Kedatangan Bu Risma tak hanya membela Sabrina di depan Mahesa yang terus menyudutkannya, namun juga membuatnya lebih semangat demi bayinya yang akan hadir. Lalang melintang dunia yang ia lalui bertahun-tahun, dan inilah menurut Sabrina ujian yang paling berat setelah kehilangan kedua orang tuanya dan kehormatannya, di mana ia harus kuat mental menghadapi sekelilingnya seorang diri. Tak ada sandaran dari suami, kasih sayang dari semua orang terdekat lenyap karena jarak. Namun ada yang lebih aneh setelah Bu Risma pulang, dengan sengaja Mahesa memamerkan kemesraanya bersama Camelia di ruang tamu. Sepertinya tak puas membuat Sabrina menangis, kini pria itu menguji kesabarannya yang memang ada batasnya.
"Kamu mau kemana?" seru Mahesa.
Sabrina yang sudah tiba di ambang pintu menghentikan langkahnya tanpa ingin menoleh. Sengaja melewati dan tak ingin ditegur, namun malah sebaliknya, dengan sengaja Mahesa menyapa.
"Kedepan Mas, di dalam panas." jawabnya singkat. Mengibas ngibaskan tangannya.
Tak kuasa untuk melihat ciuman suami istri di depannya, meskipun ia tak dicintai seharusnya Mahesa menjaga perasaannya sebagai istri tua.
Suara dentuman sepatu dan lantai terdengar makin dekat, Sabrina hanya bisa diam di tempat, menunggu drama apalagi yang akan dibuat suami dan madunya.
"Kamu cemburu?" celetuk Camelia tepat ditelinga Sabrina.
Sabrina menahan air matanya yang hampir saja luruh. Mencoba untuk tetap tegar saat di hadapan Camelia, meskipun ia sangat rapuh dan ingin remuk.
"Tidak! karena aku tahu, cinta mas Mahesa hanya untuk kamu, aku disini hanya numpang, dan tidak punya hak untuk itu. Jadi tenanglah, aku tidak akan merebut mas Mahesa dari kamu." terang Sabrina menjelaskan.
Hati Sabrina merasa tertusuk paku saat mengucapkan. Meskipun bibirnya bicara seperti itu, kenyataannya ia merasa sangat sakit melihat suaminya dengan wanita lain, munafik. Lain dikata lain di hati, iya, tapi apa daya. Sabrina hanya manusia biasa, dan perjanjian itu benar-benar mengikatnya untuk tidak berulah.
"Bagus, itu artinya kamu juga siap berpisah dari Mas Mahesa." kelakarnya.
Apa yang harus aku katakan, aku nggak mau berpisah dari mas Mahesa, aku takut anakku akan dicemooh orang-orang jika tahu dia anak diluar nikah.
Kali ini Sabrina membalikkan badan menatap Camelia dengan lekat.
"Jodoh di tangan Allah, jadi aku tidak bisa berkata, jika Allah berkehendak aku berpisah dengan mas Mahesa, mungkin itu jalan yang terbaik. Tapi jika tidak, kamu harus terima, karena kita manusia hanya bisa berencana, tapi Allah yang menentukan."
Setelah berbicara Sabrina melanjutkan langkahnya menghampiri Bi Asih yang ada di taman belakang. Sedangkan Camelia kembali masuk. Dengan wajahnya yang menahan emosi wanita itu mendekati Mahesa.
"Mas, __" rengek Camelia.
Mahesa meletakkan remot tv yang dipegangnya, lalu menatap lekat wajah wanita yang dicintainya semenjak kuliah.
"Apa kamu nggak dengar ucapan Sabrina tadi, dia nggak mau berpisah dari kamu. Apa kamu tidak berniat menceraikannya?"
Wajah Mahesa nampak lesu saat mendengar kata cerai. Entah lah, meskipun tak mencintai Sabrina, hatinya merasa berat untuk berpisah, apalagi mamanya yang dulu membenci Sabrina kini perlahan mulai menerima kehadiran gadis itu.
Ada tatapan yang tak dimengerti Camelia, Mahesa terlihat ragu untuk berkata, seakan pertanyaannya itu adalah hal yang tak disukai suaminya.
"Disini kan kamu sudah berkuasa, jadi jangan khawatir, Sabrina tidak akan bisa merebut posisimu. Kamu dan dia itu berbeda sangat jauh, jadi jangan takut, aku akan membuatnya tidak betah tinggal disini." Jelas Mahesa.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun belum ada tanda-tanda Mahesa keluar dari kamarnya, padahal makanan sudah siap. Begitupun dengan Sabrina yang sudah menunggu di ruang makan.
"Apa Mas Mahesa sudah tidur?" Sesekali Sabrina menatap ke arah lantai dua berharap suaminya itu muncul.
Seharian penuh dilanda kesibukan pekerjaan dan hati, Sabrina merasa sangat lapar, namun ia tak mau lancang dan tetap menunggu sang suami.
Bi Asih yang merasa kasihan itu menghampiri sabrina yang nampak gelisah.
"Kalau Non lapar makan saja dulu."
Bi Asih mengelus punggung Sabrina. Diabaikan bukan mau Sabrina, namun itu harus dialaminya, tinggal di rumah itu tak dianggap sama sekali. Akan tetapi ada yang mampu membuatnya bertahan dalam keadaan pahit itu. Yaitu bayi yang dikandungnya titipan dari Sang Ilahi Robbi.
"Aku mau menunggu Mas Mahesa, Bi."
Baru saja mingkem, suara tawa terdengar dari ujung tangga. Ternyata Mahesa dan Camelia yang terlihat sangat bahagia.
Sabrina beranjak dari duduknya menghampiri Mahesa dan Camelia.
"Mas, makan malam sudah siap. Apa mas mau makan sekarang?" ucap Sabrina ramah.
Camelia menatap Sabrina dengan tatapan sinis.
"Sayangnya Mas Mahesa nggak mau makan sama kamu. Harusnya kamu tahu diri, kamu itu mengandung anak orang lain dan menggunakan mas Mahesa sebagai topeng. Jadi jangan terlalu percaya diri, kamu tak lebih hanya sekedar sampah."
Lagi-lagi hanya hinaan yang Sabrina terima dari madunya, dan rasanya kali ini Sabrina sudah tak kuat menghadapi kenyataan hidupnya.
Setelah punggung Mahesa dan Camelia berlalu, Sabrina mencari tempat untuk bersandar. Wanita itu menumpahkan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk.
"Aku memang tidak berguna, aku hadir hanya memberikan malu untuk mas Mahesa, seharusnya aku pergi dari rumah ini. Dan seharusnya aku siap menanggung beban hidupku tanpa melibatkan mas Mahesa." gumam Sabrina.
Semalam penuh Sabrina tak memejamkan mata. Hatinya begitu resah mengingat hinaan Camelia. Dipagi yang buta, selesai Sholat Subuh, Sabrina keluar dari kamarnya menuju kamar Mahesa.
Tanpa rasa ragu Sabrina mengetuk pintu kamar suaminya yang masih tampak gelap.
Tiga kali ketukan akhirnya pintu terbuka lebar, Mahesa yang membukanya.
Tak ada pertanyaan, Mahesa memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedikitpun tak ingin menatap wajah cantik Sabrina.
"Mas, aku ingin tinggal sendiri." ungkap Sabrina.
Setelah berpikir keras, Sabrina ingin pergi dari Mahesa daripada terus menjadi bahan olokan madunya.
"Terserah." jawab Mahesa singkat.
"Tapi aku ingin mas membelikan rumah untuk aku tinggal, karena aku nggak mau tinggal di panti."
Hati Mahesa sedikit terenyuh mendengar ucapan Sabrina, namun rasa cintanya untuk Camelia lebih besar hingga pria itu menepis perasaannya.
"Kamu sudah siap pergi dari rumah ini, itu artinya kamu siap menanggung konsekuensinya."
Sabrina menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Aku siap, dan jika memang kita tidak berjodoh, aku sudah siap mas menceraikan aku."
"Baiklah, aku akan belikan rumah untuk kamu."
Mahesa kembali masuk dan menutup pintu kamarnya kembali. Meninggalkan Sabrina yang masih ada di depan kamarnya.
Antara bahagia bercampur aduk dengan kepedihan, akhirnya Sabrina mulai melangkah dengan tujuannya sendiri. Rasa Takutnya mulai memudar dan ingin berjuang seorang diri untuk menjaga putranya yang belum lahir.
Untuk apa aku bertahan, sedangkan mas Mahesa hanya memandangku sebelah mata. Semoga ini jalan yang terbaik untuk aku dan anakku. Lirih hati Sabrina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Lilis Suryani
dr awal baca nympe part ini nyesek wae,,, bener2 bagus ceritanya
suka banget 👍
2023-12-31
1
Ma Em
bagus Sabrina lebih baik pergi dan tinggalkan si Mahesa pasti dia akan menyesal dan seandainya dia mau balikan sama kamu Sabrina jangan mau tidak usah diterima.
2023-12-26
0
Cahaya Hayati
lepas itu rumah itu jual pindah ketempat lain agar Mahesa tidak bertemu dengan mu ,😭😭😭
2023-01-23
2