"A… bangun! Sudah siang… sudah jam delapan!" Suara lembut namun tegas ibunya kembali membangunkan Gilang. Ia terlonjak, matanya langsung melirik jam dinding.
"Buset… kesiangan! Gara-gara mabar sama si Fajar sampai subuh," gumamnya dalam pikiran, menyalahkan teman kerjanya yang mengajaknya begadang bermain game semalaman. Tanpa membuang waktu, ia langsung berlari menuju kamar mandi, membersihkan diri secepat kilat, mengenakan pakaian, dan bersiap berangkat kerja.
Namun, langkahnya terhenti saat ibunya mencegahnya untuk sarapan terlebih dahulu. "Tuh, makan dulu! Nanti lemas di tempat kerja!" titah ibunya sambil menyodorkan piring berisi nasi putih panas yang mengepul.
Saat Gilang mulai menyuapkan makanan, matanya tertuju pada tangan ibunya. "Mah, tangan itu kenapa? Kok diplester begitu?" tanyanya penasaran.
"Tadi… Mamah di jalan ketemu kucing lagi kejang-kejang di tengah jalan, Mamah kepinggirin malah digigit sampai berdarah," tutur ibunya, menjelaskan.
"Dih, enggak jelas tuh kucing!" jawab Gilang sambil berusaha mengunyah makanannya. Ibunya langsung menegurnya karena berbicara sambil makan.
Setelah sarapan, Gilang bergegas berangkat kerja. Ia berjalan kaki, seperti biasanya. Namun, langkah kakinya terasa aneh kali ini. Sepanjang jalan menuju jalan raya, ia tidak mendengar satu pun suara kendaraan, padahal ia hanya terhalang satu rumah dari jalan besar itu.
"Sepi banget, aneh? Perasaan sekarang hari Rabu," gumamnya, melirik sekeliling. Ia melihat tetangganya di dalam rumah sedang memperhatikan burung dalam sangkar dengan tatapan kosong, mengikuti setiap gerak-gerik unggas itu seolah-olah burung itu adalah satu-satunya hal yang penting. Firasat Gilang semakin tidak enak.
Ia terus berjalan dan akhirnya sampai di tempat kerjanya. Pintu bengkel terbuka, dan ia segera masuk, meletakkan gembok di dekat pintu, dan mulai membereskan perkakas.
Tak lama berselang, Fajar tiba dengan motornya. Ia langsung masuk ke dalam dan menyapa Gilang. "Oi, Gil! Ngopi lah, diam-diam saja lu!" sambut Fajar sambil meletakkan helmnya di meja.
"Mana si Acep, enggak ke sini? Sakitkah?" tanya Gilang pada Fajar, karena tidak biasanya Acep tidak ikut datang.
"Sakit, kata bininya," jawab Fajar sambil duduk di depan Gilang dan menyalakan sebatang rokok.
"Masih ada enggak? Gue mau dong sebatang! Asem nih mulut," pinta Gilang, berharap Fajar memberinya rokok. Namun, Fajar menolak. Rokoknya habis, dan malah menyuruh Gilang untuk membeli rokok ke warung menggunakan motornya.
"Enggak ada, babon! Habis rokok gue… Ini saja sisa semalam! Beli saja sana ke warung lo! Gue nitip kopi!" ucap Fajar, langsung menyodorkan kunci motornya pada Gilang.
"Dasar kisamak! Ya sudah, gue balik dulu bawa rokok sama kopi ke warung emak gue!" ucap Gilang sambil mengambil kunci motor, dan segera berjalan menuju motor Fajar untuk membeli rokok dan kopi titipan temannya.
Pertanda Kekacauan dan Horor di Rumah
Di jalan menuju rumahnya, Gilang bertemu dengan Andi, pemilik bengkel, yang sedang berjalan kaki menuju tempat kerja. Namun, ada yang aneh dengan Andi. Ia seperti menatap kosong ke jalanan, dan terkadang sesekali menempelkan liontin aneh di kupingnya, seperti orang gila.
"Woy, Di! Ngelamun melulu! Kesambet apaan luh?" sapa Gilang. Andi hanya menjawab dengan anggukan pelan, dan terus melaju menuju tempat kerja.
"Dih… aneh si Andi! Kenapa tuh anak?" gumam Gilang, terus melajukan motornya menuju rumah. Perasaan tidak enak semakin kuat mencengkeram.
Sesampainya di rumah, Gilang langsung membawa satu bungkus rokok dan sekantung camilan yang sudah ia beli. Ia juga segera menyeduh kopi kemasan, serta tak lupa membawa gelas plastik untuk Fajar dan termos mini untuk kopinya. Barang-barang itu ia letakkan di motor Fajar.
"Sudah, tinggal tulis di buku bon utang. Tapi kok Mamah ke mana ya? Kok enggak ada di rumah?" tanyanya dalam hati.
Tak lama, terdengar seperti ada sesuatu yang jatuh dari kamar neneknya. Suara yang keras, disusul keheningan yang mencekam. Jantung Gilang berdegup kencang. Ia langsung mendatangi sumber suara tersebut.
Alangkah terkejutnya Gilang. Di kamar neneknya, pemandangan horor terpampang nyata di depan matanya. Neneknya sudah tergeletak tak bernyawa, dengan bagian leher yang mengerikan, seolah digerogoti. Dan yang paling mengejutkan, ibunya lah yang sedang berada di sana, dengan wajah dan mulut yang berlumuran darah.
"Mamah! Kenapa?!" raung Gilang, suaranya tercekat. Otaknya gagal memproses apa yang ia lihat. Sekujur badannya gemetar hebat, tidak percaya dengan kejadian di depan matanya itu.
Sontak ibunya berbalik, matanya merah menyala, tatapannya kosong namun penuh nafsu. Ia hendak berlari menuju Gilang, namun ibunya terjatuh karena menginjak banyak darah di lantai, kesulitan untuk berdiri. Momen itu dimanfaatkan Gilang. Ia berbalik dan lari sekuat tenaga dari sana, meninggalkan ibunya yang mengerikan itu.
Tak lupa, ia menutup pintu rolling door warungnya, berharap itu bisa sedikit menghambat jika ibunya ingin mengejarnya. Dengan panik, ia segera menaiki motor dan tancap gas, pergi sejauh mungkin dari rumah itu.
Dalam benaknya, ia tak habis pikir tentang apa yang baru saja terjadi. Baru beberapa saat yang lalu ia mendengar raungan ambulans, kini jeritan terdengar di mana-mana. Itu menandakan bahwa hal yang terjadi bukan hanya di rumahnya saja, namun di sekitar area rumahnya juga terjadi hal serupa. Ia menyadari ini bukan hanya wabah keracunan biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Ia memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya, dengan satu tujuan: menyelamatkan Fajar.
Kengerian di Bengkel dan Misi Penyelamatan
Sesampainya di tempat kerja, Gilang langsung masuk dan segera mengambil gembok yang ia simpan di dekat pintu. Tangannya gemetar saat ia memegang kunci, lalu masuk ke dalam untuk mencari temannya.
"Jar! Fajar, di mana lo?!" teriaknya memanggil nama temannya. Semakin masuk ke dalam, ia melihat ceceran darah di lantai. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia mengikuti jejak darah itu sampai ke tempat pemotongan kayu.
Pemandangan di depannya membuat napasnya tercekat. Terlihat Andi, pemilik bengkel, sudah kehilangan satu tangannya, tergeletak tak berdaya. Sementara itu, Fajar bersimbah darah dan terluka cukup parah, berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari Andi yang sudah berubah menjadi monster, mencoba terus menggigit lehernya.
Sontak Gilang berteriak memanggil nama Fajar, "Fajar…!!!" Namun, teriakan itu justru mengagetkan Fajar, membuat fokusnya terpecah. Di saat itulah, Andi berhasil menggigit leher Fajar dengan kuat.
Gilang pun sontak mencoba mengambil sebuah balok kayu terdekat, ingin membantu. Namun Fajar yang tersadar, dengan sisa tenaganya, berteriak pada Gilang untuk lari dari tempat itu. "Lari, goblok!" teriak Fajar terengah-engah, dengan mata memohon.
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Fajar menarik mesin pemotong kayu yang berat ke arah mereka berdua, berusaha menimpa Andi dan dirinya sendiri, demi memastikan Gilang selamat dari Andi yang sudah menjadi monster tersebut. Alhasil, mesin itu menimpa dan memotong tubuh mereka berdua.
Namun, Andi masih hidup! Meskipun tubuhnya sudah hancur, ia mengerang dan masih berusaha menerjang Gilang. Dengan cepat, Gilang menutup pintu ruangan tersebut, mengunci Andi di dalamnya, lalu kembali berlari keluar untuk melarikan diri menuju tempat aman.
Kota yang Hancur dan Harapan Baru
Belum genap beberapa menit melajukan motornya, Gilang melihat hal-hal di luar nalar manusia normal di sepanjang jalan. Seakan-akan ia sedang bermimpi sangat buruk. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana, teriakan orang kesakitan memenuhi udara, bahkan pembunuhan brutal terjadi di depan matanya. Kota itu telah jatuh ke dalam kekacauan.
Banyak orang yang berusaha melarikan diri dengan kendaraan mereka, namun malah terjebak kemacetan parah, menjadi makanan empuk bagi para manusia yang sudah berubah menjadi monster tersebut. Jalanan berubah menjadi medan perang.
Gilang memutar haluannya, mencari jalur alternatif, dan segera mencari tempat perlindungan seaman mungkin. Namun, saat ia hendak memutar motornya dan melarikan diri, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang sedang dikejar-kejar oleh manusia monster. Wanita itu berteriak ketakutan, monster itu sudah sangat dekat, akan mencoba memakanya.
Tanpa berpikir panjang, Gilang melajukan motornya, menabrak manusia monster tersebut hingga tersungkur dan jatuh ke aspal. Monster itu mengerang kesakitan, dan Gilang tidak ragu. Ia melindas kepala monster itu dengan ban motornya sampai hancur, darah hitam pekat mengalir dari arah kepala monster tersebut.
Segera setelah itu, ia melaju menuju wanita itu dan menyuruhnya untuk naik ke motor yang ia tunggangi. "Cepat naik! Sebelum lu mati di sini!" ucap Gilang, menyuruh wanita itu naik motornya agar sesegera mungkin meninggalkan tempat itu.
Gilang kini membawa harapan baru, setidaknya untuk satu orang. Kota yang dulu ia kenal telah runtuh, berubah menjadi neraka. Tapi di tengah kekacauan itu, naluri bertahan hidup dan kemanusiaannya masih menyala. Pertanyaan besarnya adalah, bisakah mereka berdua bertahan? Dan di mana mereka bisa menemukan keamanan di dunia yang telah berubah total ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments