Samar-samar aku mendengar suara gaduh dari luar kamar. Ternyata aku sudah bangun. Ini masih di kamar yang sama. Namun, kenapa rasanya aku sangat sulit untuk duduk? Kulihat ke ujung pilar pada ranjang. Nyatanya aku masih terbelenggu. Ini lebih berat dari biasanya.
"Nadira!" panggil suara yang sangat aku kenal. Di ambang pintu muncul dengan ceria seorang gadis.
Aku tersenyum senang melihatnya dan balas memanggil, "Naira!"
Iya, dia sahabatku selain Demina. Rambutnya terlihat pendek sebahu, menunjukkan dia lebih dewasa dari sebelumnya. Sudah lama aku tidak melihatnya, Naira selalu sibuk dan jarang kutemui di sekolah. Lalu aku menunduk, baru saja aku bahagia. Namun, aku melupakan sesuatu. Naira reinkarnasi Hana.
"Hana sudah ada dalam tubuhmu?" tanyaku. Dia menggeleng.
"Merry butuh waktu untuk memasukkan rohnya padaku. Ah, aku mengerti! Jadi ini yang mau kamu ceritakan kepadaku?!" Dia setengah berteriak, dengan sigap aku menutup mulutnya. Kalau Radja mendengar bisa gawat.
"Iya, Nai, eh ... Merry itu siapa?"
"Dia peri juga, sama kayak Miss Ann." Mulutku membentuk huruf 'o' dan kembali mencoba duduk.
Naira terlihat sibuk mencari sesuatu di kamar ini. Sebuah buku yang pernah kupinjam dari perpustakaan diambilnya dari rak buku. Ternyata itulah yang dicarinya. Dia lalu memberikannya padaku dengan halaman yang sudah dia tentukan sebelumnya.
"Aku dengar kamu bertemu dia," ucapnya sambil menunjuk gambar pada halaman yang berjudul 'AMETERASU'. Aku belum menjawab, dan memilih untuk membacanya terlebih dahulu. "Dia ... Nadia."
Ameterasu, pemilik kekuatan api abadi. Matanya berwarna merah darah dan dapat memabakar apapun yang sedang dilihatnya. Rambut ombre merah ke oranye, serta rambut lurus.
Dalam buku tertulis begitu. Namun, aku masih tidak paham apa yang menjadi tujuan Naira menunjukkan ini kepadaku. "Nai, apa maksudmu?"
"Bukankah jauh di lubuk hatimu ... kamu tidak puas? Kamu ingin membalaskan dendam keluargamu. Bukan hanya ayah dan ibumu, tapi seluruh keluargamu sudah dibantai olehnya, Dira." Aku terbelalak. Memoriku merekam ulang kejadian secara tiba-tiba.
Satu ruangan kamar berubah menjadi kejadian sebelumnya. Tepat aku kembali melihat ayah dan ibuku yang penuh luka dan darah. Di mana aku juga melihat Nadia. Ucapannya tentang balas dendam berputar dalam benakku.
Benar apa kata Naira. Aku tidak puas. Lebih tepatnya, aku sangat ingin tahu kelemaham Nadia. Aku tidak pernah tahu, api milik gadis itu juga mampu membuat kepalaku panas, hatiku ikut bergejok dan ada perasaan lain, tidak tahu apa.
"Dira ...." Suara Hana memanggilku terlintas saja dalam benakku. Entah mengapa aku mencoba mengabaikannya. Rasa ini sudah menghantuiku. Balas dendam. Balas dendam.
Dua kata itu berputar dalam kepalaku, seiring munculnya tanaman belukar di dalam ruangan. Padahal aku tahu itu tidak akan pernah menutup noda atas ketakutanku, kehancuranku. Seperti tidak mau hilang pula dari penglihatan dan penciumanku. Semua membekas, tidak ada yang mau pergi.
"Nadira," panggil Naira padaku, dan aku mendongkak, "sebenarnya aku tahu di mana Nadia."
Naira mengulurkan tangannya padaku. Aku cukup paham maksudnya, tetapi sulit rasanya untuuk menerima uluran tangan itu. Aku tidak tahu kenpa, dengan mudahnya aku menerima uluran tangan Naira.
Malam ini, akan jadi hari yang panjang. Perlahan ... tapi pasti. Uluran tangan kami saling menyengat dan meninmbulkan rasa sakit. Aku sudah tidak peduli lagi. Sekilas aku bisa meraskan kehangatan dan sosok Hana. Tidak ini hanya halusinasiku.
Naira menggenggamku dan membawa langkah kami berlari, keluar dari istana dan melewati halaman depan istana. Kami disambut dengan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, serta temaran bulan di atas sana. Dia membawaku masuk ke tengah hutan.
Perlahan-lahan, aku mulai melihat warna aneh di dalamnya. Benar di sana ada gadis berambut ombre. Siapa lagi jika bukan Nadia. Hatiku kembali bergejolak. Semakin erat aku menggenggam tangan Naira.
"Dira, dia di depan sana." Telunjuk Naira mengarah tepat di mana aku pun menatapnya. "Ini sebilah pisau untukmu."
Tanpa pikir panjang aku menerimanya. Lalu dia kembali menatapku, menyadari atas keraguan dan kemurkaanku. Sejenak dia terdiam. Tangannya menahan untuk melepaskan pisau. Tiba-tiba dia melempar pisau yang mengarah pada Nadia. Aku terkejut, dan saat kutatap Naira pun ikut terkejut.
"Aku tidak melakukannya," ucap lirih Naira. Rasanya ada yang janggal.
Nadia berbalik dan menemukan kami. Mata merah darah itu terbelalak ketika melihatku. Dengan sigap dia berlari ke arah kami. Aku yang tanpa kekuatan menjadi takut. Kakiku sudah gemetar dan tidak bisa melangkah.
Secepat angin menerpa, Nadia mendorongku hingga jatuh dan dia memegang pundak Naira. Lalu dia berucap dengan kesedihan, "Kamu bilang, keluarga Nadira yang membunuh orangtuaku. Nyatanya itu salah!"
Aku terkejut mendengarnya, dan Naira hanya diam saja. Tidak ... aku tidak bisa mengakui jika sahabatku sendiri yang melakukan ini semua. Semilir angin dan suara daun yang saliing bergesekan menjadi musik sendu di antara kami bertiga. Nadia membantuku bangun dan langsung memelukku.
"Aku tidak pernah bermaksud untuk membunuh seluruh keluargamu, Nadira. Sungguh, aku benar-benar hilang akal. Maafkan aku," ucapnya. Aku bisa merasakan nada yang bergetar. Mendadak ada rasa curiga di dalam hati.
Aku melihat ke arah Naira yang menatapku begitu tajam, iris matanya berubah menjadi kuning terang. Dari tubuhnya memancarkan gas berwarna ungu. Sedikit demi sedikit mata pisau keluar dari balik punggung kedua tangannya.
"Naira ... apa maksudnya ini?" Dia tidak menjawabku.
Aku mencoba melepaskan pelukan Nadia, sulit. Naira semakin mendekat, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku mengedar pandang, tetapi tidak ada satu pun barang yang bisa membuatnya mencegah. Telapak tanganku bersentuhan dengan tanah dan tanaman rambat mulai keluar.
Tapi ini kemampuan Hana!
Hana bahkan tidak ada di tubuhku, tetapi aku masih bisa menggunakan kemampuannya. Bukan hanya aku yang terkejut. Namun, pemilik mata kuning pun ikut berkilat marah dan menyerangku tepat ketika Nadia kembali mendorongku.
"Ukh!" Naira berhasil menusuk lengan kananku. Tidak secepat saat Hana di dalamku, aku hanya berhasil menghindar sebanyak 20% dari 100%. Darah merembes keluar dan aku menutup luka dengan tangan kiri yang bebas.
"Nadira, bertahanlah!" Suara itu tidak berasal dari kepalaku. Ini nyata, aku berfokus untuk mendengarkan.
"Nadira! Nadira! Kamu harus bertahan, Radja dan yang lainnya akan segera ke sini!"
Aku terkejut, suara itu ada di dalam tubuh Naira. Dia berbohong soal Hana yang belum ada di tubuhnya. Entah mengapa ini membuatku marah. Namun, tidak hanya itu. Aku telah dikhinati sahabatku sendiri. Sahabat satu-satunya setelah Demina meninggal.
Aku bergerak mengikuti arus, dengan berlari aku menghindari serangannya. Lalu dia membuatku terjatuh, langsung saja aku berguling ke sisi kanan. Terlihat di depan ada pisau yang telah dilemparkan. Aku segera mengambilnya.
"Naira hentikan!" teriakku sambil menodong pisau di hadapannya.
Naira malah tertawa, Nadia ikut menyerangku. Aku terus berlari. Lari. Lari. Sambil mencari titik kelemahan mereka. Langit semakin gelap, sulit untukku menyesuaikan. Hal itu menyebabkan langkahku terhenti karena akar pohon membuatku terjatuh.
Naira berdiri di hadapanku dengan kedua punggung tangannya yang memiliki pisau menodong di hadapanku. Aku menutup mata untuk kemungkinan terburuk dan mendengarkan dirinya bicara, "Kamu ancaman bagiku, Nadira!"
"Jangan sakiti Nadira, Naira!" Hana berteriak, aku bisa mendengarnya.
"Diam!" Kali ini Naira membentak tidak lain kepada Hana.
"Kamu bukan reinkarnasiku!!!" Berulang kali Naira mengucapkan kata 'diam'. Aku menahan napas. Perdebatan mereka tidak akan pernah usai,
"Nadira, Nadira, dan Nadira. Itu yang terus Hana pikirkan!" Naira membentakku. Tanpa aba-aba dia sudah mencekik leherku kuat.
Sulit bagiku untuk bernapas dan terlepas darinya. Tubuhku meronta-ronta, memintanya berhenti, Tidak sampai di sana, Nadia turut mengeluarkan api dan membuat hutan terbakar. Sakit
"Nadira!!!"
Hana berteriak memanggilku. Rasanya menyesakkan. Air mata memaksa keluar dari pelupuk mataku. Kenangan demi kenangan melint cepat. Tentang mereka yang telah meninggalkanku lebih dahulu. Selintas pula pertemuanku dengan Hana. Kecerobohanku, dan semua hal yang pernah aku lakukan selama ini. Penyesalan selalu berada di akhir. Aku tahu, dengan senyum aku mencoba menenangkan diriku.
Tuhan, jika kali ini adalah akhir hidupku. Aku mohon, biarkan bumi ini damai.
Hana, maafkan aku yang lagi-lagi hilang kendali.
Ini akhir hidupku.
Dalam hitungan ketiga, napasku terhenti.Detak jantungku ikut berhenti berpacu. Ini malam panjang dan dingin. Ya ...sangat dingin. Kali ini, Tuhan akan memanggilku tanpa menyuruh aku kembaliuntuk menunggu panggilan berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
queen
nggak paham ceritanya
2021-07-21
0
Miss R⃟ ed qizz 💋
semangatt hana
2020-02-15
0