"Kamu sakit apa, Mas? Kenapa tadi nggak bilang? Kalau tahu kayak gini aku nggak jadi berangkat."
Pertanyaan bertubi tubi menyertai bibir Camelia yang baru saja tiba. Wanita itu tampak cemas saat melihat suaminya terkapar diatas ranjang. Ada setitik penyesalan sudah meninggalkan Mahesa pergi seharian penuh.
"Aku nggak kenapa napa kok." jawab Mahesa singkat. Faktanya Mahesa memang sudah lebih baik dan tak perlu dikhawatirkan. Tubuhnya terasa membaik setelah mengkonsumsi obat yang diberikan dokter Ridwan.
"Kamu jangan menyepelekan penyakit mas, aku nggak mau kehilangan kamu."
Dengan tegap Mahesa mengangkat kepalanya, menangkup kedua pipi Camelia dengan lembut lalu meletakkan kepala istrinya di dada bidangnya.
"Kamu tidak akan kehilangan aku. Aku sangat mencintaimu. Sampai kapan pun kita akan selalu bersama. Dan sebentar lagi bayi kita akan lahir untuk melengkapi rumah tangga kita."
Mahesa menggerayangi perut rata Camelia. Rasanya lengkap sudah hidupnya dengan hadirnya janin di rahim istri keduanya. Meskipun ada kendala dengan kisah asmaranya, Mahesa tak memberatkan dan mencoba untuk menjalaninya.
"Aku mandi dulu ya," Camelia kembali mencium Mahesa dengan lembut.
Sesampainya di kamar mandi, Camelia kembali membuka pintunya yang baru beberapa menit tertutup. Tatapannya menyelidik saat memegang sebuah baju di tangannya.
"Mas, ini baju siapa?"
Camelia menunjukkan baju yang sangat asing di matanya.
"Perasaan kamu nggak punya baju seperti ini," imbuhnya lagi.
Dengan kecurigaan yang begitu besar Camelia menjewer baju itu tepat didepan Mahesa.
"Itu yang aku pakai tadi dari rumah Sabrina. Aku lupa melepasnya karena kepalaku pusing."
"Sabrina?" ulang Camelia, memastikan jika ia tak salah dengar.
Mahesa mengangguk, "Kenapa?"
Camelia tersenyum lalu mendekati Mahesa dan duduk di tepi ranjangnya. Pikirannya mulai traveling dengan apa yang ingin diucapkannya.
"Mas, kamu mikir nggak sih, kok bisa di rumah Sabrina ada baju laki laki, apa menurut kamu ini wajar? Nggak mungkin kan, dia bawa baju kamu dari rumah ini. Dan aku yakin selain kamu pasti ada laki laki lain yang masuk ke rumah itu."
Mahesa meraih baju dari tangan Camelia, benar juga apa kata istrinya, dilihat dari stylenya, baju itu adalah baju dengan harga murah dan bukan miliknya.
Apa kata Camelia bisa masuk akal juga.
Wajahnya berubah pias. Mahesa mencengkeram baju itu hingga kusut lalu melemparkannya ke sembarang arah. Dadanya tiba tiba saja meletup letup mendengar ucapan Camelia.
Mahesa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lalu turun.
"Kamu mau kemana, Mas?" tanya Camelia, memeluk Mahesa yang sudah hampir tiba di belakang pintu.
"Kamu tenang saja, aku nggak kemana mana." jawabnya pelan.
Ada senyum seringai dari sudut bibir Camelia, dimana ia merasa menang dengan kemarahan suaminya.
Maafkan aku mas, aku nggak bisa membagi cinta kamu dengan orang lain, sampai kapan pun aku ingin menjadi satu satunya wanita yang kamu cintai.
"Sabrina…." teriak Mahesa.
Bi Asih yang ada di dapur terkejut saat mendengar suara lantang majikannya, bahkan selama bertahun tahun bekerja, ini kali pertama Bi Asih melihat amarah Mahesa yang nampak menggebu.
"Dikamar, Den," jawab Bi Asih dari arah dapur.
Setelah mendengar jawaban Bi asih, Mahesa mengetuk pintu kamar Sabrina yang tertutup rapat, tak ada jawaban dari dalam, Mahesa langsung membuka pintu itu tanpa permisi.
"Mas Mahesa!"
Sabrina yang baru keluar dari kamar mandi itu menyambar kain seadanya untuk menutupi rambutnya. Meski Mahesa suaminya, sekalipun Sabrina belum pernah membuka aurat di depannya, apa lagi hubungan keduanya tak baik baik saja dan Sabrina menganggap Mahesa orang asing yang masih tak pantas untuk melihatnya dalam keadaan terbuka.
"Ada apa, Mas?" tanya Sabrina antusias. Dengan gugupnya Sabrina menuju ke arah lemari mencari kerudung dan memakainya asal lalu menghampiri Mahesa.
"Mas butuh sesuatu?" tanya Sabrina.
Mahesa masih membisu, rahangnya semakin mengeras saat melihat Sabrina didekatnya. Muak, mungkin itulah kata yang tepat untuk diluncurkan melihat kepolosan istri pertamanya.
"Sekarang kamu katakan! Baju siapa yang aku pakai tadi?"
"Memangnya kenapa?" tanya Sabrina balik. Wanita itu tak mengerti kenapa Mahesa bertanya seperti itu.
Mahesa menarik hijab Sabrina dengan kasar lalu meremasnya hingga berbentuk kepalan.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kokoh Mahesa, Sabrina merasa terhina dengan kelakuan suaminya. Jika selama Ini ia diam, tidak untuk sebuah mahkota yang selalu ia perjuangkan. Dan dengan seenaknya Mahesa mempermainkannya.
"Kenapa kamu harus marah, bukankah ini yang kamu lakukan disaat ada seorang laki laki masuk kedalam rumah kamu." nada mengejek.
Lagi-lagi Sabrina melayangkan tangannya di pipi Mahesa. Rasa takutnya hilang saat mendengar olokan suaminya. Kesabarannya habis untuk menerima hujatan diluar nalurinya.
"Apa maksud, Kamu?" tanya Sabrina.
Masih menahan hatinya untuk sedikit lunak, menduakan egonya demi penjelasan dari Mahesa.
"Jangan pura pura tidak tahu, siapa laki laki yang datang ke rumahmu, dan apa yang kalian lakukan di belakangku?"
Sabrina menggeleng, heran dengan pikiran suaminya yang begitu cetek. Hingga gampang dipengaruhi hanya dengan sebuah kata.
"Jika mas memang sudah tidak membutuhkanku disini, jangan menghinaku, aku memang sudah kotor, tapi bukan berarti aku murahan seperti yang mas katakan."
Sabrina meninggalkan Mahesa yang masih mematung di sana, dengan kebatnya wanita itu mengambil tas dan ponselnya, memakai jilbabnya dan kembali mendekati suaminya.
"Aku kesini atas permintaan Randu, dan sampai detik ini aku disini itu keinginan kamu," Sabrina menjeda ucapannya sejenak.
"Mulai sekarang, aku tidak akan menginjakkan kakiku di rumah ini lagi. Anggap saja aku sudah mati. Dan anggap kita tidak pernah kenal, jika Allah masih mempertemukan kita, anggap aku ini patung yang berjalan, dan perlu mas ingat, Sabrina Salsabila bukan wanita murahan yang seperti mas tuduhkan."
Setelah mencurahkan isi hatinya, Sabrina meninggalkan kamarnya. Meskipun hatinya sudah hancur berkeping keping Sabrina tetap berusaha kuat saat didepan Mahesa.
Setibanya di jalan depan rumah Mahesa, Sabrina menumpahkan air matanya, tak menyangka jika perjuangannya menjaga Mahesa sia-sia.
"Sabrina…"
Suara seseorang dari dalam mobil itu menggema.
"Ibu,__" seru Sabrina menghampiri mertuanya yang baru turun dari mobil.
"Biar mama kasih pelajaran Mahesa, dasar anak tidak tahu diri."
Sabrina menarik tangan Bu Risma.
"Bu, tidak usah, nggak ada gunanya juga, mungkin Mas Mahesa butuh waktu untuk semua ini."
Bu Risma memeluk Sabrina, bagaimana bisa wanita itu menerima tuduhan diri suaminya dengan perbuatan yang tak pernah ia lakukan.
"Kamu pasti tersiksa menjadi istri Mahesa?" tanya Bu Risma.
"Jika terus begini, ibu akan bantu kamu untuk lepas dari anak Ibu," imbuhnya.
"Kita pikirkan nanti."
Aku nggak tahu harus bagaimana, yang pastinya aku akan menunggu anakku lahir. Aku benci dengan perceraian, tapi aku juga nggak bisa seperti ini terus menerus.
''Ibu ngapain kesini lagi?'' tanya Sabrina.
"Bi Asih menelepon Ibu, katanya Mahesa memarahi kamu, makanya Ibu langsung datang."
Meskipun mas Mahesa membanciku setidaknya masih ada orang-orang yang mempedulikanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
YuWie
jengkel bacanya ya klo masalah org ketiga mah. Sabrina bodoh mahesa tambah lagi.
2024-12-07
0
tri kutmiati
sebenernya org yg pintar tdk akan mudah terpengaruh ..aplg dlm cerita ini posisi cinta segi tiga...tp outhor lbh membodohkn tokoh mahesa
2024-02-03
2
Azlin Mj
sudahi kebodohan Sabrina ...mulai agak bosan dgn caranya
2022-06-16
2