Senja telah menyapaku dengan sendu. Taktakala suram awan menghiasi cakrawala. Kuat-kuat aku *** keranjang berisikan kelopak-kelopak bunga beraneka ragam. Kakiku mulai terasa lemas melihat batu nisan yang berdiri tegak di sana.
Semua orang tidak bisa menolak kematian.
Hatiku berteriak, sungguh belum kuat rasanya berdiri di atas tanah dan membaca jelas nama-nama yang tertulis. Saat kakiku tidak lagi bisa menopang, Ron memegang bahuku. Dia pula yang membantuku untuk berjongkok dan menyebar bunga-bunga di atas tanah.
Lolos, air mataku lolos tanpa perlu seleksi. Mereka berjatuhan membasahi bumi. Beda dariku, Ron memandang kosong. Radja yang mengantar kami hanya bergeming di ujung gapura.
"Maafkan aku, Kak. Aku tidak memberitahu apa pun karena ...." Ucapanku terputus menyadari Ron yang berdiri sambil mengulurkan tangannya padaku.
Tatapan itu masih kosong, tanpa bekas tangis. Dia memaksa tersenyum hanya untuk berkata padaku, "Kita bicarakan nanti di rumah saja."
Aku menerima uluran tangannya dengan tangan kananku. Namun hantaran listrik menyengat di telapak tanganku. Aku spontan menarik tanganku lagi.
"Dira? Kamu kenapa?" tanya Ron. Aku memegang erat tangan kananku yang terkepal. Ada perasaan takut jika Ron mengetahui masa laluku.
Dia berjongkok menyamakan diri denganku. Kedua tangannya menyentuhku. Lalu perlahan melemaskan jari-jari tangan sampai nampak telapaknya.
"Kak Ron, aku tidak apa-apa. Sungguh!" balasku menolak kebaikannya. Ron menaikkan sebelah alisnya, pertanda bingung. Dengan tertatih aku mencoba bangun dan berjalan ke gapura.
"Sebaiknya kita pulang, Kak. Ini sudah terlalu larut, dan Nadira juga terlihat sangat lelah," usul Radja, yang datang entah dari mana.
Ron menatap Radja agak sinis, tapi setelahnya dia tersenyum. "Kamu benar, lebih baik kita pulang."
Aku menyetujui keduanya. Memang benar kondisiku belum membaik. Namun, tiba-tiba penglihatan lainya datang. Aku mencoba menolak, tetapi semakin kuat penglihatan itu menguasai pikiranku.
Aku melihat Radja berubah bentuk dan melawan Azumi. Perempuan itu tersenyum menyeramkan. Dengan kedua tangan kosong, Radja dikalahkan. Radja terluka parah, kepalanya terbentur dan mengeluarkan darah, sudut-sudut bibirnya pun terdapat warna merah. Merah hampir mendominasi warna hitam. Tidak ... aku sebenarnya tidak mau beramsusi jika Radja mati. Tidak lagi ....
Saat membuka mata, kedua laki-laki di hadapanku terlihat bingung. Kak Ron membuka pembicaraan, "Kamu benar kondisi Nadira tidak baik. Bisakah kamu mengantarnya? Aku akan membeli air minum dan makanan ringan ke toko di seberang sana. Kalian tunggu saja di mobil."
Aku mengikuti langkah Radja. Satu meter jarak kami, karena aku terlalu lamban. Perasaanku semakin memburuk. Vivian apa arti dari penglihatanku ini?
Swing!
Lagi-lagi sebuah meteor menghantam jalan raya. Radja segera melindungiku dengan mengembangkan sayap naganya. Ini terlalu tiba-tiba. Radja segera terbang ke atas mencari orang yang telah merapalkan mantra meteor.
"Nadira, carilah tempat berlindung! Aku sudah tahu siapa yang menyerang," serunya dari atas. Aku semakin tidak tenang. Susah sering aku mendapat penglihatan, dan kali ini tidak salah lagi.
"Tidak Radja! Kita harus melarikan diri!" teriakku.
Sebuah tombak besi terbang bebas di belakang Radja. Aku terkejut. Segera aku mengarahkan kedua tanganku pada tombak, berharap ada tanaman rambat yang bisa menahannya. Sayangnya tidak mencul dari mana pun.
"Radja! Menghindarlah!" Aku kembali berteriak. Segera mungkin Radja menghindar, tetapi sebuah anak panah menembus ke bahunya. Ngilu. Radja tiba-tiba terjatuh, karena hilang keseimbangan.
Aku mencoba mengejarnya, tetapi lagi-lagi ada serangan dadakan. Pasir mengeras berdiri tegak tidak beraturan. Dari mana asalnya, tidak aku pedulikan. Aku mencoba berlari sekuat tenaga sebelum Radja terjatuh. Namun seseorang menarikku ke belakang hingga kamu terjatuh.
Brak!
"Kamu berpikir apa, Dira?!" Suara itu milik Ron. Dia tampak panik. Namun tidak terkejut dengan keadaan seperti ini. "Kamu bisa mati!"
"Radja," lirihku, "Kak, Radja ... dia."
Mataku terbelalak. Di seberang sana, Radja terjatuh dan membuat jalan raya retak. Aku ingin berteriak. Hatiku sakit, seolah diremas-remas.
Ron menutup kedua mataku. Gelap. Gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Namun, kenyataan Radja terluka parah ... terngiang di benakku.
oOo
Seminggu sudah Radja tidak masuk sekolah. Luka itu terlalu parah. Tentu saja aku masih bisa mengingat jelas pertarungan Radja seminggu lalu. Tepat di hadapanku dan Ron. Miris.
Ada satu masalah yang menggangguku.
Kecanggungan antara aku dan Ron masih berlanjut. Kehadirannya yang disambut berita duka, rasa khawatir kala itu dan bahkan amarah karena aku hampir mencelakai diri sendiri. Bahkan ketika fajar menyambut dan dia dengan santai menghidangkan nasi goreng sambal untuk sarapan.
"Sejak hari itu ... kamu makan apa?" Ron melirikku dengan mata berkilat tegas serta rahangnya yang mengeras.
"Tentu saja aku masak, Kak. Bihun, mie dan telor," jawabku sambil menunduk.
Tak!
Kening Ron mengerut seiring dia meletakkan piring kosong di atas meja untuk dirinya sendiri. Akhirnya dia membalas, "Sejak kapan kamu suka makan mie?"
"Tidak ada pilihan lain, Kak. Tidak setiap waktu bihun dan telur ada dan aku terpaksa makan mie."
"Kamu tahu mie sangat berbahaya untuk kondisi tubuhmu." Dengan sesuap nasi terakhir masuk ke dalam mulut, aku kebingungan harus membalas apalagi. Apa yang Ron katakan memang benar.
"Maaf."
"Sudah aku putuskan." Tidak lama Ron berdiri mengambil dua piring kosong milik kami berdua. Matanya masih berkilat, dan mulutnya kembali membuka suara, "aku akan tinggal di sini."
"Tidak, Kak!" tolakku mentah-mentah. Aku berteriak padanya. "Kakak masih memiliki pendidikan di Australia, mendapatkan beasiswa tidak mudah. Lalu kakak membuangnya begitu saja?"
"Kalau begitu kamu yang ikut kakak ke Australia. Waktumu menentukan sampai lusa. Suka tidak suka." Satu pilihan lagi dan aku kembali naik pitam.
Aku menggelengkan kepala. "Kak, aku punya pendidikan di sini. Banyak hal yang harus aku kerjakan! Kakak tidak bisa seenaknya begitu menentukan kalau aku harus tinggal di mana."
"Mengertilah Dira, aku satu-satunya keluargamu yang tersisa. Aku melakukan semua ini karena ingin melindungimu dari bahaya!"
"Kak aku ...." Sejenak aku terdiam. Dahiku berkerut memikirkan apa yang Ron ucapkan. Salah satu kata aku simpan baik-baik. "Bahaya?"
"Aku tidak ingin kehilanganmu, hanya karena keegoisan Azumi."
Aku mematung di tempat, otakku pun turut ikut berhenti berpikir. Hatiku berdebar-debar tidak karuan. Bagaimana Ron tahu tentang Azumi?
Rahang Ron mengeras, menegaskan apa yang dia katakan. Namun, tidak lama dia melunak dan pergi ke dapur. Aku menahan napas dan membuangnya perlahan.
Semoga saja aku salah dengar.
oOo
"Tumben kamu gak ke perpus, Dira." Aku menoleh mencari asal suara. Anak laki-laki yang membawa dua buah buku yang lalu meletakkan di atas mejanya. Ternyata si ketua kelas, Candra.
"Kamu tahu sendiri," balasku malas. Aku membuka tempat pensil dan meraih pulpen teratas di antara yang lainnya.
Candra memegang dagunya, lalu dia kembali menatap bangku di belakangnya. Tidak lain tidak bukan. Dia melihatku yang sedang menulis. "Maaf. Aku baru ingat Miss Ann masih ...."
"Kapan Radja sembuh?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutku.
"Jangan terlihat sedih begitu. Aku bisa lihat dari matamu yang berbinar-binar tapi sedih," ucapnya, "aku tahu dari Miss Ann, kekuatan naga hitam milik Kazuhiro dapat mempercepat penyembuhan. Namun, kapan pastinya aku tidak tahu."
Puplen milikku berhenti menari. Refleks aku menarik tangan dan menutup mata. Lalu membuka kembali seiring mengembuskan napas. Candra kembali duduk di depanku, dia mulai fokus pada buku-buku yang ada di atas mejanya.
Aku menyerah. Seandainya aku tahu cara untuk pergi ke sana tanpa bantuan yang lainnya. Aku ingin menjenguk Radja. Setidaknya hanya sekedar meminta maaf.
"Dira," panggil Candra, "Aku lihat kamu memakai jam tangan yang dulunya menyimpan kekuatan Hana. Kamu yakin jarum jamnya sudah benar?"
Mataku langsung tertuju pada tangan kiri, di mana aku memang memakai jam antik tersebut. Benar, waktunya belum tepat. Terlalu jauh bahkan. Seharusnya jarum pendek mengarah pada angka sepuluh, bukan empat.
"Kamu benar. Terima kasih sudah memberi tahu," balasku cepat.
Candra kembali melihatku dan tersenyum lalu berkata, "Putarkan saja jarum pendeknya sebanyak 360°, nanti waktunya akan benar dengan sendirinya."
"Benarkah?" Pertanyaanku dibalas anggukan miliknya.
Aku langsung tergerak untuk memutar jarum jam melalui pemutar di samping kanan badan jam. Melakukan instruksi Candra untuk memutar sampai 360°. Selesai. Namun, tidak ada yang berubah. Terkecuali kupu-kupu yang tiba-tiba keluar dari jam dan menyerbu mukaku.
Selang beberapa menit, aku merasa jatuh di hamparan rerumputan. Saat membuka mata, aku tidak lagi berada di kelas. Tidak ada Candra di sini!
Rumput-rumput hijau dan banyak bunga warna-warni. Sepertinya aku pernah melihat ini. Sangat familier. Saat berbalik aku menemukan sebuah kerajaan besar dengan dua penjaga di depannya.
Ini di dunia itu!
Aku segera menghampiri kedua penjaga, mereka terlihat mengenaliku sehingga gerbang langsung terbuka. Dinding-dinding megah dan indah. Ini tempat yang sering aku kunjungi dan pertama kalinya bagiku melihat secara detail tanpa terikat urusan apa pun.
Ah benar urusan!
"Aku harus menemui Radja selagi aku masih di sini," gumamku pada diri sendiri.
Aku mencoba mencari ke setiap ruangan, tidak ada. Kedua kakiku saling menghentakkan dengan lantai di bawah sampai terdengar bunyi 'Tap' berulang kali. Kerajaan ini terlalu luas dan tidak ada satu orang pun yang bisa kutanyakan. Bahasa mereka tidak bisa aku mengerti. Para peri terlihat seperti orang yang bisu dan tidak berkata apapun. Para kurcaci hanya mengucapkan kalimat aneh yang tidak dapat aku terjemahkan.
Aku memandang kedua tangga, sayap kanan dan kiri. Mungkinkah Radja ada di kamar yang sering digunakan olehku? Aku mempercepat langkah sebelumnya.
Sesampai di pintu kamar, aku langsung membukanya. Tidak mengetuk terlebih dahulu. Hatiku mencelos. Di depan sana benar-benar berdiri seorang anak laki-laki dengan perban di kepalanya sedang menghadap jendela.
"Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak mau makan? Berhentilah menggangguku." Aku tersentak mendengar ucapannya. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Bibirku kelu. Aku benar-benar bergeming.
Radja berbalik dan melihatku. Sungguh, aku tidak tega melihat perban di kepala dan lengannya. Luka tersebut belum sembuh benar.
"Maaf, apa aku menganggu istirahat kamu?" Radja tidak menjawab pertanyaanku. Matanya menatap ke sudut kiri, padahal tidak ada apa pun di sana.
"Aku tidak pernah memberitahukan padamu cara ke tempat ini," balasnya datar.
"Jangan tanya aku bagaimana aku datang, karena aku sendiri tidak mengerti. Bukankah bagus aku datang sekarang? Bisa saja saat kamu sembuh, kita tidak akan bertemu lagi," jelasku. Ya, bisa saja lusa nanti aku terpaksa ikut dengan Ron. Aku tak akan bisa bertemu mereka lagi.
"Maksudmu?"
Aku hanya tersenyum simpul. Tidak akan pernah sempat bagiku untuk menjawab. Keadaan kembali memburam, seakan aku sedang menutup mata.
"Dira, hey, are you okay?" Aku perlahan membuka mata. Orang yang pertama kulihat adalah ketua kelas. Candra dan wajah kekhawatirannya.
Aku kembali ke kelas secara tiba-tiba. Tangisku membuncah.
I'm so sorry.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Miss R⃟ ed qizz 💋
fightinggfl
2020-02-15
0