INI di mana?
"Huhu ...." Aku terlonjak kaget. Suara yang amat familier denganku menggema. Tidak ada sosok siapa pun, hanya ruang kosong tanpa ujung.
Tiba-tiba seorang anak kecil dan satu orang dewasa muncul di seberangku. Anak kecil itu terjatuh, menangis keras. Orang dewasa tersebut hanya memeluknya. Itu cara ibuku menenangkanku.
"Nadira ... Nadira ... ibu merindukanmu." Aku gemetar. Tidak perlu diragukan lagi, itu benar-benar suara milik ibuku. Genangan air dalam mata memaksa keluar, tetapi otak tidak setuju. Aku hanya menutup mata, takut dengan sosoknya yang bisa saja tiba-tiba muncul.
Ini hanya rasa takutku! Lawan, Dira! Lawan!
"Ugh." Refleks aku membuka mata ketika suatu benda tajam menusuk bagian bahu kiriku.
"Kamu lengah," ucap Hana, tidak itu Naira. Benarkah?
Orang di hadapanku berparas serupa dengan Hana, tetapi auranya amat berbeda. Tidak. Mungkin memang benar dia Naira. Karena memang hanya ada kami.
Aku mencabut sebilah pisau yang menancap pada bagian tubuhku. Melemparnya dengan perhitungan tepat. Namun, Naira berhasil menahannya dengan tanaman kacang hijau yang tumbuh lebat. Entah mengapa setelahnya aku tidak bisa berdiri dengan benar. Terlebih lagi sesuatu seakan telah *** erat jantung.
"Kamu bodoh, memang itulah dirimu, 'kan? Pisau itu sudah kulapisi dengan tanaman beracun. Untuk beberapa saat kamu tidak bisa bergerak, jadi biarkan aku membuatmu mati dengan perlahan dan tenang, Dira," ucap Naira. Aku memberontak, tetapi benar apa yang diucapkannya. Tubuhku mati rasa, tidak satu pun bagian tangan dan kaki yang mampu kugerakan.
Langkah Naira semakin dekat, hidupku digenggam olehnya. Aku hanya bisa pasrah ketika pedang panjang dengan ujung yang tajam muncul secara perlahan dari tangannya. Wajarlah jika aku merasa gemetar menghadapi ambang-ambang antara hidup dan mati.
Hanya dengan sekali tebas, aku bisa saja mati. Melihat kembali pedang yang tengah dia ayunkan di atas membuat aku semakin takut. Amanat Hana harus aku jalankan terlebih dahulu. Demi bumi, demi keluargaku dan demi semua orang yang berhasil menopang tubuhku hingga sekarang.
Aku tidak boleh mati sekarang!
"Benar kamu tidak boleh mati sekarang, Dira." Entahlah sejak kapan ada sosok kecil yang berdiri di hadapanku. Kedua tangan mungilnya mengeluarkan sinar abu-abu dan membatasi serangan Naira.
"Vi ... Vivian?" Dia tidak sedikit pun menoleh, tetapi aku bisa lihat wajah Naira yang amat marah.
"Ini bukan waktunya hura-hura. Di sini aku akan menuntun kamu untuk melawan Naira! Lawan semua rasa takutmu itu, Dira. Sekarang pikirkan saja tanaman sirih yang merambat ke tanganmu!" ucap Vivian. Peri kecil itu kembali mempertebal dinding keamanannya. Naira tidak berhenti, dia melepas pedang dan menghujani dinding keamanan dengan serangan lainnya hingga retak.
Mengingat jenis dan bentuk daun merupakan pelajaran dasar IPA di SD dan SMP, tetapi aku jarang menyimak. Jika otak semacam penyimpanan pada komputer, maka aku lupa di mana aku menyimpan berkasnya di mana. Terlalu tercecer dan tidak diberi nama. Lalu sekarang aku harus bagaimana?
Pertaganan Vivian semakin retak sejak aku mencari tahu bentuk daun sirih. Hanya perlu beberapa kali serangan lagi pertahanannya hancur. Ayo sirih, keluarlah!
Tumbuhan rambat mengikat pergelanganku. Ada sebuah energi mengalir di dalamnya. Ada pula energi yang menyedot sesuatu dalam tubuh. Namun, aku jadi bisa menggerakkan kembali seluruh anggota tubuhku.
"Vivian aku berhasil!" ucapku senang.
Prang!
Tepat seketika pertahanan Vivian hancur dan dia berhasil menghindar. Lalu Naira kembali menyerangku dengan belati. Secepat kilat aku menumbuhkan batang pohon sebagai tameng.
"Dira, aku yakin kemampuan itu juga ada padamu. Flize. Kamu cukup menggerakan bunga-bunga pada Naira. Itu cukup untuk melumpuhkannya!" ucap Vivian. Aku mengangguk. Segera aku menrentangkan tangan dan membiarkan batang pohon tersebut hancur berkeping-keping.
Flize. Banyak bunga yang berkeliaran dalam benakku, mengalir dan muncul dari telapak tangan. Aku arahkan kedua tanganku tepat pada Naira. Dia mencoba menghindar, tetapi tidak bertahan lama. Bunga-bunga itu berterbangan di segala arah.
"Hentikan ini! Lepaskan aku Nadira! Jika tidak aku akan membunuhmu!" ancam Naira padaku.
Vivian mendekatiku. "Dira, kamu harus menggunakan kemampuanku untuk menarik kembali kekuatan Hana yang ada pada Naira."
"Tapi bagaimana caranya?"
"Sangat mudah," ucapnya, "kamu cukup menyentuh tangannya dan mengucap ruthlies!"
Aku mengangguk lalu mendekati Naira. Wajahnya begitu tegang saat aku berdiri di hadapannya. Berulang kali dia ucapkan 'jangan!', 'aku akan membunuhmu', atau bahkan 'aku akan membuatmu menderita'. Aku mengembuskan napas, mengatur degup jantung yang berpacu lebih cepat dari biasanya.
"Maafkan aku, Nai. Ini demi kebaikan seluruh umat manusia. Biarkan aku menggenggam tanganmu, ya? Dengar, aku ingin berterima kasih padamu. Walau saat ini kita berdiri di garis yang berbeda, kamu pernah jadi sahabatku.
"Demina tidak pernah paham jalan pemikiranku tentang cerita novel yang aku baca. Hanya kamu yang bisa kuajak berbagi cerita. Terima kasih karena kamu pernah mengisi hariku," ucapku padanya. Naira memalingkan mukanya, tetapi aku bisa liat ada air mata yang keluar dari matanya.
"Lakukan," bisiknya pelan
"Eh?" Aku terbelalak. Genggaman tangan kami semakin erat.
"Lakukan saja sekarang, Dira. Bebaskan aku dari belenggu ini. Aku ingin bebas dari kekuatan jahat yang mengekangku!"
Aku menutup mata, kembali mengatur napas lalu kembali menatapnya. Dengan nada agak bergetar aku mengucap. "Ruthlies!"
Tangan yang saling bergenggaman menjadi jalan pembuka untuk kekuatan yang masuk. Terlalu banyak kekuatan mengalir deras dalam tubuhku. Vivian menyadarinya, dia menyentuh pundak kananku. Cahaya hijau menenangkan mengalir dari tangannya.
"Dira, meski aku kalah. Kamu belum bisa keluar dari sini ...." Aku membelalak. Makin menggenggam erat tangan Naira yang entah mengapa semakin lama semakin pudar.
Vivian menghampiriku, menyentuh pundak dan memeluknya. Dia tahu ukurannya tidak mungkin bisa memelukku seperti orang biasanya, tetapi pelukan itu mampu menenangkan hati. Naira menghilang, meninggalkan kami dan air mataku menyambut kepergiannya.
"Dira ...." Aku menoleh pada Vivian, dia pula melirikku dengan heran. Bukan Vivian yang memanggilku. Lalu aku menengok ke belakang.
Hana, ayah, ibu, Demina dan seluruh keluargaku berdiri di sana. Apa maksudnya ini? Vivian mencengkeram bahuku, agak menggelitik dengan ukuran tangannya yang kecil.
"Jangan percaya, ini ruang ketakutan. Mereka hanya akan menarik kamu jatuh ke dalam," ucap Vivian kubalas dengan gelengan. Aku refleks berdiri dan berbalik menghampiri mereka.
"Kamu saja ada, kenapa mereka tidak?" balasku.
"Dengar," kilahnya cepat, "itu karena kamu bertarung dalam pikiran dan aku hinggap di dalam pikiranmu. Sedangkan mereka ... mereka sudah tiada, Dira. Kamu paham maksud aku, 'kan?"
"Bagaimana aku tidak paham?" Aku berlari sambil menggerakkan tangan untuk memunculkan tanaman-tanaman di bawah mereka.
Vivian nampak terkejut. Secepat kilat dia menghampiriku dan duduk di atas bahu. "Kamu ...."
"Aku tahu mereka tidak asli, Vivian. Ini yang dimaksud Naira padaku. Pertanyaannya sampai berapa lama kita harus melawannya?" Vivian menggeleng, dia hanya menutup matanya. Aku mengembuskan napas kembali menebas satu per satu imajiner itu.
"Tubuhmu dalam kondisi gawat jika kamu tidak keluar dari sini. Aku tidak mampu membantumu. Kamu harus segera keluar."
Aku berhenti menebas, tubuhku ambruk. Semakin mendekati mereka, tenagaku habis terkuras.
Aku berucap lirih, "ini tidak akan berhasil."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Miss R⃟ ed qizz 💋
waduh 😱
2020-02-15
0