Menjadi Hana, artinya aku harus melupapkan segalanya. Aku bukanlah lagi Nadira, manusia biasa dengan keluarga yang sangat menyayangi anaknya. Hampir sebulan sejak insiden pembantai yang dilakukan si gadis berambut merah. Dengan kobaran api biru, jingga, dan merah masih terbayang-bayang dalam mimpi. Atau bahkan kenyataan tentang diri sendiri. Semua kejadian itu masih terekam sempurna.
November Rain.
Itu pantas menjadi judul pembuka di awal bulan dengan musim hujan. Belakangan ini ribuan tangis langit lebih sering menyapa tanah dan tumbuhan.Menghidu petrikor, seharunya membuatku lebih tenang dan merasa sehat. Namun ini tentang lima hari lagi, mimpi buruk akan dimulai. Aku harus bisa bertahan. Menahan rasa sakit itu lagi.
"Seharusnya ini tidak ada di sini," ucapku pada diri sendiri. Tangan kanaku sudah memegang bingkai foto retak. Benda yang seharusnya ada di gudang penyimpanan.
Foto itu sebuah memori yang tampak untuk dikenang. Di sana aku bisa melihat orang tuaku. Senyum ayah, ibu dan anak perempuan di sana membuatku meringis. Ini bisa menghambatku.
"Akh!" Telapak tangaku terasa sakit. Ini seperti ribuan voltage mencoba menyengattku, gambaran lainnya seperti satu jarum menusuk secara perlahan-lahan di jari-jari tangan. Kedua telapak tanganku memancarkan cahaya biru bercampur ungu. Tepat pada garis-garis yang membentuk simbol bercahaya terang saling mengejar.
"Nadira!" Refleks aku mengepalkan tangan hanya untuk menutupnya. Entah siapa yang memanggil, tetapi aku merasa tidak asing. Ya, siapa lagi kalau bukan Radja ---orang yang akan berteriak percaya diri seperti itu dari luar rumah?
"Nadira!" Aku geram mendengar Radja memanggilku. Pipiku memerah dengan air mata tertampung di pelupuk mata. Dia menggebrak pintu depan, itu terdengan dari suara berat yang dapat mengagetkan orang. Ketika aku berbalik dia mulai berjalan dan berhenti di hadapanku. Dengan mimik wajah yang sulit dimengerti.
"Mau apa?" tanyaku, terlontar begitu saja tanpa perlu berpikir lama. Dia mencengkeram kedua tangannya di atas pundakku. Segera saja aku menyingkirkannya.
Di luar sana masih terdengar suara telapak kaki yang beradu dengan tanah. Tempo cepat, setengah berlari. Aku bertanya-tanya tentang siapa lagi yang mau mengganggu hariku.
Tiba-tiba saja Radja membentakku, "Berhentilah!"
Aku bisa merasakan napasnya masih terengah-engah, begitu juga sosok peremupuan yang sudah terlihat jelas di depan pintu. Demina. Bukan tanpa alas an dan tujuan yang tidak jelas mereka ke rumah. Hatiku meyakini itu semua.
Bibirku mencoba kelu, tapi tidak bisa. "Aku tidak mengerti apa maksudmu, Radja."
"Kembalilah," lirih Radja, "kembalilah menjadi Nadira yang kami kenal. Kamu bukan Hana."
Aku tidak menjawab. Pilihaku adalah berjalan melewatinya tanpa perlu menjawab. Bersikap seolah-olah itu adalah pertanyaan tertorik. Tidak perlu dijawab.
"Nadira! Aku memanggilmu sebagai seorang sahabat!" teriak Demina yang ternyata memilih untuk berdiri di depan pintu.
"Perlu berapa kali aku sebutkan jika Nadira sudah mati?" sindirku pada mereka berdua. Perkataan yang terucap memang kejam, tetapi aku berharap itu bisa membuat mereka berhenti mengusikku.
"Nadira itu kamu!" Kali ini Radja membentak. Dia menahan lenganku begitu kuat sampai aku bisa merasakan perasaan kecewanya yang begitu dalam. Bisa saja aku mendorongnya sampai jatuh agar mereka berhenti. Namun, seekor kucing pun tahu itu keterlaluan.
"Cukup! Aku adalah Hana! Kenapa kalian bersikeras menyatakan kalau aku adalah Nadira?" amukku. Radja telihat membelalak, mungkin terkejut. Bukan. Bisa saja ini karena aku melampaui batas. Ini bukanlah sifatnya.
Lebih dari itu, Demina kembali menerjang arus dan menyatu dengan musim hujan. Setiap hentakannya yang beradu dengan tanah dan genangann air memunculkan gemuruh serta kilat. Aku menahan napas.
Sebegitu kecewanya kah kalian kehilangan gadis yang bahkan harapan hidupbya telah hancur berkeping-keping.
"Katakan padaku." Aku berbalik menghadap Radja bingung. Dia belum melanjutkan kalimatnya, dan hujan semakin deras. Dia baru melanjutkan kata-katanya setelah kilat menyambar dan terlihat jelas di luar rumah, "kamu Hana atau Nadira?"
"Hana," balasku.
"Hana Nadira?"
"Hana!" ucapku dengan setengah membentak.
"Hana Nadira?"
"Hana!"
"Hana Nadira?"
"Hana?" Aku rasa dia akan bertanya sekali lagi, dan entah kenapa aku sangat muak menjawabnya. Ya, kali ini harus aku katakana dengan lantang.
"Nadira Hana!"
"Sudah aku bilang berapa kali aku adalah Nadira!"
Deg!
Detak jantungku berpacu lebih cepat tapi hati merasa lega. Sekejap aku baru saja sadar apa yang kuucapkan. Dengan kedua tangan aku menutup mulut. Lebih baik aku kabur, tetapi harus ke mana? Radja terlihat sangat tenang dan lega. Senyumannya semakin membuatku gugup.
"Kamu mengakuinya, aku lega," lirih Radja.
"Aku bukan ... ugh." Tikaman itu datang lagi ke jantungku. Air mata yang tertahan di pelupuk mata pun tidak lagi terbendung. Rasanya seperti dikoyak-koyak hingga tidak bersisa dan aku hancur karenanya. Sungguh ini menyakitkan.
Radja menopang tubuhku yang hampir terjatuh. Dia sadar akan gerakan kedua tanganku yang mencengkeram baju miliknya. "Apa yang terjadi?!"
Sesak pada dada membuatku sulit mengatur napas. Tiba-tiba lagi.
"Nadira! Nadira!"
Itu bukan suara Hana, tetapi seseorang memanggilku di dalam kepala. Semakin aku mendengar suaranya, semakin kuat rasa pusing menghantamku. Suara imut dan nyaring, menulikan semua yang aku dengar. Aku tidak mungkin menciptakan alter ego di dalam pikiranku sendiri.
Siapa? Siapa yang memanggilku?
Tidak ada jawaban. Pandanganku semakin membuyar. Entah ke mana Radja akan membawa aku pergi dengan menunggangi naganya. Sungguh aku tidak ingat sejak kapan kami berada di luar rumah. Ini benar-benar memusingkan.
Hanya beberapa keping ingatan yang aku ingat ketika rasa sakit itu melanda. Pertama, tentang Radja yang mengguncang tubuhku lalu dia segera menggunakan kemampuanya untuk berganti penampilan. Kedua, tentang tanganku sendiri yang refles menutup mulut. Terakhir, jantung yang berpacu semakin lambat hingga membuat dunia seakan berputar.
"Bertahanlah!" Radja segera melompat sambil menggendongku dan dari balik punggungnya keluar sayap seekor naga. Namun, raut wajah itu sangat pucat. Keringat dingin mulai keluar dari pelipisnya. Sayap itu tidak bergerak dengan teratur, tapi dia berusaha menjaga keseimbangannya.
Terlalu sulit berkomentar dengan pasokan oksigen yang semakin menipis. Aku hanya diam dan mengeratkan cengkeraman pada bajunya. Padahal aku tahu, tenagaku sangat lemas. Ini bukan waktunya, tetapi rasa sakitnya sudah melebihi dari sebelum-sebelumnya.
"Radja! Apa yang terjadi?" Suara itu milik Miss Ann, lama tidak aku mendengar suara dan juga melihatnya.
"Aku akan menjelaskannya nanti, tolong panggilkan Miss Merry ... dia sangat ... cepat." Suara Radja semakin redup untuk aku dengar. Entah apalah yang dia katakan di bagian-bagian hampa dalam pendengaranku. Aku tidak bisa, bukan, aku sulit menebaknya.
Radja membaringkan tubuhku di atas kasur dan langsung berlari. Tidak lama dia kembali dengan Miss. Merry di belakangnya. Apakah kepanikan membuatnya sangat-sangat berbeda? Aku tidak mengerti.
"Nadira! Aku mohon dengarkan aku!"
"Argh!" Kepalaku semakin berdenyut. Lagi-lagi karena suara itu. Siapa? Siapa? Aku tidak bisa mencari tahu. "Si ... siapa?"
Radja dan Miss Merry terlihat bingung. Mereka tahu kalau yang aku maksud adalah orang lain. Miss Merry segera mendekatiku, menyentuh tangan kiri dan mengecek nadiku.
"Ini tidak mungkin ...," lirih Miss Merry. Radja gemetar, dia mundur beberapa langkah. "Radja, cepat carikan aku daun semanggi berkelopak empat!"
"Tapi, Miss ... ada apa? Apa yang terjadi? Nadira ... baik-baik saja, 'kan?" Nadanya bergetar seiring angin meniup daun di luar sana.
Miss. Merry sempat terdiam karena fokusnya beralih pada kedua tangannya. Sinar kuning keemasan memancar dan menyelimuti tanganku. "Aku tidak bisa memastikannya sekarang. Cepatlah!"
Lalu aku pun ikut terlelap bersamaan langkah Radja yang berlari ke luar ruangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Miss R⃟ ed qizz 💋
terus semangatt
2020-02-15
0