Malam itu, Gilang berjaga. Pikirannya kalut, merangkai teori tentang bencana yang melanda, menuliskan setiap kemungkinan di selembar kertas lusuh, seolah sedang menyusun strategi dalam game survival. "Argh! Ngantuknya, ampun! Begadang semalaman cuma ngabisin rokok sama kopi… malah jadi catatan coret-coret teori kayak di game!" gerutunya, mengakhiri tulisannya tentang apa saja yang harus dihindari saat bertemu dan apa saja yang menjadi penyebab manusia menjadi makhluk monster.
Tak lama berselang, saat ia akan merebahkan badannya, ia melihat Ismira sudah bangun. Gadis itu keluar dari kamar yang ia tiduri, melangkah pelan menuju ruang tengah, dan menyapa Gilang yang sedang berbaring lemas.
"Belum tidur, Lang?" sapa Ismira ramah, senyum tipis tersungging di bibirnya, menunjukkan bahwa ia sudah mulai akrab dengan Gilang. "Makasih ya, sudah ngejagain aku tidur… Mau aku bikinin kopi?" tawar Ismira.
"Makasih tawarannya, tapi aku mau tidur dulu… Tolong jaga ya selama aku tidur. Oh iya… kalau mau masak atau ke air, mending pakai air galon atau air mineral botolan! Kita enggak tahu apa airnya aman atau enggak!" tutur Gilang, menjelaskan apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan Ismira selama ia tidur, agar tidak membuat kebisingan yang bisa mengundang makhluk-makhluk itu.
"Makasih ya… sudah merhatiin sedetail ini… Gih tidur! Kasihan kamu pasti sudah kelelahan dari kemarin enggak tidur!" titah Ismira, dengan senyum manis yang tergambar di muka cantiknya. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Gilang pun langsung memasuki kamar yang sebelumnya ditempati Ismira. Ia merasa kamar itu cukup aman dan tidak lupa mengunci pintu dari dalam. Tak butuh waktu lama, ia segera merebahkan badannya untuk tidur, berharap bisa melupakan semua kengerian yang baru saja ia alami.
Dalam tidurnya, Gilang bermimpi buruk. Ia melihat ibunya yang berlumuran darah, wajahnya pucat, dan sudah berubah seutuhnya menjadi monster yang mengerikan. Ibunya berdiri di ujung jalan yang gelap, tersenyum sinis kepadanya, dan melambaikan tangan ke arahnya, seolah memanggilnya untuk bergabung dalam kengerian itu.
"AARRGGHH!!!" Teriakan Gilang cukup kencang, memecah kesunyian rumah. Ia terbangun dari mimpi buruknya, napasnya tersengal-sengal, jantungnya berdegup tak karuan. Seketika itu juga, Ismira datang dan mengetuk pintu kamar dengan panik, ingin memastikan apakah Gilang berubah menjadi monster atau tidak.
"Lang?! Gilang kenapa?! Masih manusia?!" tanya Ismira dengan nada khawatir sekaligus polos.
"Aman, Mi!" jawab Gilang dari dalam kamar, suaranya sedikit serak, menandakan ia masih manusia. Terdengar suara kunci berputar, dan sosok Gilang membuka pintu, dengan wajah yang masih terlihat pucat dan dipenuhi keringat dingin.
"Kamu enggak apa-apa, Lang?" tanya Ismira, sedikit khawatir, sambil memundurkan badannya, memberikan jalan untuk Gilang berjalan keluar dari kamar.
"Aku cuma mimpi buruk, Mi! Makasih ya, sudah jagain aku selama tidur," tutur Gilang sambil berjalan keluar dari kamar tidurnya, menuju ruang tengah.
"Ya sudah… cuci muka sana! Sama makan, aku sudah masakin makanan, dimakan ya," ucap Ismira lembut sambil menepuk pundak Gilang, menunjukkan kepedulian yang nyata. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan Gilang.
Gilang hanya membalas dengan anggukan, menandakan ia menuruti semua perintah gadis itu. Setelah mencuci muka, ia berjalan kembali menuju ruang tengah yang sudah disulap menjadi tempat makan oleh Ismira. Piring dan lauk pauk sudah tersedia rapi.
"Lang… tolong dong, nasi di rice cooker bawa ke sini!" ucap Ismira sambil membereskan piring-piring di ruang tengah.
Gilang pun datang membawa rice cooker, dan segera duduk serta menyimpannya di hadapan Ismira. "Nah, ayo… nunggu apa lagi? Ayo dimakan!" ucap ramah Ismira yang segera memegang piring serta membuka rice cooker, bersiap untuk makan.
Namun, tidak dengan Gilang. Ia masih terlihat ragu dengan makanan di depannya. Matanya menatap Ismira dengan curiga. "Lang, kamu enggak makan?" ucap Ismira sambil melihat Gilang terduduk tertegun di hadapannya.
"Kamu dapat bahan masakan ini dari mana?" tanya Gilang, memastikan apakah bahan makanannya terkontaminasi atau tidak, sama seperti air yang sebelumnya diceritakan Ismira.
"Aman kok, Lang! Dari kulkas sama lemari di dapur," ucap Ismira manis, menyadari kekhawatiran Gilang. Ia menuangkan nasi dan juga lauk pauk ke piring di hadapan Gilang agar mau makan bersamanya.
"Masih belum lapar sih," dusta Gilang, namun perutnya berbunyi nyaring, menandakan ia sangat lapar. Ismira tersenyum simpul mendengar itu.
"Tenang… ini aku masak pakai air galon kok, sesuai sama yang kamu tulis di kertas sebelum kamu tidur tadi. Jadi aman! Nih buktinya, aku makan duluan!" kata Ismira, memasukkan suapan pertama ke mulut mungilnya, menunjukkan bahwa makanan itu aman.
Lantas, Gilang pun mengikutinya makan, menyampingkan semua pikiran buruknya tentang kemungkinan ia bisa berubah atau tidak karena makan makanan tersebut. Rasa lapar mengalahkan rasa takut.
Selesai makan, mereka berdua membereskan bekas makan mereka. Tak sengaja, Ismira memegang tangan Gilang. Sentuhan itu membuat Gilang tersipu dan segera melepaskan tangannya kembali, lalu berlalu meninggalkan Gilang sendiri. Ia merasa canggung, namun ada kehangatan yang menjalar di hatinya.
Saat Ismira selesai menyimpan piring kotor, ia dikejutkan oleh Gilang yang sudah ada di belakangnya, sedang memegang piring. Sontak, ia sedikit memarahi Gilang karena mengagetkannya, yang bisa saja ia berteriak dan mengundang makhluk-makhluk itu datang.
"Kamu bikin kaget saja! Bagaimana kalau aku teriak?!" ucap Ismira sambil memegangi dadanya, tanda ia masih kaget dengan kemunculan Gilang yang mendadak itu.
"Nih… aku bantuin bawain piring, maaf bikin kamu kaget," ucap Gilang sambil menyimpan piring kotor. Ia juga mengucapkan terima kasih, karena sudah dibuatkan makanan walau ala kadarnya.
"Makasih ya sudah masak, Mi! Masakannya enak…" Ucap Gilang, dengan senyum tulus. Pujian itu membuat Ismira tersipu malu.
Muka putih gadis itu memerah padam, menandakan ia sangat malu berhadapan dengan Gilang. Untuk memecah suasana, Gilang bermaksud menawarkan untuk membuatkan minuman hangat, sekadar menemani cuaca yang kian larut.
"Mi… mau kopi apa teh? Gilang yang bikinin," tanya Gilang, memecah keheningan yang sedikit canggung.
"Sini sama aku saja! Enggak apa-apa, kamu tunggu saja di ruang tengah! Nanti aku temenin ngobrol," jawab Ismira, menyuruh Gilang kembali ke ruang tengah karena masih malu-malu kucing.
"Ya sudah… aku kopi saja ya," ucap Gilang, sedikit keheranan melihat gadis di depannya yang malu-malu namun manis.
Tak lama, segelas kopi dan teh pun sudah dibawakan oleh Ismira, dan segera disuguhkan kepada Gilang. "Nih kopinya, Lang… Mau ngomongin apa memangnya?" tanya Ismira, memulai pembicaraan.
Gilang pun mulai menuturkan isi pemikirannya tentang cara makhluk-makhluk itu menularkan virusnya, serta bukan hanya manusia saja yang bisa terkena virus tersebut, melainkan hewan juga bisa terjangkit. Ia menjelaskan teorinya dari catatan yang ia buat. Sesekali, mereka membicarakan kehidupan mereka masing-masing sebelum insiden mengerikan ini terjadi.
Dari obrolan itu, diketahui bahwa Ismira sebenarnya hanya perawat magang, yang tidak tahu menahu tentang terjadinya wabah menyeramkan ini. Karena kejadian ini hanya diurus oleh para senior-seniornya, dan ia hanya sekadar disuruh untuk memeriksa keadaan pasien yang memiliki gejala dari balik jendela. Ismira juga pernah sekali mendengar rumor bahwa ada salah satu dokter di rumah sakit tersebut yang tergigit oleh pasien, dan langsung pulang seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, sampai sekarang dokter itu belum kembali ke rumah sakit dan menghilang. Sebuah fakta yang membuat Gilang dan Ismira semakin ngeri.
Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Gilang dan Ismira di tengah kota yang hancur ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments