Hampir satu jam lamanya Sabrina menunggu kepastian dari Mahesa, namun pria itu tak kunjung keluar dari kamarnya. Jenuh, itu yang Sabrina rasakan hingga wanita itu terpaksa harus datang ke kamar Mahesa untuk meminta penjelasan.
Setibanya, Sabrina hanya bisa diam saat mendengarkan suara tangis Camelia dari dalam, entah apa yang terjadi, Sabrina hanya bisa menerka-nerka.
Apa Camelia melarang mas Mahesa untuk membelikan aku rumah, Astaghfirullah, aku sudah berburuk sangka, lebih baik aku pergi, aku minta bantuan Sesil dan Arum saja.
Tak ingin ikut campur masalah suami dan madunya Sabrina kembali turun, dan kali ini Ia menemui bi Asih sekalian pamit.
"Apa Bibi boleh ikut, Non?" ucap Bi Asih penuh harap.
Sabrina tersenyum. "Jangan, Bi. Mas Mahesa lebih membutuhkan Bibi."
Sabrina memanggil semua pembantu untuk berkumpul.
"Apa yang mau Non bicarakan pada kami?" tanya Siti.
Sabrina menatap pembantunya bergantian. Kebersamaannya selama lima bulan lebih yakin dan percaya kalau mereka akan menjalankan perintahnya.
"Mulai hari ini, Mas Mahesa tanggung jawab kalian, ada beberapa hal yang harus kalian ketahui untuk menjaga Mas Mahesa." tuturnya lembut.
"Apa itu, Non?" tanya Bi Asih antusias.
Jika dulu mereka hanya menjaga rumah Mahesa, kali ini amanah itu akan diterimanya dari Sabrina untuk menjaga tuannya.
"Ingatkan Mas Mahesa untuk menjalankan sholat lima waktu, jangan takut dia marah. Takutlah pada Allah. Jika dia lelah bibi siapkan susu jahe hangat, karena aku lihat dia menyukainya. Jika kalian mencuci baju Mas Mahesa, jangan lupa kasih pengharum yang biasa kuberikan. Ingat ya Bi, kalau bibi membuat makanan jangan terlalu pedas, takutnya Mas mahesa sakit perut. Dan satu lagi, Aku tidak mau mas Mahesa tahu bahwa selama ini aku yang sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Cukup diam dan jangan katakan apapun." Ucap Sabrina dengan lancar dan jelas.
Bi Asih dan yang lain hanya mengangguk pelan, semenjak menjadi istri Mahesa, Sabrina memang mengambil alih tugas mereka yang berhubungan dengan kepribadian Mahesa secara diam diam, dan Sabrina sudah hafal dengan kebiasaan pria itu.
Setelah dianggap cukup, Sabrina meninggalkan yang lain dan mengambil kopernya lalu keluar. Setibanya di halaman Sabrina menghubungi Arum dan Sesil. Tak tahu harus minta bantuan siapa, yang pastinya Sabrina tak mau bu Yumna tahu masalah yang menerpanya saat ini.
Setelah bicara panjang lebar lewat sambungan telepon Sabrina menghampiri supir Mahesa yang masih membersihkan mobil majikannya.
"Non mau pergi kemana? Apa mau bapak antar?"
Sabrina menerbitkan senyum.
"Tidak usah pak, Aku hanya mau bilang, bapak jaga Mas Mahesa, jangan biarkan dia nyetir sendiri, aku takut kenapa napa."
Seperti pembantu di dalam, pak Udin pun hanya mengangguk tanpa suara.
Di sebuah restoran yang terletak di pinggiran kota Sabrina dan Sesil serta Arum bertemu, mereka nampak bahagia melepas rindu, apalagi Arum yang tak pernah bertemu dengan Sabrina semenjak menikah. Seperti ketiban rejeki berlimpah, itulah yang ia rasakan bisa memeluk sahabatnya yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu muda.
"Kamu apa kabar?"
Arum mengendurkan pelukannya dan menyeka air matanya yang sempat luruh.
"Aku baik," jawab Sabrina.
Melihat kedua sahabatnya Sabrina sedikit iri, namun apa daya itulah nasib yang harus ia terima.
Sabrina menguatkan hatinya menahan air matanya yang ada di pelupuk. Sebisa mungkin kedua sahabatnya itu tidak curiga dengan dirinya.
"Kenapa kamu bawa koper, memangnya mau kemana?" tanya Arum.
Arum membolak balikkan koper Sabrina. Gadis itu mulai curiga saat calon ibu itu terlihat gugup dan merapikan hijabnya.
"Aku, __
"Aku apa?" sahut Sesil. Memotong ucapan Sabrina saat melihat sahabatnya yang nampak tak baik-baik saja.
"Aku mau tinggal sendiri." lanjutnya lagi.
"Apa maksud kamu?"
Arum menggenggam tangan Sabrina yang mulai dingin. Begitu juga Sesil yang sangat terkejut.
Tak kuasa untuk bicara, Sabrina meneteskan air matanya, pertahanannya runtuh seketika saat mengingat penderitaannya lima bulan lamanya.
"Mas Mahesa menikah lagi."
"Apa! Kamu nggak bercanda kan?" tanya Sesil memastikan.
Sabrina menggeleng. Mungkin curhat akan membuat dadanya lega, dan bisa melupakan apa yang dialaminya saat ini.
"Mas Mahesa menikah lagi dengan pacarnya, jadi aku memilih tinggal sendiri. Aku nggak mau mengganggu hubungan mereka."
"Ini gila, bagaimana bisa seperti itu, kamu adalah istri pertama, harusnya Mahesa lebih peka?"
Seketika pengunjung yang lain menatap Sesil yang meluapkan emosinya, entah kenapa ucapan Sabrina membuatnya darah tinggi.
"Bisa!" bentak Sabrina seketika.
Takut kedua sahabatnya itu memojokkan dan menyalahkan suaminya.
"Kami menikah atas dasar perjodohan dari Ayah dan Ibu. Ternyata Mas Mahesa tidak bisa mencintaiku, selama kami menikah, dia tidak pernah menyentuhku sekalipun, dia begitu jijik padaku yang sudah kotor ini. Dan kehadiran Camelia membuat Mas Mahesa bahagia, jadi aku memilih untuk pergi." terang Sabrina.
Andaikan waktu itu aku tidak membiarkanmu pergi sendiri, pasti kamu tidak akan seperti ini, lirih hati Arum.
"Ya Allah, Sab."
Sesil kembali merengkuh tubuh Sabrina dengan erat, memberikan sandaran yang nyaman, begitu juga dengan Arum yang tak mengetahui seluk beluk rumah tangga Sabrina dan Mahesa. Keduanya menyesal, selama ini mereka mengira pernikahan Sabrina baik baik saja. Namun tanpa mereka sadari kenyataannya itu berbalik arah.
"Sekarang aku minta bantuan kalian untuk mencarikan rumah." ucap Sabrina ragu.
"Kenapa nggak tinggal di panti saja. Disana banyak orang dan kamu pasti akan merasa tenang."
Sabrina menggeleng, banyak hal yang harus dipikirkan jika ia pulang ke panti. Pasti Bu Yumna akan sedih melihat nasibnya, belum lagi bayinya pasti akan menambah beban disana.
"Aku ingin mandiri bersama anakku sampai kebahagian itu datang menghampiriku."
Sesil mengangguk, gadis itu pun tahu apa yang dirasakan Sabrina, pasti sulit untuk memilih tapi hidup terus berjalan dan harus dihadapi.
"Baiklah, ikut aku!"
Sesil menariik koper milik Sabrina, sedangkan Arum meraih tangan Sabrina menuju motornya.
Setelah beberapa menit menerobos jalanan yang ramai, kini motor Arum dan Sesil berhenti di depan rumah sederhana, bangunannya minimalis dan nampak rapi, apalagi di sekitarnya masih banyak pepohonan yang membuat suasana tempat itu sejuk dan damai.
Setelah memarkirkan motornya ketiga wanita itu berdiri bersejajar dengan tatapan satu arah.
"Ini rumah siapa?" tanya Sabrina seraya menoleh kanan kiri bergantian.
"Ini rumah sewaan," jawab Arum singkat.
"Kamu bisa tinggal disini sampai kapanpun." imbuhnya lagi.
Kata terima kasih saja tidak cukup untuk Sabrina ucapkan. Wanita itu terus tersenyum kala kedua sahabatnya itu menuntunnya masuk kedalam.
Ya Allah, semoga ini adalah awal kebahagiaanku, meskipun tak semewah rumah mas Mahesa, tapi aku harap bisa melewati masa sulitku dalam perlindungan-Mu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Roslia Suhaedi
mungkin anak yg di kandungsabrina anaknya mahesa
2024-12-01
0
Balqis Callista
mungkin kah ayah biologis yg dkndung ank mahesa? yg memperkosa mahesa tp yg mengaku merenggut kesucian nya si ulet bulu?
2024-06-28
0
Cahaya Hayati
pikiran nya dewasa ole keadaan 🤲🤲💪💪❤️❤️
2023-01-23
3