lebih baik dijalani saja dulu, masalah lanjut tidaknya pernikahan itu adalah urusan belakangan. Setidaknya dia bisa membahagiakan kedua orang tuanya yang sejak dulu memimpikan putra semata wayang mereka mendapatkan pasangan yang tepat.
"Iya, Ma. Tenang aja. Nanti Varo bakal bawa calon mantu Mama ke sana. Oke, Ma. Bye!" Tanpa menunggu jawaban dari Mama, Alvaro mengakhiri panggilannya.
Dasar anak durhaka.
Alvaro menilik jam tangannya yang masih menunjukkan pukul sepuluh siang. Hanya butuh lima belas menit dari kantor untuk menuju sekolah Azlina. Dia masih memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya, sehingga Alvaro tak perlu terburu-buru untuk menjemput gadis itu.
...***...
Siang itu tampak begitu terik. Sengatan matahari terasa menyengat kulit. Bulir-bulir bening mulai bercucuran membasahi dahi serta pelipis. Pun dengan tubuhnya yang berbalut seragam putih itu terasa sudah tak sanggup menjalani hukuman yang belum juga selesai masanya.
Ketika waktu istirahat, di mana biasa dirinya jajan bakso dengan teman-temannya untuk menambah pasokan energi, Azlina hanya bisa menatap dengan tatapan iri. Perutnya ikut kelaparan dengan tenggorokan yang terasa mulai mengering. Hanya Lulu sahabatnya yang datang dengan membawa kue dan sebotol air mineral untuk Azlina.
Dan saat ini, ketika matahari sudah mulai naik ke tengah-tengah dengan teriknya yang begitu panas menyengat kulit, kepala Azlina mulai terasa pusing. Pak Bambang bahkan tak menyuruhnya untuk beristirahat, sekadar mengistirahatkan kaki atau juga meneduhkan diri dari sengatan sinar matahari.
Peluh bercucuran membasahi tubuh, keringat panas berubah dingin dengan tubuh gemetar tak terkendali. Azlina sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Kakinya terasa kebas juga lemah. Hingga ketika pandangannya mulai kabur dengan kepala berdenyut pening, kesadaran mulai menghilang dari dalam dirinya. Azlina ambruk di depan tiang bendera dengan sebuah tangan kekar menahan tubuhnya.
...***...
Matanya mengerjap tatkala bau serta rasa sejuk khas minyak kayu putih terendus di indra penciumannya. Kesadaran yang sempat terenggut kini mulai menyapa kembali. Azlina merasakan denyutan di kepala sedikit berkurang, tetapi tak membuat dirinya membaik.
Sesaat matanya terbuka sempurna, dia dihadapkan dengan langit-langit ruangan yang bercat putih dengan pendingin ruangan yang tampak menyala dengan digital angka yang menunjukkanangka dua puluh satu.
Hingga sebuah sentuhan di kepala membuatnya menoleh. Matanya menunju sosok tampan yang sedang meletakkan handuk basah di keningnya.
"Kau?" Azlina seketika terkejut dengan siapa yang saat ini tengah berdiri di samping brankar di mana dia tengah terbaring. Seseorang yang tidak pernah terbayangkan meski hanya sekadar saling bertegur sapa, kini justru berada di depannya sedang merawat dirinya.
》》
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
꧁𓊈𒆜🅰🆁🅸🅴🆂𒆜𓊉꧂
waduh siapa tuh cowok🤔
2023-04-12
0
Sunarty Narty
wah si elang y
2022-10-27
0
azra
yes dtolongin cogan
2021-11-21
0