Di dalam mobil, tiada sepatah kata pun yang terucap dari bibir Azlina. Gadis itu hanya diam membisu sembari menatap ke arah samping di mana bangunan gedung-gedung tinggi dengan pepohonan rimbun menghiasi jalanan kota. Pun demikian dengan Alvaro, lelaki itu hanya terfokus ke jalanan tanpa berniat memulai obrolan. Hanya suara musik yang diputar dengan beberapa kali pennyiar radio berbicara membuat suasana di mobil itu tak terlalu sunyi sebab kebungkaman mereka.
Sampai ketika mobil itu telah berhenti di taman kota, Alvaro memarkirkannya di parkiran khusus mobil. Sesungguhnya, jalan-jalan sore di taman kota cukup menyenangkan jika ditemani seorang yang terkasih, tetapi sayangnya bukan yang terkasih yang kini sedang bersamanya, melainkan gadis penuh kebencian dan tak sudih hanya sekadar menatapnya.
"Sampai kapan kau di situ? Ayo, turun!" ucap Alvaro kemudian setelah dia selesai melepas sealt belt-nya.
Azlina hanya diam saja, tak menjawab perkataan Alvaro. Dengan bungkam, dia ikut turun dari mobil tanpa berpikir lama.
Azlina mengikuti ke mana Alvaro pergi, mengekor di belakang Alvaro tanpa bersuara. Pandangannya menunduk ke bawah sembari memikirkan apa yang akan dia ucapkan kepada lelaki itu.
Hingga tanpa sengaja kepalanya membentur punggung Alvaro ketika lelaki itu tanpa aba-aba menghentikan langkahnya.
"Auhh!" keluhnya dengan menyentuh kening yang tertutup poni.
Alvaro hanya tersenyum melihat gadis naif itu. Dia meraih tangan Azlina, lalu menariknya untuk segera mencari tempat duduk yang nyaman.
Suasana saat itu cukup sepi, mungkin karena hari ini bukanlah hari Minggu, sehingga membuat suasana taman kota tak ramai pengunjungnya.
Alvaro bersandar di punggung kursi besi dengan Azlina duduk sedikit menjauh darinya. Risih, itulah yang saat ini dirasakan gadis itu ketika berdekatan dengan Alvaro. Azlina masih bergeming dengan kepala menunduk, pikirannya masih memilah-milah kalimat yang tepat untuk disampaikan kepada Alvaro.
Tepat ketika Azlina hendak mengucapkan sesuatu, Alvaro ikut bersuara.
"Om!"
"Cil!"
Mereka beradu pandang, tetapi Azlina segera memalingkan muka.
"Kau dulu!" ucap Alvaro mengalah.
Azlina mengangguk. Dia memang sudah tidak tahan ingin mengucapkan segala unek-unek yang mengganjal di hatinya.
Dia menghirup udara panjang, mempersiapkan diri untuk sekadar mengantisipasi emosi jika mungkin terjadi perdebatan sengit dengan lelaki dewasa di sampingnya itu. Setelah dirasa telah siap, Azlina mengembuskan napasnya perlahan.
"Kenapa Om berbohong?"
Dia menundukkan wajah, matanya kian memburam seolah-olah kesulitan untuk membendung buliran air bening yang sudah mulai merembes di sudut mata.
"Kenapa Om berbohong? Kenapa Om tidak menepati janji?" Azlina mengaitkan jemarinya, gugup melanda diri bersamaan rasa kecewa yang telah mengusik di dalam hati. "Om bilang akan tidur terpisah dengan saya, tetapi kenapa Om justru tidur ... seranjang dengan saya?"
Azlina masih tidak ingin menerima kenyataan bahwa dia pernah tidur seranjang dengan seorang pria dewasa. Dia tidak bisa menerima hal kotor yang telah terjadi sebelumnya, tidur dengan posisi saling memeluk, memberikan kehangatan satu sama lain. Sungguh Azlina merasa kotor seketika.
"Maafkan aku." Alvaro terdiam beberapa saat. Matanya mengedar di pesikitaran di mana anak-anak kecil tampak bersemangat bermain saling mengejar. Mereka tertawa riang dengan tanpa beban, membuat bibir Alvaro tersenyum meski hanya sebentar. "Kau tahu aku tidur di lantai saat itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, mengapa aku bisa berada seranjang denganmu. Satu hal yang kuyakini, kita tidak melakukan apa-apa malam itu. Kau tak perlu mencemaskan apa pun. Kita hanya tidur di atas ranjang yang sama, tidak lebih."
"Lalu, kenapa Om bilang ke mereka jika kita saling mencintai?" Azlina semakin kesal ketika mengatakan itu. Mencintai lelaki yang usianyatiga belas tahun lebih tua darinya? Apakah Azlina sudah gila?
"Aku hanya malas berdebat dengan mereka. Kau tahu jika kita dalam posisi yang tidak bisa mengelak? Siapa yang bisa percaya jika kita hanya tidur dan tidak melakukan apa-apa malam itu? Bahkan mungkin kau sendiri sudah berperasangka buruk terhadapku. Iya, kan?"
Alvaro menatap Azlina yang masih menunduk dengan wajah ditekuk ke dalam. Lelaki itu menyentuh bahu Azlina, sedikit meremasnya membuat Azlina menoleh kepadanya. "Dengarkan aku! Kita menikah bukan karena ingin membina rumah tangga. Kita hanya menutupi aib yang sebenarnya tidak pernah terjadi itu. Aku tidak akan menyentuhmu jika kau tidak menginginkannya. Dan jika semuanya sudah membaik, kita bisa berpisah."
"A-apa? Apakah itu artinya saya akan menjadi seorang janda di usia muda?"
Alvaro tertawa kecil mendengar pernyataan Azlina yang terlampau jujur. Dia menurunkan tangannya dari bahu Azlina.
"Kau tidak perlu mencemaskan itu. Kita hanya menikah secara agama. Usiamu belum genap sembilan belas tahun, bukan? Maka kita hanya bisa menikah secara agama. Kau tidak perlu takut dengan identitas itu."
Gadis itu tampak mengusap air matanya yang hampir menetes, lalu berkata dengan antusias.
"Jadi, saya masih boleh dekat dengan cowok lain? Saya boleh berpacaran, begitu?"
"Heem, kau bisa melakukannya asalkan tiada pegangan tangan, ciuman, dan kontak fisik lainnya," jawab Alvaro sembari menyunggingkan senyum.
"Kenapa?"
"Karena dosa. Kau masih berstatus istriku, bukan? Jika pria yang kau suka mau menikahimu, kau bisa mengajukan cerai kepadaku. Dan selama kita masih menyendiri, aku akan bertanggung jawab terhadapmu."
"Jadi?"
"Kita rahasiakan pernikahan ini. Dengan begitu, aku bisa mengejar wanita yang kusuka dan kau bisa mendapatkan pria yang kau inginkan. Bukankah itu sangat menyenangkan?"
Azlina menatap Alvaro yang masih tersenyum. Menaikkan sebelah alisnya, dia berkata, "Apakah benar menyenangkan? Bagaimana jika orang tua kita tahu?"
"Makanya kita main cantik agar tidak ketahuan. Sudahlah, percaya denganku. Oh, ya, mulai sekarang berhenti memanggilku Om. Lagian umurku sama dengan Mbak Salwamu, kenapa kau bisa memanggil dia Mbak, sementara denganku, kau memanggil Om. Itu sama sekali tidak adil." Alvaro bersedekap dada ketika mengutarakannya. Jelas saja dia tidak terima, seolah usianya benar-benar sudah tua.
"Lantas, saya harus memanggil Om dengan sebutan apa? Apakah Bapak?"
"Hei!" Alvaro menyela perkataan Azlina. Apa-apaan dia dipanggil Bapak, memangnya sejak kapan dia menikah dengan ibunya Azlina? "Panggil Kakak, itu lebih baik. Mengerti?"
Azlina mengulum bibirnya sejenak, tampak berpikir. Namun, setelah itu dia tertawa. "Ah, Om, itu sebutannya terlalu muda. Terima kenyataan sajalah Om jika sudah tua."
"Kau makin lama ternyata makin menyebalkan, ya?"
"Baiklah, saya setuju, emmm ..., Kakak." Sedikit terkikik Azlina ketika memanggil Alvaro dengan sebutan Kakak, merasa lucu dengan panggilan itu.
"Ish, jangan tertawa!" ucap Alvaro kesal, meraih kepala Azlina untuk kemudian membungkam bibir gadis itu dengan telapak tangannya.
Azlina segera mendorong Alvaro, ketika merasakan kepalanya diapit oleh tangan lelaki itu. "Iih, Om. Jangan modus, ya? Jangan mengambil kesempatan!"
"Om, lagi?"
"Oops, maksud saya, Kakak."
Alvaro hanya menggelengkan kepala melihat Azlina tak bisa menghentikan tawanya. Memang apa salahnya dengan sebutan Kakak? Bukankah dia memang masih pantas dipanggil Kakak? Hingga suara bel terompet seorang pedagang mengalihkan perhatian Azlina. Gadis itu mengulurkan tangannya menarik pakaian Alvaro.
"Om, sebagai hadiah peresmian hubungan kita. Saya ingin dibelikan cilok."
"Eh, apa? Cilok?"
"Ya, itu." Menunjuk penjual cilok yang berada di luar taman. "Ayo kita rayakan dengan makan cilok," imbuhnya dengan bersemangat.
Alvaro menghela napasnya perlahan, lalu mengangguk mengiakan. "Ayo, siapa takut!" ucapnya seraya menarik tangan Azlina agar segera beranjak untuk mengejar tukang cilok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Bzaa
ati3 nta
2023-04-12
0
Sunarty Narty
awal cinta yg unik
2022-10-27
0
Nadia Laili
sdh bisalah menikah resmi 18 th kan sdh bisa urus KTP
2022-03-23
0