Wanita itu, yang sedari tadi Gilang coba selamatkan, malah berdiri mematung, bingung dengan segala yang terjadi. Alih-alih naik motor, ia justru berteriak histeris, membuat para manusia monster di sekitarnya yang tadinya agak jauh, berlari mendekat ke arahnya.
"Arghhhhh!!!" Teriak wanita itu panik sekaligus kaget, lantas menutup matanya erat-erat. Ia menyaksikan hal di luar nalar manusia normal pada umumnya: kengerian yang tak terbayangkan telah menjadi kenyataan di depan matanya.
Melihat bahaya yang kian mendekat, Gilang langsung memajukan motornya dan menarik paksa tangan wanita tersebut. "Cepat naik, bodoh! Mau mati di sini lu?!" tutur Gilang, berusaha menyadarkan wanita itu agar segera naik ke motornya.
"Ta—tapi…" ucap wanita itu terbata-bata, pandangannya masih terpaku ke belakang, melihat manusia monster semakin mendekat ke arah mereka berdua, langkah mereka gontai namun cepat.
"Cepetan! Sebelum tuh monster ngedekat!" desak Gilang, kembali menarik paksa tangan wanita itu agar segera menaiki motornya supaya mereka bisa segera meninggalkan tempat mengerikan itu. Akhirnya, wanita itu berhasil naik ke boncengan, dan Gilang tancap gas, melesat menjauhi gerombolan monster.
Di perjalanan tanpa tujuan tersebut, tak ada satu pun kalimat terucap dari mulut mereka berdua. Keduanya terdiam, tertegun, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Otak mereka berusaha memproses kehancuran yang tiba-tiba melanda. Jalanan yang tadinya ramai kini dipenuhi mobil terbengkalai, mayat, dan kadang-kadang, sosok-sosok mengerikan yang dulu adalah manusia.
Namun, Gilang memberanikan diri untuk memecah keheningan yang menyesakkan itu. Ia merasa bersalah karena perlakuan kasarnya tadi. "Mbak… maaf ya tadi gue kasar, soalnya gue bingung kenapa ini semua," tuturnya, suaranya sedikit pelan, berharap wanita itu mengerti.
"I… iya… enggak apa-apa…" lirih wanita itu, suaranya bergetar, masih tertegun di jok belakang motor yang ia tunggangi. Ia memeluk dirinya sendiri, seolah mencari perlindungan dari kengerian yang baru saja disaksikannya.
"Mbak… namanya siapa?" ucap Gilang, mencoba memecah keheningan lebih lanjut, berharap bisa sedikit mengalihkan pikiran mereka dari kepanikan.
"Is… Ismira. Kamu kenapa selamatin aku? Padahal kita enggak kenal? Kamu siapa?" tanya balik wanita itu, namanya Ismira, dengan nada penuh keraguan sekaligus rasa ingin tahu.
"Aku Gilang… Aku tahu seragam itu perawat rumah sakit, kan? Sebenarnya apa yang terjadi? Aku bingung… Sekarang kita mau sembunyi ke mana?" Cecar Gilang dengan serangkaian pertanyaan, yang malah menyudutkan gadis bernama Ismira itu. Ia membutuhkan jawaban, penjelasan untuk semua kegilaan ini.
Merasa terpojok dengan pertanyaan Gilang, Ismira lantas menangis tersedu-sedu. Ia mencoba menceritakan apa yang ia lihat dan alami sebelum semua kejadian itu pecah. "Awalnya aku juga enggak tahu… Cuma mereka semua tiba-tiba kejang, dan berubah jadi gitu," ucap Ismira, bibir manisnya bergetar sambil menitikkan air mata. Ceritanya terputus-putus, terisak.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Gilang lagi, masih terus berpikir keras. Ia berasumsi semua daerah sudah terkena dan terjadi hal serupa, jadi tujuan acak tidak akan membawa mereka ke tempat aman.
Namun, Ismira, meskipun masih ketakutan, menyebutkan sebuah tempat yang menurutnya bisa menjadi persembunyian dari bahaya yang terus mengintai. "Kita pergi ke daerah yang jauh dari rumah sakit!" ucap lirih Ismira, suaranya terdengar seperti menyembunyikan sesuatu, seolah ada rahasia atau informasi yang belum ia sampaikan sepenuhnya.
Bahan Bakar Habis dan Pertemuan Tak Terduga
Setelah sekian lama melaju tanpa tujuan yang jelas, akhirnya bahan bakar motor Gilang habis. Mesin mendadak mati, dan motor pun berhenti di pinggir jalan. Gilang menghela napas, menyuruh Ismira untuk turun dan ikut berjalan kaki.
"Mbak… kayaknya motor kita mati. Kita cari tempat aman saja dekat sini… Lagian sudah jauh juga dari rumah sakit!" tuturnya sambil mengambil kantung keresek yang ia bawa dari rumahnya, berisi beberapa perbekalan kecil.
Ismira hanya membalas dengan anggukan, tanda ia setuju dengan keputusan Gilang. Ia mulai mengikuti langkah kaki Gilang, mata mereka berdua terus waspada, mengawasi setiap sudut jalan.
Namun, kesialan belum berakhir. Tak lama berjalan, mereka berdua melihat sesosok manusia monster sedang memakan perut seseorang di pinggir jalan yang sepi. Pemandangan itu sangat mengerikan.
Sontak, mereka menghentikan perjalanan mereka. Gilang menarik lengan Ismira dan mereka bersembunyi di balik semak-semak dan reruputan lebat. "Sial! Sampai sini juga tuh makhluk… Mbak, diam jangan banyak suara! Kayaknya makhluk itu peka sama suara," ujar Gilang pada Ismira, berbisik pelan, sambil terus mencari tempat yang lebih aman untuk bersembunyi.
Namun tak lama berselang, suara teriakan seorang pria terdengar tidak jauh dari mereka, menarik perhatian para monster. "Anjing, kalian!" teriak pria itu, seolah-olah menantang kematian. Seketika itu juga, para makhluk itu berlari mendekati sumber suara tersebut, meninggalkan mangsa mereka.
Teriakan itu membuat Gilang dan Ismira ikut panik. Mereka memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama dan berlari kembali ke tempat awal mereka datang. Beruntung, mereka melihat sebuah rumah yang terlihat pintunya sedikit terbuka. Mereka segera masuk dan buru-buru menutup semua akses masuk ke rumah itu, mengunci dan mengganjal pintu serta jendela, karena mereka takut makhluk itu akan menerobos masuk.
Secercah Harapan di Tengah Kehancuran
Setelah menutup semua akses masuk, mereka pun mulai mencari ke setiap ruangan, memastikan tidak ada makhluk yang bersembunyi di dalam rumah. Setelah merasa aman, mereka berdua terduduk di lantai, menghela napas lega, dan merasa bersyukur masih selamat dari kejadian ini.
Ismira bertanya mengapa Gilang terus menyelamatkannya dari serangan makhluk itu. "Makasih ya… Sudah nyelametin aku… Padahal, kamu enggak kenal siapa aku… Tapi kamu kekeh nyelametin aku," ucap Ismira, nada suaranya penuh rasa terima kasih.
"Sudah, enggak apa-apa kok, Mbak! Lagian kita yang masih bisa bertahan, apa salahnya saling bantu," ucap Gilang, menyalakan rokoknya, mencoba menenangkan diri. Ia juga menawari Ismira air minum dari botol minumannya. "Air?" tawar Gilang. Ismira segera mengambil dan meminumnya dengan rakus.
"Buat sementara, kita aman selama kita bisa saling jaga satu sama lain!" tambah Gilang sambil melihat layar ponselnya, berusaha mencari bantuan namun nihil. Sinyal ponselnya sudah hilang total. Dunia luar seolah terputus.
"Mereka sebenarnya korban dari jatuhnya meteor, sama pasien keracunan kemarin," ucap Ismira, bibirnya bergetar. Ia merapatkan lututnya dan memeluk erat kakinya, membenamkan wajahnya seolah ingin melarikan diri dari kenyataan.
"Sudahlah… Lebih baik Mbak istirahat besok. Kita pikirkan bagaimana caranya keluar dari keadaan ini!" Gilang menyuruh Ismira untuk mengistirahatkan badannya yang terlihat lelah dan terguncang.
"Jangan lupa matiin alarm HP! Takutnya suaranya bisa ngundang makhluk itu, mereka peka sama suara," tutur Gilang, mengingatkan Ismira. Ia berasumsi makhluk-makhluk itu sangat tertarik dengan suara keras.
Pertemuan dan Harapan Baru
Dengan semua pengorbanan serta semua perjuangan Gilang, Ismira pun mulai luluh. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan situasi mengerikan ini, dan mulai terbuka serta bisa berbicara lebih tenang.
"Makasih ya… Sudah perhatian segitunya sama aku, padahal aku sudah putus asa, dan ngerasa bakal mati," ucap Ismira, menegakkan kepalanya. Ada secercah harapan di matanya, tanda ia telah sedikit demi sedikit menerima semua ini.
"Mbak enggak kena cakar atau gigit, kan?" tanya Gilang, memastikan keadaan gadis tersebut. Ia sudah melihat langsung bagaimana ibunya berubah. Ismira membalas dengan gelengan kepala, menandakan ia tidak terkena gigitan atau cakaran dari makhluk tersebut.
Ismira kemudian berdiri dari duduknya dan berjalan mengarah pada Gilang. "Jangan panggil Mbak… nama saja enggak apa-apa," ucapnya dengan senyum tipis. Ia mendekat ke arah Gilang yang sedang duduk termenung memegangi ponselnya, masih mencoba mencari sinyal atau informasi.
Ismira segera menjulurkan tangannya, tanda ia mengajak berkenalan secara lebih formal karena sebelumnya ia hanya ditanya namanya saja. "Kenalin, aku Ismira, panggil saja Ismi. Atau cukup Mi, kayak teman-temanku," ucap Ismira ramah, yang disambut jabatan tangan oleh Gilang.
"Kenalin, Gilang…" ucap singkat Gilang sambil tersenyum.
"Sekarang, kamu istirahat duluan saja! Biarin aku yang jaga, kunci saja dari dalam kalau kamu takut diapa-apain aku," ucap Gilang. Sebenarnya, ia masih menaruh curiga pada gadis itu. Ia belum tahu bagaimana penyakit menjadi monster bisa merubah manusia. Tapi yang ia tahu, ibunya menjadi seperti itu karena luka gigitan kucing yang diduga terinfeksi.
Segera setelah berkenalan, Ismira memasuki salah satu kamar di rumah itu dan mengucapkan selamat malam kepada Gilang. Gilang terduduk sendiri, dalam kegelapan, mendengarkan keheningan yang mencekam di luar, dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di benaknya. Apa lagi yang akan mereka hadapi besok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments