Waktu bagiku untuk berpikir dimulai sejak aku keluar dari perpustakaan saat istirahat pada sore hari. Orang bernama Hana di dalam tubuhku tidak sedikit pun memaksakan kehendaknya. Namun, semua ini masih di luar logika manusia normal. Apa aku harus percaya?
Jam pelajaran terakhir baru saja selesai dan aku menunggu Demina. Dia janji akan mengembalikan buku cerita yang direbutnya dariku. Aku melihat penunjuk waktu pada dinding kelas, tepat di atas papan tulis. Pukul 18.05 WIB, ini sudah lewat sepuluh menit dari jadwal pulang biasanya. Aku mengembuskan napas dan masuk lagi ke kelas.
"Demina, kenapa lama banget? Aku udah lumutan nih," tanyaku pada gadis di ujung sana. Bahunya bergetar, apa dia menangis? Aku tidak tahu.
Perlahan aku mendekati dan memegang pundaknya, barulah dia membalas dengan nada yang begitu lirih, "Dira ...."
Demina berbalik menatapku. Kedua tangannya memeluk buku fantasi yang kupinjam. Dia menyerahkannya begitu saja, tanpa berucap ataupun mengomel padaku.
"Dengar, Dira. Aku mau minta maaf jika selama ini aku selalu memaksamu dalam segi pelajaran. Terima kasih telah menjadi sahabatku." Aku semakin tidak mengerti. Tangannya belum juga lepas dari buku. Aku memandangnya heran; dia sukses membuat perasaanku tidak enak.
"Kamu ngomong apa sih?" tanyaku sambil tertawa hambar, tapi dia tidak tersinggung sedikit pun.
"Aku terlaku takut," ucapnya. Aku memandang bingung ketika Demina menunduk ke bawah dan melanjutkan kata-katanya dengan lirih, "takut ketika besok terbangun ... aku sudah tidak ada lagi di sisimu, Dira."
Kenapa tiba-tiba sekali?
"Kamu aneh, jangan bilang kamu mabuk soal matematika ya? Lihat aku yang nilainya paling buruk, sangat santai kok." Aku mencoba tertawa, meredam seluruh perasaan aneh di dalam hati.
Demina ikut tertawa lepas bersamaku. "Iya deh kayaknya. Yuk pulang."
Aku berjalan lebih dulu ke arah pintu kelas. Walaupun tawa Demina masih terdengar, entah kenapa tidak sedikitpun menghapus keresahanku. Di luar kelas aku berbalik melihat Demina hanya tersenyum. Mataku terbelalak, debaran jantungku begitu cepat. Atmosfer bumi lebih terasa menyesakkan. Tidak dapat disangkal jika tubuhku bergetar hebat.
Sejak kapan?
"Kamu kenapa, Dira?" tanya Demina yang masih berjalan ke arahku.
"I ... itu ...." Mulutku berhenti bicara ketika aku melihatnya. Tidak. Ralat! Bukan Demina, tapi sosok perempuan berambut pirang terang yang tersenyum di belakangnya. Mata gadis itu merah darah, seakan-akan dirinya telah menghisap darah segar makhluk hidup. Namun, gadis itu tidak berkutik, hanya memamerkan senyum dengan tatapan tajamnya.
Demina dalam bahaya, aku harus menolongnya!
"Hentikan, Nadira! Jangan ke sana!"
Aku menuliskan telinga, tentu saja. Rasa khawatir dan ketakutan menjadi bayang-bayang langkahku. Aku nyaris saja masuk ke kelas ketiga gadis itu memperlihatkan telapak tangan kirinya ke depan. Sinar merah berkumpul jadi satu dan berterbangan ke arah pintu.
Brak!
Ada dorongan kuat yang membuatku terjatuh. Begitu saja aku menangis mendengar suara pintu tertutup. Berulang kali aku meneruskan nama Demina. Aku takut, aku harus memanggil guru!
"Jangan bertindak gegabah, Nadira!"
Demina dalam bahaya dan aku harusnya menolong dia! jawabku dalam pikiran.
"Dira tolong! Tolong aku!!!" Teriakan itu semakin kencang ketika aku mendengar suara ketukan pintu yang makin cepat dan tidak beraturan.
"Demina!" teriakku. Aku bangun dan menerjang pintu. Beberapa kali aku mencoba membukanya, tapi tidak bisa. "Demina!"
Aku diam membisu. Mengapa sekolah menjadi menakutkan? Aku berbalik. Di hadapanku berdiri seorang gadis yang sebelumnya berada di dalam ruangan bersama Demina. Aku mundur beberapa langkah hingga punggungku membentur pintu kelas.
"Biarkan aku menemuinya!" seru Hana. Sebagian diriku masih menolak eksistensinya.
Gadis itu mendekatiku. Dari bawah hingga bahuku mulai bergetar seakan mewakili ketakutan di hati. Aku menggigit bibir bawahku. "Aku tidak memintamu diam. Jawab aku."
"Tutup matamu, biarkan aku menemuinya!" seru Hana lagi, tapi aku tidak menurut. Pikiranku berpusat pada orang di dalam ruang kelas, Demina.
Aku mencoba menatap lantai, membiarkan air mataku membasahi pipi. Padahal aku bisa saja kabur meninggalkan Demina. Berarti pula aku lari dari masalah. Tidak, malah masalah yang lebih besar akan menimpaku dengan pertanyaan-pertanyaan dari orangtua Demina. Aku tidak bisa kabur.
"Nadira!!!" Aku mendongak saat Demina kembali memanggilku, bersamaan pula ketika gadis itu berusaha mendekatiku. Apa yang harus kupilih? Mana yang terbaik?
Gadis itu memiringkan kepala dan menyentuh rambutku. Hana dingin memaksa diriku untuk diam. "Kamu yang memintaku memakai cara kasar."
Aku merasakan dia menarik tangannya dari rambutku. Beberapa kali dirinya menjentikkan jari. "Valvous."
"Argh. Nadira!!!"
Rasa terkejutnya bertambah ketika mendengar teriakan Demina. Aku berbalik menghadap pintu, berulang kali memutar kenop pintu dan mengetuknya. Tangisku semakin pecah, bahkan rasa takutku menjadi berlipat-lipat. Aku berteriak, "Demina! Demina!"
"Di mana Hana?" ucap gadis itu lagi.
"Nadira, aku minta tutup matamu. Tenangkan dirimu di dalam." Kali ini aku menurut. Kupejamkan mata, dengan rasa campur aduk di hatiku.
Lalu setelahnya aku tidak dapat mendengar dan melihat apapun, seakan aku tuli dan buta karena gadis tersebut.
oOo
Saat aku terbangun ... aroma asing terhirup ke hidungku. Mataku sembab, badanku sakit, mungkin saja bisa remuk kalau disentuh. Ada seorang laki-laki, berambut panjang acak-acakan hingga dagu. Dia duduk di samping kasur sambil membaca buku fantasi. Rasanya aku familier dengan buku itu itu ....
"Sudah sadar?" tanyanya ketika menutup buku dan menyimpan di atas meja.
Aku mengangguk. "Demina di mana?"
"Aku membawamu ke dunia lain, tapi yang pertama kamu tanyakan adalah sahabatmu. Aku tidak mengerti, bahkan kamu tidak bertanya siapa aku." Laki-laki itu menggeleng seolah aku melakukan kesalahan besar dengan tidak bertanya hal yang diucapkannya. Aku tahu harusnya aku juga mewanti-wanti keadaaan ini.
"Memangnya ini di mana?"
"Akhirnya kamu bertanya juga. Kita di kamar kerajaan. Sebelumnya aku sudah bilang kalau kita ada di dunia lain, bukan bumi, tepatnya Twins," jelasnya, "jujur aku kecewa, kamu belum juga menanyakan siapa aku."
Aku mengerjapkan mata, aku hanya butuh informasi tentang Demina. "Maaf, aku rasa keadaan sahabatku lebih penting daripada namamu."
"Tidak masalah, lain kali aku tidak akan membantumu lagi," balasnya sama kasar denganku. "Jika keadaan Demina lebih penting, maka keadaan Hana sama pentingnya."
Alisku terangkat sebelah. Kenapa rasanya jadi berputar-putar? Aku menatapnya tajam, coba saja tubuhku memiliki tenaga normal untuk memukulnya.
"Kenapa kamu sangat menyebalkan? Memangnya kamu siapa? Kenapa harus menolong aku dan Demina?" Aku berteriak. Anak laki-laki itu terlihat kaget. Seumur-umur, baru kali ini ada orang yang membuatku kesal sampai berteriak seperti sekarang.
Dia mengembuskan napas. "Aku satu-satunya teman sebaya yang tahu identitas kamu sebagai Hana, aku kenal Demina, seorang wakil ketua murid harus ingat teman-temannya."
Kali ini aku yang dibuat kaget, "Radja? Tapi kamu sangat beda ...."
"Memang penampilanku di sini berbeda."
"Bukan penampilan, itu salah satunya," kilahku, "tapi sifat kamu juga beda."
"Gimana kamu tahu sifatku sementara kamu saja tidak mengenalku dengan dekat? Ya ampun!" Dia menepuk jidatnya. Aku tersenyum geli melihatnya, karena kalau di kelas dia tidak pernah bertingkah seperti ini.
Radja berbeda, terkesan dingin tapi nyatanya cerewet. Dia menyerahkan buku fantasi di atas meja. Aku bisa melihatnya. Itu buku yang aku pinjam dari perpustakaan. Terakhir kali aku memegangnya mungkin sebelum aku terjatuh dan pintu kelas tertutup. Sesak menemaniku saat aku menerima buku tersebut.
"Radja, apa yang terjadi? Aku ingin tahu soal Demina," tanyaku memberanikan diri. Padahal aku sadar kalau hatiku belum sepenuhnya siap mendengar kejadian yang telah dialami Demina.
"Peringatan pertama dari Azumi, dia ingin menghancurkan bumi dan dunia ini, lalu membuat seluruh manusia menjadi budaknya. Aku terlambat datang, Hana babak belur, dan sahabatmu ...."
"Apa yang terjadi?" Aku menggigit bibir.
"Saat aku datang, Demina nyaris tidak bernyawa. Namun, Miss Ann sedang mengobatinya. Demina masih punya harapan hidup," jelas Radja.
"Syukurlah kalau begitu ... aku mohon selamatkan dia," ucapku lirih.
Radja lalu tersenyum, "Jika kamu sudah merasakan baikan, aku akan mengantarku pulang. Ini sudah jam tujuh malam."
Aku mengangguk. Ibu dan ayah tidak akan tahu anaknya pulang larut malam, mereka sibuk bekerja. Namun, rasanya aku tidak tega meninggalkan Demina. Orangtuanya pasti kebingungan dan tentunya aku yang mereka tanyakan lebih dulu. Apa yang harus aku ucapkan?
"Oh, kalau orangtua Demina bertanya anaknya ke mana ... taburkan bubuk ini di depan mereka. Setidaknya mereka akan lupa untuk sementara. Itu juga untuk orangtuamu, jika mereka curiga dengan kejadian hari ini," jelasnya. Dia memberikan sekantung bubuk yang menyerupai pasir bedanya berwarna biru laut, tidak tahu namanya apa. Aku hanya mengangguk lalu menarik tali di sekitar kantung dan mengikatnya dengan simpul hidup agar pasir di dalamnya tidak berhamburan.
Apa lagi yang akan terjadi kira-kira?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
talita school work
kesel bgt sama nadira gatau kenapa 😭😭 plin plan bgt
2021-09-07
0
Arinimase
seperti menjadi tokoh utamanya.... tapi, antagonisnya dimana? kapan munculnya nih
2020-06-03
4
Miss R⃟ ed qizz 💋
numpang mojok
2020-02-15
0