"Hentikan semua ini, Naira!" Aku berlari lalu menjulurkan tangan. Kubiarkan tanaman tumbuh dengan lebat dan membentuk busur, lalu tanaman yang tidak terpakai kembali menyusup ke dalam tanah.
Kutarik sulur yang terbuat dari tumbuhan rambat, cukup kuat. Kututup kedua mata dan mulutku sudah merapal kalimat untuk membentuk anak panah dari sebuah bilah. Seakan semua angin ikut mendorong anak panah. Mereka membiarkan bilah anak panah itu melaju cepat hingga berhasil menggores pipi kanan Naira.
Aku melompat dengan mencetak lengkungan indah di wajah. Itu tidak berlangsung lama, Azumi mengarahkan kedua tangannya padaku. Dia biarkan angin topan menyedot habis semua tanaman dan benda-benda ringan lainnya. Aku tidak suka, segera kembali aku tarik sulur dan mengarah padanya. Bilah itu kembali melaju dengan satu keanehan.
Naira tidak lagi di sana. Aku segera berbalik dan melempar busur lalu mengambil belati yang diberikan Addy padaku sebelumnya. Refleks aku menebas dan mengenai sosok di belakangku. Luka pada siku Naira meninggalkan jejak merah pekat sebagai rambu berhati-hati.
Tidak sampai di sana, Naira memegang lenganku. Addy baru saja datang dan dia mengeluarkan tongkatnya. Aku tarik tubuh Naira semakin dekat, sejak anak laki-laki tersebut selesai membuat garis sihir untuk kami.
"Sekarang, Addy!" teriakku sambil menahan Naira.
Azumi membelalak ketika Addy tengah menghentakkan ujung tongkatnya dengan tanah. Cahaya kuning terkumpul pada tangan kanannya, lalu dia arahkan padaku dan Naira. Sihir Addy sangat hangat mengelilingi kami.
Naira memberontak, Azumi pun turut menyerangku. Tidak, aku tahu itu tidak akan terjadi. Candra sudah merencanakannya terlebih dahulu dan muncul menghadang sihir milik Azumi. Lambat laun aku dan Naira mulai memudar, mungkin sudah menghilang di pandangan semuanya.
Kami tidak lagi di tempat yang sama. Bukit dengan pohon besar di atasnya yang tersorot oleh cahaya jingga dari cakrawala. Itu tempat yang sama di mana aku beristirahat, tetapi perbedaan yang mencolok hanyalah daun-daunnya. Semakin cepat warna daun berubah menjadi empat warna berbeda. Hijau muda, hijau tua, merah dan biru.
Naira segera melepas dan melompat menjauhiku. Pohon besar menjadi titik pusat tempat kami terdampar. Aku menggunakan kekuatan untuk mengeluarkan panah dan mengarahkannya padanya.
"Apa maksudmu, Hana?!"
"Aku hanya ingin meluruskan masalah kita," balasku.
Naira menggerlip. "Masalah? Memangnya apa masalah kita? Semua sudah selesai."
"Aku bukan Hana, kamu tahu itu ... aku Nadira. Kita sahabat bukan?" Entah sejak kapan air mata mulai terurai dari pelupuk mata. Naira tidak menganggap apa yang kukatakan dan dia langsung menyerangku dengan tanaman-tanaman rambatnya.
Tanaman itu mulai merambat hingga mengikat erat bagian leherku. Semakin aku memberontak, semakin erat batang yang mengikat. Api besar muncul dan membakar di tengah-tengah tanaman. Jantungku berdegup kencang dan aku meronta meminta dilepaskan.
Api itu tidak membakarku, melainkan menghanguskan tanaman yang telah mengikat erat. Aku benar-benar terbebas. Tidak lama Kazuhiro mengepakkan sayap perlahan-lahan hingga kedua kakinya menapak di tanah.
"Aku tidak mengerti kenapa kamu sangat menginginkan Nadira mati, padahal dia sahabatmu bukan?" ucap Kazuhiro. Dia berjalan mendekat padaku.
Naira hanya tertawa lalu mengeluarkan sebilah pedang melalui sihirnya. Mataku membulat membiarkan syaraf-syaraf yang mengarah pada sumber ketakutan di bawah alam sadar pun aktif. Itu bukan ketakutanku.
Ada perasaan tidak mengenakan yang hinggap dan belum juga pergi. Kulihat Radja membelalak sampai dia tidak sadar ke mana arah Naira akan menebas. Tanpa perlu menghitung rumus kecepatan, aku tetap tidak akan bisa menyainginya. Namun, di saat-saat itulah Ron muncul. Dia memegang tangan kanan Naira dan menjadikan dirinya sebagai tameng bagi kami.
"Kak Ron!" teriakku begitu melihat ujung tajam pedang menembus bagian perutnya.
"Seharusnya regenerasimu lebih lambat, Pean," sindir Naira. Mendengar semua itu aku ingin sekali memukul wajah kelewat manis itu dan mengikatnya di atas pohon cemara, biar saja saat anak-anak bernyanyi 'Naik-Naik di Atas Gunung' mereka menemukan Naira yang terikat di atasnya.
Tidak! Tidak! Aku ini kenapa? Kalau begitu apa bedanya aku dengan mereka yang melakukan kejahatan? Aku harusnya jaga diri sendiri, bukan berpikiran aneh-aneh!
"Tiga lawan satu," ucap Naira, "tetap saja kalah melawanku."
Sudut-sudut mataku mulai terangkat dan rasanya ada sesuatu yang menarik pipi hingga membuat wajahku tegang. "Kami tidak mungkin kalah!"
"Oh ya? Lalu kamu mau melakukan apa, Dira? Kamu tidak lebih dari seorang balita yang terus merengek sebelum diberikan permen kesukaannya. Lihat pipimu menggembung, persis seperti bayi.
"Lalu sekarang kamu datang untuk melawanku? Dengar kita berbeda, aku sudah lebih berpengalaman darimu. Terlebih kekuatan Hana sudah kumiliki semua. Ya ... walaupun aku sedikit terkejut masih ada kekuatan Hana di dalam tubuhmu." Aku refleks menarik tangan dan membiarkan ilalang di bukit mulai mengikat ke atas tubuhnya.
Aku tidak menolak apa yang dikatakannya, tetapi juga tidak menerima apa yang diucapnya. Benar jika aku tidak berpengalaman. Benar jika dia memiliki semua kekuatan itu. Namun, salah jika menganggap remeh orang lain.
Ron berhasil melepaskan diri dan melempar jauh-jauh pedang yang menancap pada tubuhnya. Dia kembali melirik Naira. Kedua tangannya mengeluarkan sinar kuning keemasan, entah apalagi itu. Naira tidak takut, dia malah mengangkat kedua alisnya, seolah-olah menantang kami untuk melawannya. Namun, Ron mengurungkan niat dan diam di tempat.
"Kak Ron!" panggilku padanya. Dia tidak menoleh, tidak juga menanggapi panggilanku.
"Ini tidak akan berhasil," bisik Radja pelan padaku.
Aku berjinjit lalu kembali menapak ke tanah, kulakukan itu terus menerus. "Ini kesempatan untuk melawannya, Radja!"
"Lalu menang dengan mengorbankan kakakmu? Kamu yakin?" Aku menggeleng cepat, lalu Radja melanjutkan ucapannya, "kondisi Pean belum membaik. Naira bisa melakukan apa saja pada kakakmu."
Aku mengembuskan napas. Melirik dua mata tajam Radja sekilas, lalu kembali melihat Naira yang terperangkap. Mataku berakhir di mana tempat Ron terdiam.
Tanpa pikir panjang aku berlari. Radja mungkin akan kaget akan tindakan tiba-tiba ini. Kuambil sebilah pedang milik Naira, entah mengapa sinar keluar dari sana dan mengubahnya menjadi lebih baik. Warna daun yang segar menyelimuti bagian gagang, dan ujungnya semakin tipis dan tajam. Sangat ringan, mungkin mudah retak jika aku berniat menghancurkan sebuah batu besar.
"Dira!" Aku pura-pura tidak mendengar apa yang Radja ucapkan. Kuayunkan dengan cepat lalu kutebas ujung-ujung ilalang yang mengikat Naira dan berdiri di depan Ron.
"Aku tidak akan membiarkan kamu mengganggu keluargaku!" ucapku lantang. Naira memandangiku tidak percaya, begitupula Ron dan Radja. Itu karena apa yang telah aku lakukan.
Tidak perlu menunggu lama, Naira mengeluarkan pedang lain dengan kemampuannya. Dia kembali menyerangku, tetapi tanpa sebab aku bisa mencegahnya. Kemampuan Naira benar-benar tidak bisa dianggap remeh!
Pola ayunan pedangnya tidak teratur, sehingga lawan dengan mudahnya dijatuhkan. Berulang kali dia menebas sisi kanan dan kiri, lalu bawah. Setelah kutangkis formasinya pun menjadi campur.
Aku mencoba membalasnya dengan serangan lawan arah yang lebih kuat dari sebelumnya. Pedang Naira melayang entah ke mana. Tersembunyi di antara ilalang-ilalang yang ada. Kubiarakan ujung pedang ada di hadapannya.
"Naira, berikan aku kekuatan Hana. Apa yang kamu lakukan sekarang bukanlah hal baik," ucapku.
"Huh?" balasnya,"hahaha! Tidak, ini belum berakhir, Dira."
Matanya bersinar terang sehingga aku tidak bisa melihat apapun kecuali warna putih. Tidak tahu apa yang direncanakannya, ataupun apa yang akan terjadi ke depannya.
Hanya satu hal yang kusadari. Aku dan Naira berpindah dimensi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Miss R⃟ ed qizz 💋
inget ulangan ini
kunci jawaban 😂😂
2020-02-15
0