Rasa terkejut itu jelas mendera diri Azlina. Apakah dia tidak sedang salah mendengar? Bunga Edelweiss segar? Oh, mungkin orang kaya memang memiliki tingkat kekaguman dan selera yang aneh. Dia memajukan diri untuk melangkah ke arah Om aneh yang masih menatapnya dengan antusias.
"Mengapa pilih yang segar? Bunga edelweiss hanya diperjualbelikan dalam kondisi kering."
Tampaknya perkataan Azlina hanya bagaikan angin lalu. Alvaro memutar bola mata malas menanggapi, karena sudah tahu apa yang orang lain katakan terhadapnya tentang maksud mencari bunga edelweiss segar. Sudah beberapa orang yang mengatakan hal itu, dan tentunya Alvaro sudah kebal dan hafal setiap rinci perkataan mereka.
Mereka akan berwasilah tentang asal muasal bunga edelweiss, yaitu bunga yang mulai langka keberadaannya dan dilindungi oleh negara. Bunga yang berasal dari pegunungan Bromo, Rinjani, atau pun Dieng itu biasa diburu para pendaki dan mengakibatkan jumlahnya kian langka dan hampir punah.
Namun, Alvaro bukanlah orang bodoh. Dia pasti paham akan bunga yang sedang dicarinya itu. Dia tak menampik akan fakta yang ada dan beberapa kali dibeberkan oleh penjual bunga yang ditemuinya. Di balik bunga yang langka dan banyak penggemarnya, pasti ada sekelompok petani bunga yang berjuang membudidayakannya. Atas dasar itu dia merasa yakin bisa mendapatkan bunga itu, tetapi masih bingung menemukan tempatnya.
"Jadi, kau tak sanggup mencarikannya? Padahal aku sudah menyiapkan uang jutaan hanya untuk mendapatkan satu ikat bunga." Alvaro menyembunyikan seringainya, merasa pancingannya akan berbalas dengan baik.
Mata Azlina seketika melebar. Ucapan akan nominal yang didapatkannya jika berhasil membawakan bunga edelweiss menari-nari di kepala. Bunga edelweiss tidaklah mahal, hanya beberapa ribu rupiah saja per tangkainya. Dan saat ini, lelaki di depannya itu menawarkan angka yang sangat fantastis hanya untuk seikat bunga edelweiss, bukankah itu kesempatan langka?
"Aku bisa membantumu." Azlina segera menjawab, tak mau membuang kesempatan emas. "Tapi, Om harus mengantarkanku ke tempat itu."
"Oke. Aku setuju," jawab Alvaro dengan senyuman lebar.
...***...
Hari menjelang sore ketika Azlina dan Alvaro masih mengendara dalam satu mobil untuk menemukan bunga edelweiss. Lampu-lampu di jalanan tampak mulai menyala yang semula hanya meredup berwarna jingga, lalu memijar dengan seterang-terangnya seiring waktu. Hujan yang sebelumnya sempat mereda kini mulai menderas lagi.
Azlina tampak mengusap-usap telapak tangannya untuk sekadar menghalau hawa dingin yang mulai menyeruak di tubuh mungilnya. Jelas saja dia merasa kedinginan, sempat kehujanan ketika keluar dari kantor Aurora Event Organizer, lalu ditambah berada dalam mobil dengan Air Conditioner yang menyala, hal itu cukup memberi alasan bagi Azlina untuk merasa kedinginan.
"Om, pelankan AC-nya." Suara Azlina terdengar bergetar. Dia tak bisa menutup-nutupi tubuh menggigilnya.
"Ya, kau merepotkan sekali." Dengan satu ketukan suhu udara di dalam mobil naik seketika, sedikit menghangatkan tubuh Azlina yang kedinginan. "Jadi, tempatnya masih jauh?" ucap Alvaro kemudian.
Hampir dua jam mereka berada dalam mobil dan sepertinya tempat yang diusulkan Azlina belum tampak ujungnya sekalipun membuat Alvaro sedikit kesal. Jangan-jangan bocil di sampingnya itu hanya ingin mempermainkannya saja. Jika itu benar, pasti dia akan memberi hukuman kepada Azlina, membuat gadis itu jera karena telah berani mengelabuhinya.
"Sepertinya hampir sampai. Oh, ya, Om, memangnya untuk apa bunga edelweiss? Sampai Om harus mencari yang masih segar."
Tentunya Azlina sangat penasaran dengan tingkah orang kaya yang mau menggelontorkan banyak uang hanya untuk membeli barang remeh. Mereka mau melakukan perjalanan panjang hanya untuk seikat bunga edelweiss. Oh, sepertinya Azlina akan bercita-cita menjadi penjual bunga saja. Mungkin dia akan mendapatkan untung besar jika bertemu orang kaya aneh seperti di sampingnya saat ini.
"Kau masih bocil, mana paham masalah dewasa." Jangankan Azlina, dirinya saja masih penasaran kenapa sang Papa bersikeras mencari bunga edelweiss yang masih segar, bukan bunga yang lain. Akan tetapi, mana munngkin Alvaro mau mengakui ketidaktahuannya di depan Azlina. Harga diri sebagai lelaki dewasa serba tahu akan lenyap ketika masalah kecil tak bisa dia mengerti.
"Siapa yang bocil? Saya sudah hampir sembilan belas tahun, Om. Tiga bulan lagi, ingat, ya. Itu bukan bocil lagi."
Terdengar kekehan kecil dari bibir Alvaro. Setiap orang yang mengatakan dia bukan bocil, itu justru menunjukkan betapa bocilnya dia. Dan sanggahan sepperti itu justru terasa menggelikan ketika terdengar di indra pendengaran Alvaro.
Perdebatan mereka berakhir tatkala Alvaro membelokkan mobilnya tepat di sebuah area perkarangan rumah seseorang. Tiada papan nama atau pun tulisan yang menunjukkan jati diri tempat itu.
"Yakin di sini tempatnya?" tanya Alvaro yang terlihat sedikit ragu akan bangunan yang berada di depan mobilnya.
Azlina mengangguk, mengiakan perkataan Alvaro. Gadis itu membuka lock seatbelt, lalu menatap ke arah bangunan yang tepat berada di depan mobil mereka.
"Ini tempat kami membudidayakan bunga-bunga yang sulit untuk dicari, terutama edelweiss segar seperti yang Om mau." Dia menjelaskan tanpa diminta.
"Bagus. Kalau begitu, tunggu apa lagi. Ayo turun!" ucap Alvaro dengan tak sabar.
Kedua orang berbeda usia itu berlari-lari kecil untuk segera mencapai teras bangunan itu, mencari perlindungan akan derasnya hujan yang sepertinya tak juga kunjung berhenti. Padahal di tempat Azlina tadi hujan sudah mereda, tetapi di area ini justru semakin lebat saja. Tampaknya memang hujan turun tidak secara merata.
"Assalamu'alaikum, Kak Asri, Bang Apin!" Azlina mengetuk-ngetuk pintu sembari memanggil nama dua orang yang merupakan penghuni rumah itu.
Hingga ketika kilap cahaya petir yang merupakan pertabrakan awan berbeda muatan elektron di udara berpendar menerangi teras rumah itu sekilas, disusul oleh suara guntur yang menggelegar memekakkan telinga. Azlina terlonjak terkejut akan suara guntur itu. Dia memang takut akan petir dan guntur, suara dan kilatan itu begitu mengerikan baginya. Hingga tanpa sadar kedua tangannya memeluk lelaki di sampingnya itu dengan mata terpejam.
Deg.
Deg.
Jelas saja Alvaro teekejut dengan sikap implusif yang dilakukan Azlina kepadanya. Dia berdiri kaku dan tegang tatkala pelukan itu terasa semakin erat membenam tubuhnya.
Guntur kembali menggelegar, bersamaan kilatan cahaya yang berkali-kali mengusik ketentraman manusia di muka bumi. Entah ini sebuah musibah atau keberuntungan, Alvaro mendapatkan pelukan seorang gadis polos yang sampai saat ini dia anggap sebagai bocil. Hingga beberapa saat pelukan tak disengaja itu berlangsung, seketika mengubah hawa dingin yang menusuk tulang menjadi sedikit menghangat. Entah karena pelukan itu atau karena aliran darahnya yang terasa memanas sebab bereaksi dengan posisi mereka saat ini, mencoba melebur dan menaklukkan reaksi biologi yang tengah berlangsung di dalam tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
꧁𓊈𒆜🅰🆁🅸🅴🆂𒆜𓊉꧂
si bocil bisa bikin Alvaro panas dingin😁
2023-04-12
0
Rita
hiya istilah biologiy kluar😂😂😂
2023-03-25
0
Sunarty Narty
nah om itu bocil yg udh bisa bikin bocil
2022-10-27
0