Kepergian Sabrina langsung terdengar di telinga Bu Risma, wanita itu seketika datang ke rumah Mahesa untuk meminta penjelasan dengan apa yang terjadi, namun Bu Risma tetap menjaga semua itu dari Pak Yudi takut kembali shock disaat kondisinya sudah mulai membaik.
Camelia yang juga ada disamping Mahesa hanya diam mendengar celoteh Bu Risma. Tak mau ambil pusing akhirnya Camelia memilih pamit setelah menerima panggilan telepon dari rekan kerjanya.
Setelah punggung Camelia menghilang, Bu Risma mendekati Mahesa yang terlihat bingung.
"Apa ini semua karena Camelia?" tanya Bu Risma menyelidik.
"Tidak." jawab Mahesa.
"Kasihan Sabrina, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, selama ini dia merawat papa dengan baik, mama tahu dia bukan wanita pilihanmu, tapi setidaknya jangan sia-siakan dia."
Mahesa semakin bingung dengan mamanya. Dari awal Bu Risma yang menentang perjodohan itu, namun kini malah berubah pikiran disaat Mahesa sudah mendapatkan wanita lain.
"Tapi aku tidak mencintainya, Ma. Dan sudah ada Camelia, wanita yang aku cintai." bantah Mahesa.
Bu Risma memegang punggung tangan Mahesa. Sebagai seorang Ibu pastilah ingin putra semata wayangnya bahagia, namun melihat keadaan Mahesa, Bu Risma juga ikut merasa bersalah.
"Dulu mama dan papa juga tidak saling cinta, papa kamu sangat keras kepala, bahkan satu tahun kami tidur di kamar yang berbeda, jika nenek kamu datang, baru papa kamu membawa mama ke kamarnya, setelah dua tahun pernikahan, mama sakit, disaat itulah papa kamu sadar kalau mama berarti buat dia. Dan disaat itu juga papa kamu menyesal akan sikapnya," Bu Risma menjeda ucapannya.
"Dan kamu tahu kenapa mama tidak setuju dengan hubungan kalian?"
Mahesa menggeleng, penasaran dengan kelanjutan cerita sang mama.
"Ini yang mama takutkan, kamu membenci Sabrina, tapi papa kamu keras kepala dengan keinginannya."
"Hes, cobalah kamu pikirkan lagi, bagaimana baiknya, kamu sudah dewasa, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Sebentar lagi sabrina melahirkan, kasihan dia harus tinggal seorang diri."
Terpaksa Mahesa menganggukkan kepalanya.
"Baiklah aku akan aku pikirkan lagi."
Disaat Mahesa harus berperang melawan kekerasan hatinya, di sisi lain Sabrina hanya bisa memanyunkan bibirnya setelah melihat isi tabungannya, wanita itu nampak gelisah dan terus mengelus perut buncitnya.
"Aku nggak boleh berdiam diri seperti ini. Aku harus cari kerja," gumamnya.
Sabrina meraih ponselnya yang ada di meja lalu menghubungi Arum.
Setelah terhubung, Sabrina mengatakan tujuannya menelepon. Dan itu diterima baik oleh Arum yang memang ada sebuah lowongan yang pas untuk Sabrina yang hamil besar.
"Kamu minta antar Sesil saja, nanti kalau sudah sampai langsung temui aku."
"Tidak usah, aku bisa berangkat sendiri." jawab Sabrina.
Sabrina langsung mematikan teleponnya tanpa salam, jika pembicaraan itu berlanjut, Arum tidak mungkin membiarkannya untuk berangkat sendiri.
Tak mau buang waktu, Sabrina yang sudah rapi itu langsung menyambar tas, tak lupa mengambil ponselnya, takut jika sewaktu waktu Bu Risma atau Bu Yumna menghubunginya.
Tiga puluh menit, akhirnya Sabrina tiba di sebuah toko emas terbesar yang berada di tengah kota. Dengan langkah gontainya Sabrina mendekati halaman yang dipenuhi dengan kendaraan roda empat.
Banyak pengunjung yang berlalu lalang di sana, kebanyakan dari kaum hawa yang memang menyukai hiasan untuk mempercantik dirinya.
Sabrina menghentikan langkahnya lalu merogoh ponselnya.
Baru saja menempelkan benda pipih itu di telinga, suara familiar mengejutkannya dari belakang.
Ternyata Arum yang datang menghampirinya.
"Kita langsung masuk saja, kata yang lain Asisten bos datang.''
Mendengar kata itu, Sabrina sedikit menciut. Selama hidupnya baru kali ini ia harus berhadapan dan berkomunikasi langsung dengan orang papan atas, dan sepertinya Sabrina harus mulai membiasakan diri dengan itu.
"Pak Asistennya galak nggak?" bisik Sabrina di tengah-tengah kerumunan.
Arum tersenyum tanpa menghentikan langkahnya.
"Aku juga nggak pernah lihat, Sab. Yang aku dengar pak Asisten itu orangnya pendiam, dan dia itu suka mengamuk jika ada pegawai yang tidak disiplin. Dan Alhamdulillah selama bekerja disini aku belum pernah berbuat kesalahan, jadi tidak berurusan langsung sama dia."
Sabrina hanya manggut manggut mengerti.
Setelah tiba di ruangan yang ia tuju, Arum menghela napas panjang. Entah kenapa tiba tiba saja nyalinya ikut menciut saat membaca nama yang tertera.
"Randu Laksana," ucap Sabrina dengan lantang.
"Sepertinya aku kenal namanya."
"Benarkah?"
Sabrina mengangkat kedua bahunya karena Ia pun hanya menerka.
"Ayo ketuk pintunya!"
Sabrina menyenggol lengan Arum yang nampak gusar.
"Baiklah, biar aku yang ketuk."
Ceklek, tiba tiba saja pintu terbuka.
Sabrina kembali menarik tangannya yang hampir melayang mengenai jidat pria yang mematung di depannya.
"Mas Randu…" sapa Sabrina kaget.
Randu membungkuk ramah saat membalas sapaan Sabrina.
"Mbak mau apa datang kesini?" tanya Randu dengan nada datar.
Arum menatap Randu dan Sabrina bergantian. Gadis itu tampak kaget dengan keduanya, namun tak bisa bicara apa apa. Bibirnya kelu saat melihat wajah tampan Randu.
Sabrina memutar otaknya untuk bisa bicara empat mata dengan Randu.
"Arum, kamu tunggu disini sebentar, aku mau bicara dengan pak Randu."
Randu hanya menatap wajah Arum sekilas. Eh salah, tepatnya pada identitas yang menggantung di lehernya.
'Karyawan.' batinnya dengan nada menghina.
Dengan hormat Randu mempersilakan Sabrina masuk. Tak hanya itu, Randu juga memanggil pelayan untuk membawakan minuman.
Sabrina memilih untuk duduk di sofa, sedangkan Randu di kursi kebesarannya.
"Apa yang mau mbak bicarakan?" tanya Randu menyelidik.
"Arum bilang disini ada lowongan kerja, dan maksud kedatanganku memang mau melamar pekerjaan disini." ucap Sabrina tanpa basa basi.
Randu membuka ponselnya yang sempat berdering, ternyata Mahesa yang menghubunginya.
"Apa mas Mahesa tahu?"
Sabrina menggeleng, "Aku pergi dari rumah, dan aku sangat butuh pekerjaan, tolong mas Randu jangan bilang pada Mas Mahesa kalau aku melamar kerja disini."
Randu sibuk dengan ponselnya, sepertinya pria itu sangat serius menanggapi gerangan yang ada di seberang sana.
"Baiklah! tapi lowongan di sini hanya untuk pelayan."
Sabrina tersenyum renyah, akhirnya Randu menerima dirinya.
"Dan mulai besok Mbak sudah bisa masuk," imbuhnya lagi.
"Terima kasih, Mas."
"Untuk segala keperluan tanyakan pada sahabat, Mbak," titahnya.
Sabrina beranjak dari duduknya. Rasanya sangat lega dan bebannya menghilang.
"Kalau begitu aku permisi dulu."
Dengan sigap Randu melewati tubuh Sabrina dan membukakan pintu untuk wanita itu.
"Sekali lagi terima kasih karena Mas sudah mau menerimaku."
Randu mengangguk tanpa suara.
Matanya kembali melirik Arum yang mematung di sana.
Setelah pintu ruangan Randu tertutup rapat, Arum menangkup kedua pipi Sabrina, wajahnya nampak khawatir kemudian memeluk Sabrina yang terlihat baik-baik saja.
"Kamu nggak di apa apain sama pak Randu kan?" tanya Arum antusias.
Sabrina menahan tawa, bagaimana bisa Arum bicara seperti itu, dengan jelas Randu hanya manusia biasa bukan monster yang bisa mencelakai dirinya.
Ehem…..tiba tiba saja suara deheman dari arah pintu menggema.
Arum membulatkan matanya, ingin rasanya lenyap dari muka bumi saat menatap wajah Randu yang lebih kejam daripada mafia.
Satu satunya solusi untuk menghindari sesuatu yang mungkin terjadi Arum berlari terbirit birit meninggalkan Sabrina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Nethy Sunny
c arum sampe ngibrit gitu galak2 gitu juga ganteng 😆
2024-04-28
1
Zainab Ddi
kenapa takut arum
2022-06-27
1
Ani Kardianingsih
ko bodoh sih sabrina, masah melamar pekerjaan di kantor suami nya
2022-02-21
0