Dengan baju yang sedikit basah, Sabrina menghampiri bi Asih yang ada di dapur. Sepertinya hatinya terlalu rapuh untuk hari itu dengan tugas yang di luar ekspektasinya. Ditatapnya wajah Bi Asih yang tampak lesu, belum lagi Siti dan yang lain, mereka seperti merasakan apa yang dirasakan Sabrina.
"Jika menangis membuat Non lega, menangislah di pelukan bibi!" Cicit Bi Asih seraya merentangkan tangannya, menyongsong keluh kesah Sabrina.
Seketika Sabrina memeluk Bi Asih, dan benar wanita itu menumpahkan air matanya, sekuat apapun hati seorang wanita tetaplah sakit jika direndahkan, jika ada jalan lain, Ia pun tak ingin berada diposisi itu. Belum lagi saat di kamar Camelia terus saja mengolok dirinya tiada henti. Dan sedikitpun tak ada pembelaan dari Mahesa untuknya.
"Kenapa Non tadi tidak memanggil Saya." timpal Siti, "Saya siap untuk mengerjakan pekerjaan rumah ini."
Siti menepuk punggung Sabrina yang bergetar, sebagai sesama perempuan, Siti tak sanggup melihat Sabrina yang terus saja direndahkan suaminya, dan sekarang ditambah madunya.
Sabrina mengendurkan pelukannya dan mengusap air matanya.
"Aku menangis bukan karena sedih dengan perlakuan mas Mahesa, aku hanya ingat kedua orang tuaku saja. Pasti mereka juga sedih jika tahu aku seperti ini, Bi."
Dari kecil kehilangan orang tua sehingga harus tinggal di panti asuhan. Dan setelah itu kehilangan kehormatannya dan terpaksa mau menikah dengan Mahesa, dan kini Sabrina selalu direndahkan kala didepan suami dan madunya.
"Demi bayiku aku rela menjalani semua ini. Semoga Allah menjadikan aku wanita yang lebih kuat lagi." meski terpaksa Sabrina tetap menampilkan senyumnya di depan pembantunya.
Semburat senja masih nampak indah. Sabrina yang baru saja menjalankan kewajibannya itu bergegas untuk keluar. Dan hati Sabrina makin merasa berdebar saat sayup sayup terdengar suara familiar dari arah pintu utama.
"Ayah!'' seru Sabrina setelah membuka pintu.
Sebelum menemui Pak Yudi, Sabrina mengusap air matanya dan menampilkan wajah yang ceria. Tak mau pak Yudi curiga dengan rumah tangganya, wanita itu menarik sudut bibirnya hingga berbentuk senyum.
Dengan langkah lebarnya Sabrina menuju depan menghampiri mertuanya yang sudah berada di ruang keluarga.
"Ayah__" seru lagi sabrina untuk yang kedua kali. Menahan air matanya yang ingin tumpah, namun kali ini bukan karena sedih. Melainkan bahagia melihat mertuanya itu datang.
Pak Yudi mengulas senyum saat melihat menantunya itu baik baik saja.
Sabrina berlutut mencium punggung tangan Pak Yudi lalu memeluknya.
"Mana Mahesa?" tanya pak Yudi.
Sabrina menunduk, ingat pesan Mahesa kalau ia tak mau diganggu.
"Di Kamar," jawab Sabrina ragu.
"Duduklah!" pak Yudi menepuk tempat yang masih kosong. Pria tua itu tahu jika menantunya sedang menyembunyikan sesuatu yang serius darinya.
"Apa Mahesa menyakiti kamu?"
Sabrina menggeleng, wanita itu tak mau jika mertuanya sampai marah pada Mahesa seperti waktu itu.
"Ayah akan memanggilnya."
Dengan sigap Sabrina meraih tangan pak Yudi dan menggenggamnya dengan erat.
"Biar Sabrina yang panggil, Yah."
Tak menunggu waktu lagi, Sabrina beranjak dari duduknya. Sopan santunnya yang luar biasa tak pernah mengabaikan mereka yang lebih tua. Dan Sabrina tak pernah membedakan status untuk menghormati mereka.
Aku tahu pasti kamu tersakiti, jika Mahesa tak bisa mencintai kamu lebih baik kamu ikut ayah.
Pak Yudi menatap punggung Sabrina yang menyusuri anak tangga, mengingat nasib gadis itu, Pak Yudi tak bisa berkata, apa lagi pak Yudi sudah mengenal Sabrina dari kecil, perjuangannya yang besar tekadnya yang kuat sehingga membuatnya menjadi wanita yang bisa melawan arus. Namun kejadian satu malam membuat Sabrina kembali lemah dan tak berdaya.
Setibanya di depan kamar Mahesa, Sabrina hanya bisa mondar mandir dan sesekali menatap pintu yang tertutup rapat, nyalinya menciut saat tangannya hampir mengetuk pintu, kemarahan yang berulang kali dari suaminya selalu mengingatkannya untuk hati hati sebelum bertindak. Belum lagi ada Camelia di dalam takut juga mengganggu moment pengantin baru.
"Aku ketuk nggak ya, tapi kasihan ayah, dia sudah bela belain datang, masa iya nggak bisa bertemu mas Mahesa." Gumamnya kecil.
Merasa sangat mamang, akhirnya Sabrina memutar tubuhnya menuju tangga. Disaat Sabrina hampir turun, tiba tiba saja suara pintu terbuka dan itu sangat menguntungkan baginya.
Sabrina memutar tubuhnya kembali dan mendekati kamar Mahesa.
"Kamu ngapain disini?" tanya Camelia dengan nada sinis. Menatap penampilan Sabrina dari atas hingga kebawah yang menurutnya kampungan. Apalagi baju yang dipakai jauh dari kata modern dan mahal.
Sebaliknya, Sabrina menatap leher Camelia yang penuh tanda merah lalu mengedarkan pandangannya ke arah Mahesa yang sedang memakai kemejanya. Ia tahu apa yang baru saja terjadi di kamar suaminya, yang pasti itu tak pernah dilakukannya bersama Mahesa selama menikah.
"Ayah datang, Beliau ingin bertemu dengan mas Mahesa." ujarnya.
Nampak dari jauh Mahesa menoleh dan merapikan kemejanya lalu beranjak menghampirinya dan Camelia. Wajahnya berseri dan terlihat lebih segar.
"Bilang sama papa aku mandi dulu."
Setelah punggung Mahesa menghilang dari balik kamar mandi, Camelia keluar dari kamarnya menyusul Sabrina.
"Selamat datang papa mertua," sapa Camelia yang ada di sudut tangga.
Dengan tak tahu malunya Camelia mendekati Pak Yudi dan Sabrina yang sedang berbincang.
Tak ada jawaban, Pak Yudi tetap sibuk dengan menantu kesayangannya.
"Apa papa lupa aku juga istri mas Mahesa."
Merasa diabaikan, Camelia makin geram dan terus membuka suara.
Masih mode diam. Pak Yudi tak peduli dengan ocehan Camelia dan menganggap itu hanya hembusan angin yang lewat.
"Pa, meskipun papa tidak menganggapku sebagai menantu, aku adalah istri Mas Mahesa." terangnya lagi.
Masih tak ada tanggapan, seolah olah Camelia adalah patung yang berbicara sendiri.
"Baiklah, perlu papa tahu, kenapa aku sampai memaksa Mas Mahesa menikah denganku."
Akhirnya Pak Yudi menoleh menatap Camelia yang nampak serius dengan ucapannya.
"Itu karena mas Mahesa sudah meniduriku." Jelasnya.
Tiba tiba saja pak Yudi memegang dadanya yang terasa sesak, dan itu sukses membuat Sabrina panik.
"Dia yang sudah membuatku tidak perawan lagi, dan aku mau pertanggung jawabannya," imbuhnya.
Pak Yudi hanya bisa menggeleng seraya menahan napasnya yang tersengal, tak menyangka dengan penuturan Camelia yang sejauh itu.
"Pa, papa kenapa?" tanya Sabrina kala merengkuh tubuh Pak Yudi yang hampir saja tumbang.
"Mas…." teriak Sabrina. Wanita itu menatap ke arah tangga.
Sabrina menangis menggoyang goyangkan tubuh Pak Yudi yang nampak lemas, dan perlahan mata pak Yudi tertutup rapat.
"Pa, bangun!"
Camelia beranjak dari duduknya dan memanggil Mahesa, sedangkan para pembantu ikut menghampiri Sabrina yang sudah sesenggukan seraya menopang tubuh pak Yudi.
Bi Asih mengambil alih majikannya, takut perut besar Sabrina kenapa napa.
Selang beberapa menit, akhirnya Mahesa datang, tanpa kata pria itu mengangkat tubuh Pak Yudi dan membawanya ke mobil.
Begitu juga Sabrina yang mengikuti dari belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Putri Hasbullah
bk ;
2022-06-27
0
Me ☺
hadeh... sshhh🤧
2022-06-01
0
umma safarbie
ya allah..ko melow ya baca novel ini
2022-04-17
1