Tak mau mengeluh, menguatkan bahu dan hati untuk menjalani terjangan badai kehidupan. Itulah kata yang selalu Sabrina ingat dari bu Yumna. Dalam masa hidupnya banyak sekali rintangan yang dihadapi dan kali ini pun bukan hal yang tabu baginya.
Tinggal di rumah Bu Risma bukan pilihannya, namun Sabrina tak bisa menolak permintaan kedua mertuanya, apalagi Bu Risma juga memberi tahu Bu Yumna akan rencananya, dan pengasuhnya itu pun menyetujuinya tanpa syarat.
Sebelum keduanya turun dari mobil, Sabrina kembali meraih tangan Bu Risma.
"Kenapa lagi?" tanya Bu Risma.
Sabrina nampak sedikit ragu saat menatap rumah mewah di depannya.
"Bu, aku hanya akan tinggal di sini sampai bayiku lahir," dan Sabrina pikir itu tak membutuhkan waktu lama. Bukan tanpa alasan, Sabrina hanya ingin hidup mandiri bersama putranya nanti.
Terpaksa Bu Risma mengangguk, ia pun tak bisa mengekang Sabrina, dan membiarkan untuk memilih kehidupannya sendiri.
Dengan susah payah Sabrina berjalan, sudah beberapa hari ini perutnya terasa kencang, dan sesekali nyeri di bagian pinggang yang kadang tak bisa ditahan, sepertinya putranya memang sudah ingin melihat keindahan dunia.
"Selamat datang."
Ternyata pak Yudi sudah menyongsong kedatangannya, wajahnya tampak bugar setelah sembuh dari penyakitnya.
"Ayah apa kabar?" tanya Sabrina, menyalami ayahnya dan mencium punggung tangan pria tua itu.
Dengan langkah pelan Sabrina masuk ke dalam rumah.
"Alhamdulillah, semua ini karena kamu." jelasnya.
Bu Risma mengelus perut buncit Sabrina yang terus bergerak.
"Kamu Harus sering sering periksa, Sab. Apalagi ini adalah kehamilan kamu yang pertama."
"Iya Bu, rencana besok aku juga mau ke rumah sakit."
"Jangan ditunda, kalau perlu Ibu temani kamu."
Lagi lagi Sabrina tak bisa menyerang ucapan mertuanya dan itu artinya ia harus patuh dengan perintahnya.
"Baik, Bu."
Hampir saja Sabrina beranjak, ponsel yang ada di tasnya berdering. Ternyata nama Dokter Agung yang berkelip.
Sabrina menggeser lencana hijau tanda menerima.
"Ya ampun Sab, kamu ada dimana, apa kamu dibawa jin, seharian penuh aku di rumah kamu kayak pengemis, tapi kamu malah nggak pulang, sekarang katakan kamu dimana, aku akan susul."
Sabrina menahan tawa saat mendengar ocehan Dokter Agung dari seberang sana.
"Siapa?" tanya Bu Risma berbisik, sedangkan Pak Yudi mencubit istrinya yang terus kepo dengan urusan orang.
"Dokter kandungan aku, Bu," balas Sabrina berbisik.
"Ngapain dokter di rumahku?" tanya sabrina menyelidik.
"Hari Ini jadwal kamu periksa, apa kamu lupa?"
Sabrina berdecak, sebetulnya bukan lupa, hanya saja kejadian di rumah Mahesa membuatnya harus mengulurnya.
"Nggak lupa, Dok, tapi ini sudah hampir Maghrib." kilah Sabrina yang sebenarnya memang malas untuk bergerak.
"Habis Maghrib kamu harus datang, nggak boleh telat!"
Dokter Agung menutup teleponnya tanpa permisi.
Demi janinnya, terpaksa Sabrina harus nurut apa kata dokter, kali ini bukan Sesil yang ia ajak, melainkan pembantunya, bagaimana juga Sabrina tak mau sendiri saat bertemu pria itu.
Seperti titah sang dokter setelah sholat Maghrib Sabrina segera berangkat dan itu pun atas izin Bu Risma dan pak Yudi.
"Kamu yakin akan pergi sama Bi Mimi saja, Ibu bisa kok menamni kamu."
Sabrina tersenyum, "Yakin Bu, lagipula hanya sebentar saja."
Bu Risma hanya bisa menatap punggung sabrina berlalu.
Malas, ya, sebenarnya Sabrina malas bertemu dengan dokter Agung, apalagi sendiri, karena pertemuannya pasti akan ada percikan kecil yang tak terduga. Kejahilan dokter Agung sangat bertentangan dengan sikap Sabrina yang menganggapnya serius.
"Selamat datang calon ibu," sapa Dokter Agung dengan menggoda.
Sabrina turun dari mobil di temani bi Mimi yang menuntunnya.
"Dokter sudah lama menunggu?" tanya Sabrina.
Dokter Agung mengulang kembali membuka pintu mobil yang sempat tertutup.
"Dokter cari siapa?" tanya Sabrina.
"Teman kamu nggak ikut?" tanya Dokter Agung sedikit berbisik.
Sabrina menggeleng, "Aku nginap di rumah Ibu, jadi Sesil nggak bisa ikut."
Dokter Agung hanya manggut manggut.
Makan tu kecewa, gerutu Sabrina.
Tak lupa dengan keinginan Sabrina, Dokter Agung sengaja mendatangkan dokter perempuan untuk membantu kelahiran Sabrina nanti.
"Kenalkan, ini Dokter Meta."
Sabrina mengulurkan tangannya bersalaman, keduanya saling memperkenalkan diri sebelum masuk ke ruang periksa.
"Dokter keluar dong!" pinta Sabrina memohon.
Untung kejahilan dokter Agung level rendah dan itu memudahkan sabrina untuk mengusirnya.
Beberapa kali melakukan USG sabrina tak berhenti meneteskan air mata saat sang dokter terus mengucapkan bahwa bayinya dalam keadaan baik baik saja.
Apakah disaat seperti ini ia harus menyalahkan malam itu. Oh, rasanya Sabrina sedang dilema antara menyesal dan bersyukur. Malam kelam yang membuatnya dihujat dan terpuruk, namun disisi lain ada Anugerah yang hadir.
"Kenapa mbak menangis?" tanya dokter Meta membantu Sabrina untuk bangun.
"Aku terharu saja dok, dan aku nggak nyangka sebentar lagi akan menjadi seorang ibu.
"Mbak umur berapa?" tanya dokter Meta.
"Dua puluh tahun."
Dokter Meta terkejut mendengar ucapan Sabrina.
"Masih sangat muda, dan kelihatannya kamu sudah siap untuk dipanggil mama."
Sabrina menyeka air matanya lalu mengangguk dusta.
Sebenarnya aku nggak siap, hanya saja aku tak bisa menghindar, dan sampai sekarang pun aku tidak menemukan titik terang orang yang sudah menodaiku, jika suatu saat nanti aku bertemu dengannya, aku ingin dia terpuruk dengan penyesalannya seperti apa yang aku rasakan, lirih hati Sabrina.
Sabrina kembali ke ruangan dokter Agung ditemani dengan Dokter Meta dan Bi Mimi pembantunya.
"Bagaimana keadan Sabrina, Dok?"
"Alhamdulillah semua baik, jika ada tanda tanda ingin melahirkan mbak harus segera hubungi saya atau dokter Agung."
Sabrina mengangguk.
Dengan sigap Dokter Agung membukakan pintu untuk Sabrina.
"Terima kasih, Dok."
Seperti saat masuk, saat keluar pun Dokter Agung menemani Sabrina sampai di depan.
Disaat bercakap tiba tiba saja Dokter Agung menatap lekat seseorang yang baru saja turun dari mobil.
Itu kayak Mahesa, batin Dokter Agung masih memperjelas pandangannya.
"Dokter lihat apa?" tanya Sabrina mengikuti jari telunjuk Dokter Agung mengarah.
Itu kan mas Mahesa dan Camelia, sama seperti dokter Agung, Sabrina pun hanya bicara dalam hati.
"Mahesa, Camelia…" teriak Dokter Agung mendekati keduanya.
Wajah Camelia ditekuk saat melihat laki laki yang familiar di depannya.
Keempat orang itu hanya saling pandang dan membisu, Mahesa masih merasa canggung dengan Agung yang sudah lama tak bertemu, begitupun Sabrina enggan untuk menatap suaminya, sedangkan Camelia pun tak suka dengan kehadiran Dokter Agung, dan ternyata pria itu mengenal suaminya.
''Kalian sudah saling kenal?" tanya Mahesa menatap Camelia dan Dokter Agung bergantian.
"Hmmm, kami,___ Agung menghentikan ucapannya saat Camelia menyelak.
"Mas, kita masuk yuk! Perut aku sudah nggak enak nih."
Camelia menarik lengan Mahesa.
Setelah itu Camelia menarik tangan Mahesa dan melingkarkan di pinggangnya memamerkan kemesraannya di depan istri pertama suaminya.
Namun sedikitpun Sabrina tak merasa jengkel apa lagi cemburu dengan ulah madunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
AQueene Rya Afrizal
mewekk😭😭😭😢😢
2023-03-15
2
momtikita
mencurigakan nih
2022-07-20
0
Zainab Ddi
ngak usah dipikirin sabrina
2022-06-27
1