Ketika mataku terbuka, tubuhku transparan.
Aku menolak kenyataan ini.
Tentang aku yang telah terbunuh secara fisik dan mental.
Tangisku tidak bisa berhenti. Bukankah seharusnya aku bahagia karena sebentar lagi aku akan bertemu keluargaku? Namun, kenapa rasanya aku tidak mau meninggalkan dunia fana sekarang? Aku ingin ... hidup.
Ruangan hampa penuh kegelapan. Entah beralaskan apa, tetapi ini sangat dingin. Aku sadar ini akhir hidupku. Ini akhir dari segalanya. Tidak ada lagi yang dapat kuperjuangkan. Tiba-tiba ada kehanngatan yang memelukku. Mengubah warna hitam menjadi putih.
Ada air yang menenangkan, dan ada tumbuhan yang menyejukkan. Ruangan hampa ini berubah menjadi ladang bunga. Aku menengadah dan menemukan Hana di sana. Tanpa pikir panjang aku memeluknya.
"Aku sudah mati, Hana. Naira membunuhku!" Air mata kembali mengalir membasahi gaun cantiknya. Hana membalas pelukanku. Dia mendekapku erat.
"Kamu tidak mati sendirian, Dira," bisik Hana di telingaku. Aku melihat wajahnya, terurai air mata. "Aku pun telah mati di sini."
"A ... apa maksudmu?" tanyaku. Hana kembali mendekapku. Seolah dia tidak mau menjawab.
Kami sama-sama terdiam dan memeluk satu sama lain. Tidak ada yang mau memulai percakapan. Aku terlalu hancur menerima kenyataan mana pun. Jika pun aku hidup, aku harus ikhlas jika Hana lah yang mati. Sebaliknya, jika aku yang mati ... aku bahkan tak tahu harus berucap apa.
"Maaf atas keterlambatanku!" Aku dan Hana melepas pelukan, lalu melihat ada seorang wanita muda berjalan di seberang sana. Langkahnya begitu pasti, hingga hancur lebur menjadi kepingan kaca. Wanita itu berubah menjadi peri kecil.
Tubuhnya tidak melebihi lima sentimeter. Gaunnnya seperti lembaran daun dengan simbol semanggi di tengah-tengah. Sayapnya begitu indah seperti kupu-kupu lainnya. Hitam dengan noda hijau tua bercampur putih, itulah gambaran dari sayapnya. Bubuk-bubuk perak keluar dari kepakan sayapnya yang indah. Rasanya seperti melihat para peri-peri pixie hollow. Rambutnya berwarna kemerahan digulung, itu membuatnya sangat imut.
Tanpa sadar dia sudah berada di hadapanku. Tersenyum dan menyentuh hidungku dengan tangan mungilnya. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukannya, tetapi Hana terlihat bahagia.
"Vivian," bisik Hana. Aku mengangkat sebelah alisku. Dia melepaskan jari-jemari mungilnya dari hidungku dan berbalik menatap orang yang memanggil.
Dia tertawa ringan lalu memeluk Hana, walaupun dia sadar tidak mungkin merengkuh tubuh Hana yang lebih lebar dibanding tangan mungilnya. Lalu, aku kembali mendengarnya bersuara, "Aku senang bisa melihatmu lagi!"
"Nadira," ucap Hana memanggilku, tentu saja setelah dia melepaskan pelukannya, "kenalkan, dia Vivian. Satu-satunya peri terkecil dan juga pengawalku."
Aku memandang tidak percaya, mana mungkin peri sekecil itu mampu melindungi Hana dengan tubuhnya yang tidak melebihi lima sentimeter. Dari sisi mana juga, dia terlihat lebih rapuh. Jika seseorang iseng meniup saja bisa membuat tubuh peri kecil tersebut ikut terbawa angin. Lalu Vivian tertawa. Entah karena ekpresiku atau wajah kusut selepas menangis.
Seakan mengerti, Hana menimpali, "Vivian memang tidak kuat, fisiknya lemah dan dia tidak memiliki sihir untuk berperang."
"Lalu kenapa kamu memilihnya?" tanyaku.
"Aku orang yang menyimpan sebagian jiwa Hana." Penjelasan Vivian membuat aku semakin tidak mengerti. Setumpuk pertanyaan jatuh dan masuk ke dalam otak. Terhempas lalu tiap lembar pertanyaannya berserakan.
"Vivian, aku tidak mengerti," ucapnya, "bagaimana bisa kamu ada di sini?"
"Ah iya! Itu yang ingin aku jelaskan ke kamu dan juga Nadira." Kami berdua sama-sama mengerutkan dahi ketika Vivian mengucapkannya. Segera dia duduk di pundak Hana dan kedua tangannya mulai bercahaya.
Cahaya biru bercampur perak yang semakin lama semakin terang. Tiap butirannya membentuk sebuah arloji. Penunjuk waktu dengan angka-angka yang ditulis dengan bahasa romawi. Warna perak dan biru berganti menjadi emas. Indah, juga antic.
"Ini tentang kalian berdua. Nadira ... kamu pasti bertanya-tanya kenapa tubuhmu yang lemah bisa menopang jiwa Hana atau tentang penyakitmu tiap tanggal delapan di setiap bulan?"
"Itu karena setelah kamu dilahirkan, kamu sekarat. Jantungmu tidak berdetak normal seperti bayi biasanya. Kamu bukan salah satu orang dari reinkarnasi, tidak ada yang salah dengan identitasmu. Apa orang tuamu pernah bercerita soal ini?" Aku bingung harus berkata apa. Hana terlihat bingung, khawatir dan panik. Semua itu bercampur menjadi satu.
Aku merunduk sambil mengingat-ingat tentang apa yang Vivian katakan. Sejujurnya aku ingat, sangat jelas bagaimana ibu menjelaskannya dengan air mata. Memelukku dengan erat dan meminta maaf, atau saat ibu melihat foto masa kecilku dia kembali menangis sambil bercerita kembali. Hana beberapa potong kalimat yang aku ingat.
"Dira, kamu adalah anak ibu yang kuat dan tangguh. Ibu bersyukur Tuhan tidak jadi mengambilmu saat itu. Takdir Tuhan itu mengejutkan, buktinya kamu kembali pada kami. Maafkan ibu dan ayahmu ini yang tidak bisa memberikan perhatian layaknya keluarga. Percayalah kami selalu ingin memberikan yang terbaik untukmu."
Aku menutup muka ketika sadar tetesan air asin mengalir dan melalui pipi. Perlahan aku bisa merasakan Hana yang menyentuhku. Dia menatap khawatir, begitu juga Vivian.
"Aku tidak apa-apa. Sebenarnya aku tidak tahu jelas. Jadi, lajutkan saja," balasku pada Vivian sembari menghapus jejak-jejak air mata di wajahku.
Vivian tampak ragu dengan kedua alis mungilnya yang berkerut. Pipi mengembung lalu diembuskan. "Aku akan membawamu ke masa lalu. Hana ... bisakah kamu menunggu? Ini tidak akan lama."
"Tidak. Aku akan ikut."
Saat Vivian memutar jarum-jarum arloji dengan sihirya, Hana bergeming. Bibirnya kelu untuk berucap begitu juga aku. Vivian tidak menjawab lagi. Dia mengepakan sayapnya lalu mengangkat arloji tersebut ke atas. Serbuk emas berhamburan mengenai tubuh kami. Aku mencoba menyapu, tidak bisa. Serbuk ini melekat seperti memakai lem.
Vivian lalu memutar arloji-nya. Tiba-tiba saja seluruh tubuh kami bersinar dan perlahan menghilang, sedikit demi sedikit. Aku segera menutup mata, tidak lama bau yang sangat familier dengan indera pembau mulai berkeliaran untuk diterka.
Aku membuka mata, nyaris tidak percaya. Bahkan aku tidak ingin mempercayainya. Namun, Vivian segera menuntunku pergi ke dalam rumah sakit. Dari tiap poster aku bisa melihat tahun dan bulan yang tidak asing denganku. Sangat.
Kamis, 8 November.
Pukul 20.20 Waktu Indonesia Barat.
Ini tiga belas tahun lalu, saat aku dilahirkan.
Bumi kembali diguyur rintik hujan memabukkan. Angin kencang di luar sana tidak mampu menimpa rasa takut pada calon ibu untuk melahirkan. Dengan rasa sakit dan sulitnya berjalan, calon ayah tersebut menopang. Mereka saling melengkapi dan masuk ke dalam suatu ruangan operasi. Mereka orang tuaku.
"Itu aku." Aku melihat telunjuk Vivian mengarah pada sosok dokter wanita. Orang yang aku lihat dan tiba-tiba menjadi peri beberapa waktu lalu. Tidak bisa dipungkiri, proses bersalin akan segera dilakukan. Calon ayah tersebut keluar dari ruangan, duduk di salah satu bangku sambil menutup mukanya.
Waktu menjadi cepat berlalu. Dokter Vivian keluar dengan wajah yang sulit dimengerti. Aku tidak bisa mendengar suara tangisan keluar sedikit pun. Apakah itu jawabannya?
Aku menatap Vivian kecil di pundakku, lalu Hana yang berada di samping kanan tempat aku berdiri. Mereka berdua kompak membalas tatapanku. Lalu Vivian kembali bercerita, "Saat kamu lahir, degup jantungmu sudah lemah ... lalu ibumu yang tengah berbahagia hancur berkeping-keping, 'Aku melahirkan anak perempuan yang cantik, tetapi kini dia telah tiada.' Kepada ayahmu dia berkaya begitu.
"Di sisi lain, aku mendengar ayahmu begitu berharap kamu hidup. Saat itulaj aku melihat masa depanmu. Peri Ann, Peri Merry, Hana dan masih banyak lagi yang membuatku rindu," jelas Vivian kecil sambil menatap temaram lampu di atas kami.
"Lalu, jika Nadira sudah tiada, kenapa dia ... ?" Hana sengaja mengosongkan bagian terakhinya. Aku tahu.
" ...hidup?" sambungku cepat.
Tempat kami berpijak kembali berganti. Di sana terlihat sosok Vivian dalam wujud dokter tengah menangis. Sangat terpukul. Bukankah seharusnya seorang dokter tidak seperti ini?
"Vivian ... apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Hana, "apa yang ingin kamu tunjukan pada kami?"
"Aku ... memberikan nyawaku pada Nadira. Namun, itu semua tidak sempurna. Penyakitnya terus kembali menyerang tiap tanggal delapan. Aku tidak bisa mencegahnya.
"Lalu Nadira benar-benar ceroboh sampai menjatuhkan jam tangan itu, kamu kembali tetapi masuk pada tubuh ini. Semua orang tidak paham kenapa kalian bisa bersatu. Itu semua karena jiwaku sudah menyatu dengan Nadira, dan karena aku pula pengawal Hana.
"Saat ini, Nadira ... kamu tidak mati. Kehidupanmu masih bisa berlanjut." Vivian kembali terbang dan berhenti di hadapanku. Baik aku dan Hana sama-sama terbelalak atas ucapan peri kecil tersebut.
"Itu tidak mungkin! Jelas-Jelas Naira membunuhku, Vivian." Aku menyilangkan tangan. Tentu saja itu tidak mungkin terjadi.
Hana menyentuh lengan Vivian. Matanya menjadi lebih bening. "Aku mengerti sekarang."
Hana dan Vivian sama-sama tersenyum sedangkan aku masih tidak mengerti. Sebenarnya ada apa? Mengapa mereka bilang kehidupanku masih bisa berlanjut? Aku tidak tahu harus senang atau sedih bahkan berucap apa.
"Dira, dengarkan aku," ucap Hana, "Vivian benar kamu bisa hidup, tetapi aku tidak. Aku bersyukur, kamu menyimpan sebagian bibit kekuatanku."
Lalu Vivian menimpali, "Tugas kamu sekarang adalah mengambil sebagian kekuatan Hana dari Naira. Mereka tahu kalau kamu muncul sebagai Nadira, baik Azumi maupun Naira kan kembali membunuhmu. Menyamarlah jadi Hana! Aku akan membantumu dari jauh!"
"Tunggu ... aku ...."
"Maaf, Dira. Ini benar-benar pertemuan terakhir kita. Setelah ini aku serahkan padamu." Saat itu, aku melihat senyum terakhir dari Hana. Sebenarnya ada apa?
-------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Miss R⃟ ed qizz 💋
jangan menyerah
2020-02-15
0