"Nadira!" Radja memanggilku dari luar. Perlahan aku menoleh ke belakang. Terlihat dari ambang pintu yang menghubungkan halaman dan ruang tamu masih terbuka dengan seorang anak laki-laki berdiri di sana.
Kabut asap yang perlahan muncul tidak bisa membuat Radja sulit untuk menemukanku. Namun, aku tetap diam. Ini terlalu mengejutkan.
"Nadira, apa yang terjadi?!" Radja mempertanyakan padaku.
Aku yang tidak mampu bicara hanya bisa menoleh ke bawah. Memperhatikan setiap sudut yang ternodai oleh bercak kemerahan. Lalu berakhir dengan dua orang dewasa penuh luka dan darah.
"Nadira ...," lirih Galih, tepat bersembunyi di balik punggung Radja. Sudah pasti tahu apa yang aku tunjukkan.
"Aku puas! Hahaha!" Gelak tawa sang gadis berambut ombre itu menyadarkan lamunan Galih, Bizar dan Radja.
Radja tiba-tiba menarikku ke belakang dan mengintruksikan pada Galih lewat matanya. Sementara Bizar berkutat dengan pemprograman. Seolah-olah mereka siap berperang.
"Nadira, dengarkan aku ... jangan seperti ini," ucap Hana, tapi aku mengabaikannya. Tatapanku tidak bisa fokus. Berulang kali mataku melihat ke sisi ibu dan ayah yang telah tiada.
Sampai aku membuka mata lebar-lebar setelah mendengar ucapan gadis di seberang sana, "Ini permulaan kecil, Hana. Keluarga besar kamu telah aku bunuh! Ini karena kamu membunuh keluargaku!"
"Hentikan!" bentak Galih, "sebenarnya kamu siapa dan apa tujuanmu sebenarnya?!"
"Aku Nadia," balasnya, "reinkarnasi Ameterasu. Tujuanku bukannya sudah jelas? Balas dendam."
"Bizar ...," panggil Radja pada si ilmuwan. Aku ikut menengok. Wajah Bizar begitu menyakitkan dan matanya tertutup.
"Aku tidak mengerti .... Kenapa kamu harus membunuh orangtuaku?" ucapku lirih. Semakin aku menatapnya, semakin pedih rasa di hatiku.
"Karena orangtuamu telah membunuh keluargaku, Hana."
Sekilas, aku tidak bisa bernapas. Tunggu, ini bukan tanggal delapan. Namun, aku merasa seperti ada di saat itu. Kepalaku sakit dan kakiku tidak siap untuk menopang berat tubuh. Kenapa? Kenapa?
Bruk!
Aku mematung di ambang pintu kamarku sendiri. Ke mana gadis itu pergi tidak aku pedulika. Tatapan mata nanar melihat seisi rumah. Lalu, di antara mereka bertiga, belum ada yang mau meninggalkan rumah ini. Mereka saling bahu-membahu membereskan rumahku. Percuma saja.
Anak laki-laki berkacamata adalah orang yang pertama menyadari keberadaanku. Aku tidak paham apa yang diucapkan. Padahal dia berbahasa sama sepertiku. Namun, apa yang dia ucapkan? Lalu, dia mengguncang pelan bahuku. Entah mengapa aku tidak bisa berekpresi. Pasrah saja seperti sebuah boneka.
"Nadira! Nadira!"
Siapa yang memanggilku? Aku hanya bertanya-tanya tanpa mampu berkata-kata. Seakan semua ini memang akhir dari hidupku. Seolah dewa kematian akan memanggilku. Untuk apa aku berjuang dalam hidup ini? Untuk apa?
"Hey! Ucapkan sesuatu, Dira! Jangan seperti ini."
"Aku akan memanggil yang lain, kalian jaga Nadira!"
Siapa mereka?
Aku tidak bisa menerka apa pun. Anak laki-laki yang rambutnya agak panjang dan berantakan pergi. Namun, yang aku lihat adalah pedang perak tajam yang menggantung di samping badannya. Tanpa aku ketahui, tangan ini bergerak sendiri dan menangil pedang miliknya.
"Dira! Apa yang kamu lakukan?"
Lagi, aku mengabaikan suara-suara di balik kepalaku. Pedang tajam itu kubawa lari agak jauh dari mereka. Keterkejutan mereka belum selesai ketika mengejarku sampai ke dalam kamar. Aku yang membisu ini tiba-tiba mampu berucap, tetapi kasar.
"Pergi!"
"Nadira, bunuh diri bukan solusi tepat," ucap anak laki-laki berkacama biru. Aku memutar mata bosan.
"Dengar, hatimu sedang kacau, jangan seperti ini." Salah satu dari mereka lagi-lagi menasehatiku. Aku tidak peduli. Jika mereka memang ingin melihaku mati di hadapan mereka, biar saja.
Kuangkat pedang tersebut tinggi dengan ujungnya yang kuarahkan ke jantungku. Mata mereka terbelalak. Berusaha berlari dan menghentikanku. Namun, belum sampai aku menikam diri sendiri, orang di dalam tubuhku telah mecegahku. Detak jantungku melemah, sulit bernapas, dan sekali lagi aku jatuh pingsan.
Terbangun di suasana yang berbeda dengan kaki terbelenggu di salah satu pilar ranjang. Ini kamar di dunia lain. Saat aku menoleh ke sisi kanan. Terdapat infus yang mengarah ke tangan kananku. Apa yang terjadi?
"Nadira, harusnya kamu bisa mengatur emosi, kamu. Mati bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah. Hadapi dan jangan menghindar."
Aku ingat sekarang. Segalanya. Tentang percobaan bunuh diri di mana aku lepas kenali, dan juga kejadian yang membuatku melakukannya. Aku mencoba bangun dan menekuk lutut, lalu menangis begitu saja. Samar-samar dari balik pintu aku mendengar suara Demina dan Radja.
"Aku tahu, ini keputusan Miss Ann. Namun, Nadira baru saja kehilangan segalanya. Seluruh keluarganya, Demina," ucap Radja dengan nada tegas.
"Tapi, Miss Ann memintaku untuk memindahkan jiwa Hana dari tubuh Nadira pada Naira. Gadis itu juga butuh pertolongan." Kali ini suara Demina terdengar sangar frustasi.
Hana, kamu akan pergi sekarang?
"Tidak mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini." Aku mencoba yakin. Namun, tidak berselang lama. Suara pintu terbuka dapat kudengar dan disusul suara langkah kaki yang mendekat.
"Dira," panggil Radja sehingga aku menoleh. Mungkinkah dia yang memenangkan perdebatan dengan Demina? Atau malah sebaliknya? Yang manapun terdengar buruk bagiku.
Aku menatap iris matanya dalam. Penuh luka dan frustasi. Dia juga melihatku, depresi melanda. Stress tidak berujung. Lalu dia menutup wajahnya sendiri sebelum menatap ujung belenggu.
"Kami tidak bermaksud untuk mengurungmu, Dira." Aku diam. Percuma saja, aku bicara, jika hanya caci maki untuk anak laki-laki baik yang bicara padaku. "Kamu tertidur selama tiga hari."
Tiga hari? Lama sekali. Kenapa tidak selamanya saja?
Simbol di tanganku tiba-tiba sakit. Lalu aku mendengar Hana marah. Setelahnya aku kembali mendengarkan omong kosong Radja, "Seluruh keluargamu sudah dimakamkan. Kami akan mengantarmu ketika kamu siap."
"Aku tidak akan pernah siap. Itu hanya imajinasi," ucapku dalam kehampaan, "tidak ada yang meninggal. Ini hanya main-main saja."
Radja terdiam beberapa saat sebelum melnjutkan pembicaraan, "Dira, aku tahu ini sulit. Kehilangan sahabat terbaikmu, lalu keluargamu, dan sekarang ...."
"Aku akan kehilangan Hana. Aku tahu, dua sahabatku kalian renggut begitu saja. Demina dibunuh Azumi, diganti oleh Atsuko. Lalu, Naira, yang bahkan aku belum bertemu lagi dengannya. Namun, kalian bilang dia reinkarnasi Hana yang sebenarnya. Setelah itu Naira akan hilang, Hana berpisah denganku, dan aku sendirian," jawabku panjang lebar. Aku langsung mengedar pandang ke sudut kamar, ke ornamen-ornamen maupun langit-langit. Bagiku di manapun asal mata kami tidak bertatapan.
"Kamu masih bisa ke sini, kamu tidak akan sendirian." Radja mencoba menghiburku, aku hanya tersenyum kecut. Bisa saja, Galih menghapus memoriku tentang mereka, termasuk Hana.
"Aku rela, tidak apa Hana diambil dariku sekarang. Kalian membutuhkannya," balasku. Tentu membuat Radja dan roh di dalam tubuhku ini ikut terkejut. Perkataanku yang tiba-tiba, sangat mengagetkan.
"Nadira, kenapa?"
Lebih baik sekarang, sehingga aku kehilangan kalian semua. Aku tidak mau lepas kendali lagi.
"Kondisimu belum baik." Aku terdiam. Hana benar, kondisi tubuhku belum kuat.
"Apa yang Hana katakan, Dira?" tanya Radja padaku. Disaat seperti ini, ketidakmapuannya dapat aku manfaatkan. Maafkan aku, Hana.
"Bukan apa-apa. Aku sudah siap." Hana terkejut, aku bisa merasakannya. Namun, bagaimana juga ini yang terbaik untuknya, dan untuk keselamatan dunia.
Radja mengembuskan napas. Dia mengambil sebuah pil dari saku, lalu memberikannya padaku. "Makan itu, prosesnya akan sakit. Kusarankan kamu lebih baik pingsan saja."
Benarkah hanya pingsan? Atau aku harus melupakanmu?
"Pikirkan lagi, kumohon." Aku tidak mengindahkan apa yang Hana katakan lagi. Segera aku meminum pil dan kembali tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Miss R⃟ ed qizz 💋
aku disini
2020-02-15
0