Kelas jadi sepi tanpa keberadaan Demina. Seolah hanya aku saja yang berada di kelas, padahal semua teman kelasku ada. Namun, semuanya sibuk dengan tugas Bahasa Inggris. Aku lihat di pojok literasi kelas Radja sibuk bersama Candra, ketua kelasku. Sebentar lagi classmeeting, jadi wajar saja dua orang itu sibuk.
Aku menoleh ke jendela. Banyak daun-daun kering berserakan di lapaanam sekolah. Di luar sana begitu tenang, dan langit terlihat lebih gelap dari sebelumnya. Hujan akan turun.
Hana ... Perasaanku tidak enak.
"Aku juga merasakannya," balas Hana dalam pikiranku. Mata kananku sakit, sangat tiba-tiba. Buram. Refleks aku mengerjapkan mata dan sekilas aku melihat bagian memori aneh, seperti penampakan masa depan. Apa iya? Aku tidak bisa mengingatnya.
Mendadak anak-anak perempuan menjerit dan berlari ke sana-sini membuat bangku kelas berantakan. Aku mengedarkan pandang mencari tahu apa pemicunya. Seekor kecoa yang dibawa oleh Galih, anak laki-laki paling menyebalkan seantero sekolah. Sebagian murid laki-laki menyaksikan ini dan menganggap lelucon, sebagian lagi tidak peduli.
"Galih, buang kecoa itu!" perintah Radja saat sadar kelas semakin kacau. Kecoa itu meronta-ronta agar kedua antenanya dapat terlepas. Bukannya menurut, Galih malah semakin menjadi. Tanpa perasaan dia memutar pergelangan tangan seperti baling-balinh.
"Galih!" bentak Candra, "buang atau ...."
Brak!
Aku lihat Pak Hisam mendorong pintu dengan kuat sampai menimbulkan suara yang mengejutkan. Semua orang bisa melihat guru IPS tersebut berjatuhan keringat dingin dan napasnya terengah-engah. Penasaran, aku mendekati Pak Hisam.
"Dira, lihat jendela!" Aku mengikuti instruksi Hana, mengurungkan niat untuk menghampiri Pak Hisam. Aku terbelalak. Bukan hujan yang turun, tapi angin topan!
Kenapa ada angin topan di saat seperti ini?
"Ini bukan angin topan biasa. Aku bisa merasakan ada sihir kuat di sana," ucap Hana, aku percaya saja. Aku pikir memberitahu Radja merupakan solusi. Namun, niatku kutanggalkan mendengar ucapan Pak Hisam.
"... cepat ke aula sekarang!" Perintah itu membuat murid di kelasku berhamburan dan saling mendahului. Hanya memikirkan diri sendiri. Salah satu temanku terjatuh. Aku segera menghampiri dan mengulurkan tangannya.
"Dira," panggil Radja di belakang.
Setelah berdiri, tanpa berucap apapun temanku kembali berlari. Aku tidak mau mengambil pusing dan fokus pada anak laki-laki di depanku. "Ada apa Radja?"
"Kamu pergi ke aula, cari perlindungan. Aku dan Candra yang akan mengurusi ini," lanjutnya. Aku bingung harus menjawab apa, perasaanku tidak tenang. Haruskah aku mengabaikan perasaanku lagi?
"Aku mau ikut, Radja!" ucapku. Dengan kedua tangan, aku memegang kerah lengan seragamnya. Aku benar-benar tidak tenang.
Candra menggeleng. "Kamu baru sembuh. Hana juga belum bisa bertarung. Biar aku dan Radja yang menangani ini."
Aku terbelalak. "Candra kenal Hana?"
Candra menunduk. Melihat itu, Radja menarik tanganku hingga aku terjatuh di hadapannya. "Kita tidak waktu menjelaskan, mengertilah. Pergi ke aula sekarang!"
"Radja, tidak perlu kasar juga, 'kan?" ucap Candra lirih. Dia mengulurkan tangan untuk membantu. Benar kata Radja, harusnya aku berlindung saja. "Aku akan jelaskan nanti. Pergilah!"
Dengan perasaan kalut, aku menahan tangis yang menumpuk di pelupuk mata. Perlahan aku menopang kaki untuk berlari. Pak Hisam menungguku di ambang pintu dan terus memanggil namaku. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Radja dan Candra menghilang begitu saja.
Pak Hisam membawaku lari dengan perantara aku yang memegang lengan bajunya. Daun berterbangan searah jarum jam. Pohon-pohon ikut menari bersama rumput dan kertas-kertas berhamburan di hamparan laut abu. Air mataku lolos begitu saja.
Aku harus apa?
Hana diam. Tidak menjawab pertanyaanku. Sementara Pak Hisam mulai mengomel ketika sampai di aula. Di dalam begitu penuh dengan murid-murid serta guru-guru. Semua sama-sama menangis, saling berpelukan. Ada pula yang berusaha tersenyum dan tertawa padahal matanya mulai berkaca-kaca. Aku tidak kuat. Lututku lemas, mungkin saja aku akan jatuh sekarang. Namun, Pak Hisam membawaku ke dalam, menyuruhku diam di antara murid-murid yang sama sekali tidak aku kenal.
Perasaanku masih kalut. Berulang kali aku *** rok, lalu menyisir rambut Dengan tangan. Menutup muka dan berdoa. Suara petir di luar sangat dekat dengan aula. Tidak hanya murid, guru-guru berteriak takut. Terutama ketika frekuensi dari petir membuat bangunan merasakan getaran.
Aku tidak bisa diam saja! Hana kamu setuju denganku?
"Aku takut ini bukan tindakan tepat, Nadira. Lebih baik kita tunggu mereka." Hana menahanku. Namun, aku lebih nekat. Dengan mengambil izin pada Pak Hisam, aku bilang ingin buang air kecil. Wajah pria dewasa itu tampak menimbang-nimbang. Dengan argumen meyakinkan Pak Hisam mengangkat tangannya.
"Baik, tapi kamu harus diantar Galih," ucap Pak Hisam. Mulutku terbuka, seolah-olah tidak bisa bernapas mendengar perkataan guru sejarah di hadapanku.
Galih yang juga ikut mendengar langsung menghampiri kami, dia berucap, "Loh kok saya, Pak? Nadira kan udah besar, buat apa diantar segala."
"Kamu itu laki-laki, harus bisa jaga anak perempuan," omel Pak Hisam padanya.
"Terserah Bapak deh," ucap Galih kesal, "Nadira ayo!"
Ini melenceng dari rencana. Namun, biarlah. Mungkin saja Galih akan pergi meninggalkannya. Mana ada sejarahnya Galih baik pada anak perempuan. Minus untuk ibunya. Dia pasti anak yang berbakti.
"Galih kamu tunggu di sini aja." Aku menunjuk tepat di depan aula. Wajah kesal anak laki-laki itu terbaca olehku.
"Gila, kamu minta aku untuk tunggu kamu di sini? Toilet putri jauh dari sini," kilahnya. Aku mengembuskan napas, bingung harus membalas.
DUAR!!!
"Suara petir ini menggangguku, Nadira. Rasanya aku kenal dengan kekuatan ini." Aku sempat mengingat jelas ketika petir itu menyambar tanah. Bukannya Galih kabur, dia malah memegang tanganku.
"Jangan takut," ucapnya, "ada aku di sini."
Galih mengambil alih. Dia berjalan lebih dulu dan memimpin di depan. Dapat aku lihat jelas di langit-langit ada seekor naga, ada petir yang timbul.
"Lari!" Galih membawaku lari, terutama ketika petir mulai menyambar dan beradius kurang lebih 100 meter dari posisi mereka.
"HANA KELUAR KAMU SEKARANG!!!"
Suara menggemparkan itu membuat langkahku terhenti. Galih menyadarinya. Dia menatapku heran dan mencari letak suara.
Hana ....
"Nadira aku tidak bisa keluar sekarang. Aku akan mengarahkan kamu, fokuslah."
"Kita harus ke tempat aman sekarang! Ini bahaya!" Galih kembali menarik tanganku, membawa diri ke sebuah kelas kosong terdekat.
Namun, aku melarikan diri. Berlari sekencang tenaga mencari keberadaan Candra dan Radja. Aku tidak tenang. Suara petir lagi-lagi terdengar. Semakin dekat, semakin menyiksa batin.
Di sekitar lapangan olahraga, terlihat jelas jika Candra dan Radja kelelahan melawan dua gadis. Aku terus berlari. Semakin dekat dengan mereka. Salah satu itu berwajah mirip dengan Demina. Di sekelilingnya terdapat jeruji petir.
"Jangan ke sana terlebih dahulu. Arahkan tanganmu ke tanaman, bayangkan sebuah busur." Aku menuruti. Selang beberapa menit aku merasa ada sesuatu yang merambat di tanganku.
Ketika membuka mata. Hal yang pertama kali aku lihat adalah busur kokoh yang terbuat dari tanaman rambat. Aku tidak tahu apa. Hana menyuruhku untuk mengarahkan ke perempuan berambut merah. Saat menarik busur, anak panahnya terbentuk, dari tanaman juga.
Tepat sasaran. Azumi tidak bisa bergerak dan terkurung dalam tanaman rambat. Tidak lama dia menghilang, bukan menetap.
Itu tidak penting.
Aku menghampiri Candra dan Radja juga Demina. Kedua anak laki-laki itu tampak kaget dan marah. Sedangkan Demina hanya menatap sinis, tapi aku bisa lihat jika dirinya kebingungan.
"Kamu siapa?" ucap Demina.
Sungguh, aku tidak kuat untuk berdiri lagi. Demina ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
onyourm__ark
kerah lengan seragamnya ya hmm:v
btw, ini POV-ny ada ketuker-tuker wkwqk
2020-07-26
2
Miss R⃟ ed qizz 💋
aku gabut 🙄
2020-02-15
0