Ruangan itu terlihat sepi. Hanya ada suara napas anak manusia yang sedang menangis sesenggukan di ujung ranjang.
Azlina masih membenamkan wajahnya setelah beberapa kali mendapat ceramah panjang dan lebar dari kedua orang tuanya. Bahkan dia tak mendapat kesempatan untuk mengelak atau membela diri dari tuduhan-tuduhan miring karena pernyataan yang telah diucapkan Alvaro tentang hubungan mereka.
Dia merasa tak bersalah. Bahkan, Azlina merasa sedang dijebak oleh pria itu. Entah apa sebenarnya maksud dari Alvaro melibatkannya dalam situasi seperti ini.
Suara ketukan di pintu membuat Azlina mengusap air matanya kasar menggunakan punggung tangan. Ingus yang hampir keluar sudah dia hapus dengan tisu yang telah banyak tercecer memenuhi lantai kamarnya.
Dia ingin bangkit untuk membuka pintu kamar itu, tetapi urung dia lakukan lantaran masih sakit hati karena sikap semua orang yang tak memercayainya lagi.
Dia tak pernah berbohong, tetapi karena perkataan Alvaro, Azlina terlihat seperti gadis pembohong yang suka berhubungan dengan pria dewasa secara sembunyi-sembunyi. Hingga pandangan semua orang terhadapnya menjadi berubah.
"Azlina, buka! Ini Ibuk!" Suara Ibuk bersamaan gedoran di pintu membuat Azlina segera buru-buru bangkit dari tidurnya. Semarah apa pun dia, tak bisa mengabaikan wanita yang telah melahirkannya.
Dia membuka pintu itu sedikit lebar, memunculkan wajahnya saja tanpa mau keluar.
"Keluarlah. Orang tua Alvaro ingin bertemu denganmu."
"Tante Rani dan Om Agus?" Azlina tampak bingung, mengapa orang tua Alvaro mencarinya setelah tadi pagi mereka berbicara panjang lebar? Apakah pembicaraan tadi pagi belum cukup juga sehingga mereka harus melanjutkannya di rumah. "Mengapa mereka datang, Buk?"
Bu Darmini menyunggingkan senyum, lalu mengusap kepala Azlina. Perlakuan manis itu membuat Azlina mengernyit heran. Bukankah sepulang dari hotel semua orang memarahinya habis-habisan, lalu mengapa ibunya bisa tersenyum saat ini?
"Ayo, Ibuk temani keluar!" Azlina menurut, gadis itu keluar dari kamar tanpa mencuci mukanya untuk sekadar menghapus bekas air mata yang sebelumnya mengucur deras tanpa berhenti. Genggaman tangan Bu Darmini sedikit menenangkan hati Azlina akan kekalutan dengan apa yang sedang dihadapi, hingga ketika mereka telah berada di ruang tamu, Azlina menghentikan langkahnya.
Di sana telah duduk Om Agus, Tante Rani, dan Alvaro. Mereka menatap kedatangan Azlina dengan berbagai ekspresi yang sulit untuk diartikan.
Azlina mengarahkan tatapannya ke arah lelaki itu, Alvaro yang kini juga telah memandangnya. Sejenak mereka beradu pandang, menatap dengan pandangan yang berbeda. Azlina menatap Alvaro dengan tatapan kesal, kecewa, bercampur marah. Sementara Alvaro menatap Azlina dengan tatapan miris dan penuh rasa bersalah.
Hingga cengkeraman lembut di bahu Azlina mengalihkan perhatian gadis itu ke arah samping. "Ayo, temui mereka!"
Azlina mengangguk, memaksakan senyum kepada kedua orang tua Alvaro. Wajahnya masih tampak sembab, menunjukkan berapa lama dirinya menangis.
Dan apa yang terjadi selanjutnya cukup membuat Azlina tak berkutik. Tante Rani berjalan ke arah Azlina, lalu memeluk gadis itu bak seorang ibu yang begitu lama tak bertemu dengan anak perempuannya.
"Ya, ampun. Anak Mama kenapa menangis?"
Apa, Mama? Sejak kapan Azlina punya Mama baru?
Tante Rani dengan penuh sayang mengusap wajah Azlina, membersihkan air mata yang hampir mengering di wajah cantik gadis itu. Azlina hanya bisa menurut, tak mampu berkata apa-apa, apalagi sekadar menjawab perkataan aneh yang baru saja keluar dari bibir Tante Rani.
Kedua wanita berbeda usia itu berjalan beriringan dengan Tante Rani yang menuntun Azlina bak anak sendiri.
"Jadi, dua hari lagi pernikahan kalian akan dilaksanakan."
"Apa?"
Azlina begitu terkejut dengan informasi sepihak yang diucapkan oleh bapaknya. Mengapa mereka tak menanyakan dulu kepada dirinya. Padahal ini menyangkut masa depannya. Dia yang menjalani, bukan orang lain, tetapi seolah-olah pendapatnya sama sekali tidak penting dan tak patut untuk dipertimbangkan.
Pandangannya mengarah kepada Alvaro. Dia semakin membenci lelaki itu. Alvaro adalah laki-laki yang tidak tahu malu, menjebak gadis polos seperti dirinya untuk memaksakan kehendak, mengurung kehidupan Azlina.
Genggaman tangan Mama Maya semakin mengerat di jemarinya. Seakan-akan perempuan paruh baya itu memberikan kekuatan kepada Azlina, mendukung dan melindungi Azlina sekaligus menuntut untuk tak mendebat keputusan itu.
"Mama tahu ini berat. Tapi, demi masa depan dan nama baik keluarga dan untuk kebahagiaan kalian sendiri, Mama rasa inilah jalan yang terbaik."
"Tapi, Tan ...."
"Sssstt! Panggil Mama, karena sebentar lagi kamu adalah anak Mama juga. Mama tidak memliki anak perempuan, jadi Mama sangat senang mendengar Alvaro memilihmu menjadi istrinya. Jika Alvaro berani menyakitimu, Mama akan membuat perhitungan dengannya. Jadi, kamu tenang saja, ya, Sayang!"
Melihat bagaimana Tante Rani memperlakukan Azlina dengan penuh sayang membuat keraguan Bu Darmini dan Pak Samsul, orang tua Azlina, tidak meragu lagi untuk menyerahkan putri bungsunya kepada mereka. Kendati hati berat melepaskan, tetapi tak bisa dielakkan jika pada suatu saat nanti, cepat atau pun lambat Azlina akan keluar dari rumah itu untuk ikut dengan suaminya.
"Kami setuju. Kami berharap kalian bisa menerima Azlina, putri kami dan memperlakukannya dengan baik. Dia masih sangat muda, sifat manjanya belum bisa hilang. Jadi, kami mohon kesabarannya dalam memperlakukan Azlina," ucap Pak Samsul dengan mata yang berkaca-kaca.
Apa-apaan ini? Mengapa semua orang tak sekalipun menanyakan pendapatnya? Bahkan kedua Kakak laki-laki yang biasa membela dirinya pun kini diam membisu tak berani mengatakan sepatah kata pun.
Hingga Azlina dengan sekuat tenaga memberanikan diri mengucapkam sesuatu. "Bisakah saya berbicara empat mata dengan calon suami saya?" ucapnya dengan melirik ke arah Alvaro.
Lelaki itu membalas tatapan ketus Azlina dengan senyuman. Dia tahu jika gadis kecil itu membencinya, hingga dia bisa membayangkan betapa serunya pernikahannya nanti.
"Oh, tentu saja. Tapi ingat, ya, kalian belum sah. Jadi jangan terlalu nempel." Tante Rani berkata seraya mengusap rambut Azlina. Gadis itu hanya tersenyum datar menanggapi gurauan calon ibu mertuanya itu.
Ya, apanya yang nempel? Justru saat ini Azlina ingin sekali memukul lelaki mesum itu agar dia sadar dengan apa yang telah dilakukannya.
Entah apa yang terjadi tadi malam. Azlina pun tak tahu apa-apa. Apakah Alvaro diam-diam menyentuhnya ketika dia tertidur lelap? Apakah Om mesum itu telah melihat bagian tubuhnya yang sangat pribadi dan menyentuhnya tanpa izin. Sungguh Azlina merasa geram jika benar lelaki itu telah melakukannya.
Sampai sebuah tangan menarik lengannya di depan semua orang, membuat gadis itu menengadahkan wajahnya.
"Ayo, kita keluar saja. Biarkan para orang tua yang mengatur pernikahan kita."
Ekspresi semua orang tampak mengangguk menyetujui dan hal itu membuat Azlina makin kesal saja. Seolah-olah kata keluar yang diucapkan Alvaro itu hanya alasan Azlina untuk mencari kesempatan berduaan dengan Om mesum itu.
"Saya hanya ingin bicara, bukan hal lain." Tetapi perkataan Azlina ditanggapi dengan candaan oleh Tante Rani dan Om Agus.
"Ya, kami mengerti. Keluarlah!"
Sungguh menyebalkan, tetapi Azlina tak ambil peduli. Tanpa berganti pakaian atau sekadar merapikan diri, dia beranjak dari duduknya, mengikuti ke mana Alvaro mengajaknya pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Bzaa
semoga stlh nya jdi PD bucin 😁
2023-04-12
0
violeta
nyebelin c om
2021-11-19
0
keysha🦅
dih udah dbyangin bkl seru,c om gk sadar tuh hti udah mulai trtarik ma bocil
2021-11-16
13