Permulaan yang sangat baik. Meskipun tubuhnya sudah mulai berat, Sabrina mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna, bahkan ibu hamil itu mampu mencuri perhatian pengunjung yang datang, sesekali mereka berpose dengan Sabrina yang terlalu ramah. Penampilan yang sederhana tak menyurutkan kecantikan gadis itu, apalagi mata bulat dengan bulu mata yang lentik hidung mancung menambah keayuan wajah wanita itu.
"Kita pulang!"
Jam sudah menunjukkan empat sore, setelah menjalankan kewajibannya Sabrina segera meraih tas dan keluar dari toko itu bersama Arum.
Setibanya di parkiran motor, Sabrina menarik tangan Arum.
"Apa kamu yang bilang pada Ibu kalau aku pindah rumah?" tanya Sabrina menyelidik.
Arum menggeleng, faktanya ia tak tahu apa-apa.
"Jangan bohong!" desak Sabrina.
Arum terpaksa meletakkan helmnya kembali lalu duduk diatas motor maticnya.
"Aku memang nggak tahu, mungkin saja Sesil yang bilang."
"Mungkin."
Tak mau ambil pusing, toh semuanya sudah terlanjur, Sabrina dan Arum kembali memakai helm.
Sudah tiga hari tinggal sendiri, Sabrina mulai merasa kesepian, apalagi setelah Arum meninggalkan rumahnya, wanita itu tampak gundah. Cuaca begitu mendung, langit sangat gelap gumpalan awan hitam siap menumpahkan airnya. Sabrina menutup semua pintu dan jendela. Dalam kesendiriannya tiba-tiba saja bayangan Mahesa melintasi otaknya.
"Sedang apa kamu sekarang, Mas?" gumam Sabrina.
Sabrina duduk di tepi ranjang mengambil ponselnya dan membuka galeri foto.
Entah kenapa saat melihat gambar sang suami bayi yang ada di perutnya ikut merespon, bahkan tak bisa diam dan terus menendang-nendang hingga Sabrina meringis geli.
"Tenang ya, Nak! Untuk saat ini Ayah tidak bisa bersama kita, tapi Bunda janji, suatu saat nanti Bunda akan mempertemukan kamu dengannya."
Sabrina melihat notif yang ada di ponselnya, ternyata itu sejumlah uang yang masuk dari rekening suaminya.
"Ternyata Mas Mahesa masih mengingatku."
Akhirnya hujan turun juga, suara petir bersahutan dengan angin membuat suasana semakin dingin. Sabrina yang merasa lelah membaringkan tubuhnya sejenak. Mencoba menepis bayangan Mahesa yang semrawut mengganggunya.
Beberapa menit memejamkan matanya Sabrina semakin gusar. Apalagi hujan tak reda juga, akhirnya Sabrina kembali bangun.
"Kenapa harus ada cinta untuk kamu, harusnya aku membencimu mas, aku bukan perempuan yang baik buat kamu, aku hanya membuatmu malu."
Sabrina menumpahkan air matanya. Dadanya meletup letup dan tak sanggup untuk menahan amarahnya. Wanita itu melempar bantal dan selimut ke sembarang arah, ternyata menjerit sedikit bisa melegakan dadanya yang sesak.
"Harus sampai kapan aku seperti ini mas, Hidup dalam bayangan kamu saja. Aku bukan figuran yang hanya bisa dipandang, tapi aku butuh kasih sayang juga."
Setelah puas meluapkan uneg-unegnya, Sabrina menyeka air matanya lalu tersenyum dan kembali menguatkan dirinya demi janin yang dikandungnya.
Melewati malam yang kelam, pagi itu Sabrina lebih terlihat ceria, senyumnya kembali mengembang saat ia berada di dapur, bukan tanpa alasan Sabrina memasak makanan yang spesial dihari yang spesial juga.
"Ini adalah hari ulang tahun Mas Mahesa, aku akan datang ke rumah untuk mengucapkan selamat dan berterima kasih atas uang yang dikirimnya. Meskipun dia membenciku, aku adalah istrinya, tak sepantasnya makmum membalas imamnya."
Tak seperti biasanya, hari ini Sabrina lebih semringah saat keluar dari rumah. Dengan langkah lebarnya Sabrina menggantungkan rantang di tangannya dan kedepan mencari ojek.
Tak lama, langganan ojek datang diwaktu yang tepat, sebelum naik Sabrina melihat alamat yang akan ia tuju.
"Nanti kalau sudah sampai langsung tinggal saja pak, soalnya dekat sama tempat kerja."
"Baik, Neng."
Dalam perjalanan, Sabrina terus mengulas senyum. Jantungnya berdebar debar sampai ia lupa apa yang pernah dilakukan Mahesa padanya.
"Semoga mas Mahesa suka, setidaknya aku masih memenuhi tanggung jawabku."
Sengaja Sabrina berangkat sedikit pagi, takut telat masuk ke toko, apalagi dia adalah pegawai baru. Tak patut jika tak disiplin.
"Disini, Neng?" tanya kang ojek.
Dengan perlahan Sabrina turun dan memastikan tempatnya.
"Iya, Pak, terima kasih." ucapnya.
Sabrina menatap bangunan yang menjulang tinggi, rasa syukur dicurahkan mengingat suaminya adalah pemilik tempat itu.
Ada rasa ragu saat Sabrina mendekati gerbang, banyak karyawan yang keluar masuk di sana. Mereka tampak rapi dengan penampilan masing masing dan terlihat begitu cantik.
"Kira kira mas Mahesa sudah datang belum ya?" bermonolog.
Sabrina kembali melihat jam yang melingkar di tangannya, ternyata itu adalah jam dimana suaminya saat keluar dari rumah, itu artinya sebentar lagi Mahesa sampai.
Akhirnya Sabrina memilih duduk di salah satu kursi di samping halaman kantor.
Asing, mungkin itulah dirinya di mata orang orang yang melintas, buktinya mereka menatapnya dengan tatapan yang tak dimengerti.
Selang beberapa menit, para karyawan yang ada di dalam itu keluar dan berjejer di depan teras. Sabrina beranjak dari duduknya saat melihat mobil yang familiar masuk dari arah gerbang. Senyumnya terbit kala sang sopir keluar dan membukakan pintu belakang.
"Itu mas Mahesa," gumannya.
Sabrina mengambil rantang yang diletakkannya sejenak lalu melangkah mendekati mobil Mahesa.
Namun langkahnya harus berhenti saat para karyawan berhamburan masuk mengikuti Mahesa dari belakang.
Pintu kembali tertutup, Sabrina hanya memanyunkan bibirnya saat melihat punggung suaminya.
"Ibu cari siapa?" tiba tiba suara berat menyapa dari belakang.
Sabrina menoleh menyapa pria berseragam putih itu.
"Aku cari Mas Mahesa, apa aku bisa bertemu dengannya?"
Wajah pria itu tampak lesu menatap penampilan Sabrina dari atas sampai bawah.
"Ibu pembantunya?" tanya nya lagi.
Aku harus bilang apa? nggak mungkin juga aku bilang istrinya.
Akhirnya Sabrina mengangguk. "Mas Mahesa memesan ini," mengangkat rantangnya tepat di depan satpam tersebut.
"Baiklah, silahkan masuk!"
Alhamdulillah
Bagaikan tersiram es, hati Sabrina begitu sejuk saat mendapat izin.
Setelah melewati pintu utama, Sabrina mengedarkan pandangannya menyusuri setiap sudut ruangan yang tampak indah. Berbagai hiasan dipajang melengkapi dinding putih yang kokoh.
"Ibu cari siapa?" lagi lagi suara seseorang mengejutkannya.
Sabrina memutar otaknya. Sebisa mungkin mereka tidak curiga dengan dirinya.
"Pak Randu." jawab Sabrina.
Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya lalu menghubungi sang Asisten.
Tak butuh waktu lama, Randu sudah keluar dari lift dan menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Randu singkat.
"Aku ingin bertemu mas Mahesa," bisik Sabrina. Takut yang lain mendengarnya.
"Ikut aku!"
Atas perintah pria itu Sabrina mengikutinya.
Setelah sampai Randu mengetuk pintu ruangan Mahesa, hatinya sudah mulai berdenyut, apa yang ia saksikan selama ini takut terjadi lagi di tempat itu.
Ceklek
Mahesa menatap Randu lalu beralih ke arah Sabrina yang ada di sampingnya sedikit kebelakang.
"Mau apa kamu kesini?" tanya Mahesa ketus.
Randu menggeser tubuhnya memberi ruang Sabrina untuk bertatap muka dengan Mahesa.
"Aku hanya ingin mengantarkan ini," menyodorkan rantang yang dibawanya. "Selamat ulang tahun dan terima kasih untuk uang yang mas kirimkan semalam." imbuhnya.
Mahesa hanya berdecih lalu menepis rantang yang ada di tangan Sabrina hingga jatuh.
Sabrina menatap makanan yang berserakan di lantai, hatinya terasa sakit melihat kelakuan Mahesa.
"Sekarang kamu pergi! Setiap kali aku melihatmu mataku sakit, jangan pura-pura polos didepanku."
Seketika Mahesa menutup pintunya.
Sabrina menitihkan air matanya, tak menyangka sikap Mahesa akan sekejam itu padanya.
"Aku akan antar kamu pulang, untuk hari ini jangan bekerja dulu!"
Sabrina menyeka air matanya dan terpaksa meninggalkan tempat itu bersama Randu.
Kapan kamu bersikap baik padaku mas, seburuk apapun aku adalah istri kamu. Batin Sabrina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Jamaliah
pergi yang jauh Sabrina biar Mahesa tau rasa😭😭😭😭😭😭
2024-06-11
1
Nethy Sunny
udahlah sabrina kamu g ada kewajiban berbakti sama suami kaya gitu minim akhlak 😤
2024-04-28
0
tri kutmiati
mau maunya sdh tau suami ky gitu....
2024-02-03
0