Setelah istirahat sejenak di rumahnya, Gilang kembali bergegas menuju tempat kerja. Saat melangkah di jalanan yang mulai ramai, telinganya menangkap suara-suara yang semakin akrab belakangan ini: raungan sirine ambulans yang lalu-lalang tanpa henti. Suara-suara itu seolah menjadi penanda ada sesuatu yang tidak beres di kota ini.
"Buset dah, ngiung-ngiung mulu dari tadi… sampai pengang nih kuping," gumam Gilang dalam benaknya. Firasat tak enak mulai merayapi pikirannya. Sesampainya di bengkel kayu, ia mendapati kedua temannya, Fajar dan Acep, sedang serius menatap layar ponsel mereka, membaca berita.
Berita yang mereka tonton mengabarkan adanya wabah keracunan massal. Hal itu terjadi karena air yang dikonsumsi warga sudah tercemar. Sebuah zat aneh, yang diyakini berasal dari meteor yang jatuh, telah masuk ke saluran penampungan air dan sungai.
"Kemarin meteor… sekarang keracunan… Besok apaan, wabah zombie?" celetuk Acep, nadanya bercanda namun mengandung kegelisahan yang sama-sama mereka rasakan. "Makin dekat nih ke akhir zaman…"
"Husss… jangan gitu lu! Nanti kejadian lu! Jadi orang yang pertama jadi zombie, mampus lu!" Fajar memperingatkan Acep, ekspresinya sedikit tegang.
"Tapi seru anjir… Bisa berasa main game survival zombie… Bener enggak, Gil?" Acep menyangkal ucapan Fajar, malah balik bertanya pada Gilang, matanya berbinar seolah membayangkan skenario game favoritnya menjadi kenyataan.
Gilang menanggapi dengan gelengan kepala. "Kayaknya nih anak kebanyakan main game dah… Lu kalau benar ada zombie, bukannya survival malah koid! Sudah, gue yakin… Dikira bunuh zombie gampang kayak di game." Gilang melanjutkan pekerjaannya, tak terlalu ambil pusing dengan fantasi Acep.
Acep tidak menyerah. "Gampang… tinggal gini, sing… sing…" Ia memperagakan gerakan mengayun-ayunkan balok kayu, seolah sedang menebas kepala zombie. Tanpa sengaja, balok itu malah mengenai kaki Andi, pemilik bengkel, yang baru saja masuk dan berdiri di belakang mereka.
"Sang… sing… sang… sing… Sok-sokan pengen ada zombie… Memang ini di mana, hah?!" ucap Andi, mengelus-elus pahanya yang terkena sabetan balok, raut wajahnya meringis kesakitan.
"Di mana apanya? Jelas-jelas kita di Tasik, Bos!" jawab Fajar polos, tidak menyadari maksud Andi.
"Di mana isi otak lo!" jawab Gilang, Acep, dan Andi serentak, lalu diakhiri dengan tawa mereka berempat, menyadari keluguan Fajar.
Potongan Meteor dan Insiden Tak Terduga
"Kerjaan sudah sampai mana, Gil?" tanya Andi, menyalakan sebatang rokok, mengalihkan pembicaraan dari insiden kecil barusan.
"Baru segini nih… Paling lima puluhan yang sudah beres… Tiga puluh baru dibelah sama si Fajar… Dua puluh lagi baru dikawatin si Acep…" tutur Gilang, berusaha menjelaskan sejauh mana pekerjaan mereka.
"Gue tadi dapat barang bagus… dari saudara gue. Mau coba gue bikinin gantungan kunci bentuk ikan, ah…" ucap Andi sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Di tangannya, tampak sepotong meteor yang kemarin malam menjadi berita utama. Warnanya hitam gelap, dengan tekstur kasar dan beberapa kilauan aneh.
"Buset! Dapat dari mana tuh meteor?! Lumayan tuh… Daripada lu bikinin gantungan motif ikan, mending lu jual! Mahal tuh barang!" ucap Acep, matanya membelalak. Ia mencoba meraih meteor tersebut dari tangan Andi.
"Goblok! Ngapain gue jual?! Gue pengen dong sekali-kali pakai barang bagus. Gue jual, besoknya gue ditangkap yang ada… Gue dapat dari saudara gue yang aparat… Kan lumayan, lu mau pada buat enggak sekalian? Biar gue yang polain dah. Gil, lu mau?" tawar Andi, menyorongkan potongan meteor itu ke Gilang.
Gilang menggelengkan kepala, menolak dengan sopan.
"Lu, Jar?" tanya Andi lagi pada Fajar, yang langsung dijawab dengan anggukan antusias.
"Lu mah… pasti mau! Sudah, gue yakin seratus persen. Cep, polain tuh sekalian sama lu terus potong… Awas kena tangan!" titah Andi sekaligus himbauan agar Acep tidak gegabah.
Acep pun mengambil potongan meteor itu dengan hati-hati. Ia mulai mempolanya dan bersiap memotongnya dengan mesin pemotong. Fajar ikut mendekat, penasaran. Gilang tetap fokus pada pekerjaannya, sesekali melirik ke arah mereka.
Namun, ketika mereka sedang fokus, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara teriakan Acep dari arah belakang mereka. Sontak, Gilang dan Fajar menghentikan pekerjaan mereka dan langsung mendatangi Acep.
Terlihat Acep sedang memegangi tangannya yang mengeluarkan cukup banyak darah. Potongan meteor yang tadinya dipegangnya kini tergeletak di lantai, terbelah menjadi dua.
"Dih… lu kenapa, Cep?" buka Andi sambil mematikan mesin pemotong yang masih menderu pelan.
"Nih meteor patah… terus kena tangan gue! Anjir lah… perih gini!" jawab Acep sambil menahan kesakitan di tangannya. Wajahnya memucat.
"Sudah, sini obatin… Banyak debu tuh! Masih nempel di tangan lu… Keburu lu jadi zombie tar, gigit…" canda Fajar, mencoba mencairkan suasana tegang, sambil berusaha menuntun Acep ke tempat yang lebih terang.
Setelah diobati oleh Fajar dengan antiseptik dan plester, Acep terdiam sesaat, menatap tangannya yang berdarah. Ia kemudian kembali ingin melanjutkan pekerjaannya, bermaksud memotong meteor itu lagi, namun langsung dilarang oleh Andi.
"Kerjain saja kerjaan lu saja sana! Biar ini gue yang kerjain! Nanti kepotong jari lu… repot gue!" titah Andi, suaranya tegas. Acep pun mengangguk patuh dan kembali ke meja kerjanya, meninggalkan Andi di ruang potong kayu.
Tak lama berselang, Andi kembali dari ruang potong kayu. Ia membawa dua potongan meteor yang sudah rapi, berbentuk gantungan kunci ikan.
"Nih, satu punya gue… Nih, satu bentuk ikan, bebas dah buat siapa… Satunya patah sama si Acep… Sudah gue buang, enggak kepakai soalnya," tutur Andi pada mereka berdua.
"Buat si Acep saja tuh! Kasihan, ngebet banget sampai berdarah-darah gitu…" jawab Fajar pada Andi, mengusulkan agar potongan meteor itu diberikan kepada Acep sebagai 'kompensasi'. Andi pun mengangguk setuju.
Pulang ke Rumah dan Kekhawatiran yang Kian Menjadi
Tak lama, jam menunjukkan pukul empat sore. Waktu kerja sudah usai. Gilang, Fajar, dan Acep segera membereskan perkakas dan bersiap pulang. Suasana di bengkel terasa lebih lengang, namun pikiran Gilang masih dipenuhi oleh kejadian-kejadian hari ini.
Setelah Gilang sampai rumah, ia sekilas melihat berita yang mengabarkan bahwa kasus keracunan di kotanya itu benar-benar diakibatkan oleh tercemarnya air. Instansi terkait sedang mendalami kasus ini. Yang lebih mengkhawatirkan, korban yang dilarikan ke rumah sakit memiliki gejala yang sama: kejang-kejang, serta disertai dengan muntah cairan berwarna biru tua yang masih diteliti oleh paramedis.
"Buset! Makin parah saja… sekarang, mana mulai banyak ambulans lalu-lalang di jalan. Semoga saja enggak sampai nyebar ke sini…" gumamnya dalam hati. Gilang benar-benar khawatir. Rumahnya tidak jauh dari rumah sakit, dan ia cemas dengan kesehatan keluarganya di tengah situasi yang semakin tidak menentu ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dan apakah wabah ini akan menyebar lebih jauh, hingga ke rumahnya sendiri?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
mia sarfi
semoga selamet
2022-11-03
0
Anisa Fitria
bencana tingkat kota
2022-11-03
0
tintakering
jadi bencana nasional😁
2022-09-27
0