Namaku Amarul Ihsan, kalian bisa memanggilku Amar, begitulah teman-temanku memanggilku, aku adalah seorang siswa yang duduk di bangku kelas tiga SMP. Aku memiliki sesuatu yang lebih dibandingkan dengan orang lain. Ya... aku dapat menganalisa sebuah perkara dan mengambil keputusan dengan sangat cepat dan tepat.
Aku bukannya menganggap diriku istimewa karena bisa melakukan hal itu. hanya saja, aku cukup terbantu dengan adanya kemampuan itu. Karena kemampuan itu juga, aku sering menyendiri di dalam kelas untuk mengamati setiap aktifitas yang dilakukan teman-temanku.
Dan satu hal yang ingin aku ingatkan kepada kalian semua.
Aku bukanlah seorang yang anti sosial!
Aku memiliki banyak teman di sekolah ini, bukan hanya Riki dan Maul saja yang menjadi temanku. Aku selalu menjaga status sosialku dengan yang lainnya. Aku tidak mau dianggap sebagai orang yang anti sosial dan tidak mempunyai teman.
Jangan bercanda!
Orang yang tidak memiliki teman selama di sekolah jauh lebih bodoh dibandingkan orang yang termakan oleh cinta. Karena koneksi dan informasi itu jauh lebih penting dibandingkan apa pun.
“Ar! Apa dari tadi kamu melamun?”
Seorang perempuan cantik dengan seragam batiknya sedang berada di depanku dengan membawa beberapa buku di tangannya.
“...Tidak, aku hanya sedang memikirkan sesuatu saja.”
Aku berjalan di lorong bersama dengannya sambil membawa sebuah kardus yang tidak terlalu besar namun berat.
“Heee... apa yang kamu pikirkan di pagi hari seperti ini?”
Wanita yang sedang ada di depanku ini adalah Rina. Dia adalah teman sekelasku sekaligus primadona yang ada di sekolahku. Banyak sekali laki-laki di sekolahku yang mengincarnya untuk dijadikan pacar. Tapi dia sering sekali menolak siapa saja yang menembaknya, aku tidak tau mengapa dia bisa berbuat seperti itu.
“Tidak ada.”
Alasan mengapa aku bisa bersama dengannya karena aku di suruh oleh wali kelasku untuk mengambil buku yang nanti akan menjadi panduan untuk ujian praktik.
Aku malas mengakui hal ini, tapi aku adalah seorang wakil ketua kelas, sedangkan Rina adalah ketua kelas.
Alasan mengapa aku bisa menjadi wakil ketua kelas karena tidak ada yang mau menjadi wakil ketua kelas soalnya hal itu merepotkan, dan wali kelasku mengundinya dengan mencocokan nomor absen dan tanggal pada saat itu. Dan terpilihlah aku menjadi wakil ketua kelas.
Ini sangat merepotkan! Aku ingin cepat kembali ke kelas dan bermain bersama teman sebangkuku.
“Ngomong-ngomong bagaimana persiapanmu untuk ujian nanti?”
“Seperti biasa... belajar, mencari materi di internet, dan merangkum pelajaran di kelas.”
“Ternyata usahamu lebih keras dibandingkan kelihatannya ya.”
Rina melihat ke arahku dengan heran, sepertinya dia mengira kalau aku bukanlah seorang yang rajin. Dia tidak salah, aku memang tidak serajin yang kalian pikirkan. Hanya saja saat ini aku sedang mengincar rekomendasi supaya aku tidak perlu belajar lagi untuk masuk ke SMA.
“Itu tidaklah besar seperti yang kau kira.”
Ahh... aku ingin sekali duduk di kursiku.
“...Hei, apa pulang sekolah nanti kamu kosong?”
Aku merasakan firasat yang tidak mengenakan dari pertanyaan ini. Terakhir kali aku mendengarnya, aku berakhir dengan sesuatu yang merepotkan.
“Memangnya ada apa?”
“Kalau kamu tidak ada acara, maukah kamu menemaniku ke toko buku? Aku butuh beberapa buku referensi untuk ujian praktik bahasa Indonesia nanti.”
Ini gawat, aku tidak bisa menolak tawaran yang satu ini. Karena aku satu kelompok dengannya di ujian praktik bahasa Indonesia dan ujian praktik itu menyuruh kami untuk membuat sebuah novel. Kalau aku menolaknya, mungkin aku akan disuruh membantu lebih untuk membuat alur ceritanya.
“Memangnya anggota yang lain kemana?”
“Mereka sedang ada urusan masing-masing.”
Apa hanya aku saja yang terlihat menganggur di sini? Sepertinya tidak ada pilihan lain.
“...Baiklah, sepertinya aku akan menemanimu.”
“Benarkah! Terima kasih Ar.”
Rina senang sekali mendengar hal itu, tapi aku hanya bisa memikirkan sesuatu yang merepotkan akan segera terjadi. Apa sebaiknya aku menolaknya saja?
Semoga nanti tidak terjadi apa-apa.
***
“Huh...”
Aku meletakan kepalaku di atas meja kantin. Dengan wajah penat, aku berusaha menghilangkan pikiran buruk sepulang sekolah nanti.
“Ada apa?”
Seorang lelaki dengan tubuh tegap dan menggunakan kacamata berada di depanku dengan memegang sebuah sendok di tangan kanannya. Dia adalah Maulana alias Maul, seseorang yang sangat ahli dalam bidang komputer, bahkan guru di sekolahku mengakui kemampuannya dalam bidang itu.
Saat ini dia sedang menyantap nasi goreng yang dibelinya menggunakan uangku. Sebab kemarin aku sudah berjanji ingin mentraktirnya atas apa yang dia lakukan saat membantuku menolong Miyuki.
“Aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang merepotkan.”
“Apa kau baru saja mendapatkan sebuah masalah?”
“Yup, masalah yang sangat besar.”
“Apa itu?”
“Sepulang sekolah nanti aku harus menemani Rina ke toko buku.”
“Bukankah itu bagus, menemani seorang wanita cantik yang jadi rebutan siswa sekolah ini.”
Maul tidak menunjukan rasa prihatinnya sama sekali. Harusnya di saat seperti ini, kau memberikanku masukan-masukan atau dorongan agar aku menjadi lebih bersemangat. Dasar cowok yang tidak peka.
“Tapi kau tau sendiri, aku yang mengusulkan perjanjian bersama itu.”
“Kau benar juga.”
Aku tidak membayangkan ketika harus berhadapan dengan siswa yang ada di sekolah ini jika mereka mengetahui kalau aku pergi bersama dengan Rina.
Sebelumnya aku sudah mengatakan kepada kalian kalau Rina akan menolak semua lelaki yang menembaknya. Hal itu pun membuat para laki-laki di sekolahku membuat kesepakatan untuk menjadikan Rina sebagai “Wanita bersama”.
Mungkin ini terdengar kasar dari perkataanku tadi. Tapi yang dimaksud “Wanita bersama” di sini adalah semua laki-laki yang ada di sekolaku bebas untuk dekat dengan Rina hanya saja tidak boleh lebih dari itu.
Dan mereka pun membuat beberapa peraturan yang tidak boleh dilakukan. Salah satunya adalah tidak boleh pulang bersama dengannya atau pergi bersamanya.
Lalu yang membuatnya jadi masalah karena akulah orang yang mengusulkan hal itu.
Mungkin ini akan sedikit lama, tapi aku akan menceritakan kepada kalian mengapa hal itu bisa terjadi.
***
Dua tahun yang lalu...
“Amar!”
Dengan wajah sedih Rina menghampiriku yang sedang menyusun laporan kehadiran kelas untuk wali kelasku di dalam kelas. Padahal saat itu sedang istirahat dan semua teman sekelasku sudah pada pergi ke kantin atau ke lapangan, dan hanya aku saja yang masih tersisa di kelas.
“Habis dari mana kau? Harusnya ini menjadi tugasmu.”
Aku kesal sekali harus mengurusi laporan ini sendirian, padahal aku ada janji dengan Riki dan Maul untuk berkumpul di kantin.
“Aku lelah sekali setiap hari harus meladeni laki-laki di sekolah ini.”
“...”
“Hei... apa kamu mendengarkanku?”
Rina melipat tangannya di atas mejaku dan memasang muka cemberutnya tepat di hadapanku. Itu sangat mengganggu pekerjaanku saat ini.
“Haah... kenapa kau tidak menerima satu laki-laki untuk menjadi pacarmu. Dengan begitu mereka tidak akan mengejarmu lagi.”
“Itu ide bagus!”
Dia ceria kembali. Cepat sekali berubah suasana hatinya. Aku memang tidak pernah mengerti isi hati dari wanita.
“...Bagaimana kalau kamu yang menjadi pacarku?...Tentu hanya pura-pura saja.”
“Itu adalah ide yang paling buruk, lebih baik kau cari laki-laki lain saja.”
Apa dia lupa kalau aku ini tidak mau berurusan dengan yang namanya pacaran? Untuk apa dia mengajukan ide bodoh itu?
“Ayolah Amar, kamu bantu aku.”
“Dari pada kau mengeluh dari tadi, lebih baik kau membantuku mengurus laporan ini. Seharusnya ini menjadi tugasmu!”
Aku memberikan tumpukan kertas yang awalnya berada di sampingku ke hadapannya Rina.
“Kamu mah tidak asik.”
Dia pun mulai membantuku mengerjakan laporan itu, walaupun wajahnya masih cemberut seperti itu.
Mungkin tidak ada salahnya jika aku membantunya.
“Baiklah! ...Aku akan membantumu.”
Rina langsung menatapku dengan mata berbinar-binar dan mengambil kedua tanganku kemudian dia tersenyum.
“Aku sangat berterima kasih sekali.”
“Lepaskan tanganku.”
Aku menarik tanganku dengan paksa.
Jadi, bagaimana aku akan membuat para laki-laki itu menjauhinya?
Kalau bukan karena kasihan melihatnya, aku tidak mau melakukan hal ini.
Sepertinya cara satu-satunya hanya itu saja.
“Aku sudah mendapatkan sebuah ide.”
“Heh! Apa itu?”
Rina sontak mendekatkan tubuhnya ke arahku dan wajah kami tidak lebih berjarak antara sejengkal tanganku. Itu adalah pertama kalinya aku berada di jarak yang sangat dekat dengan wanita.
Dekat sekali, aku tidak bisa tenang jika dia sedekat ini.
“Bisakah kau menjauh sedikit, kau terlalu dekat.”
Rina pun menjauhkan dirinya dariku seperti posisi semula.
“Jadi apa rencanamu?”
“Untuk sementara waktu, aku akan berpura-pura menjadi pacarmu.”
Dia langsung tersenyum dan menatapku dengan tatapan yang membuatku menjadi kesal melihat senyumannya itu.
“..Padahal kamu sempat menolaknya tadi, tapi akhirnya dipakai juga usulanku... Bilang saja kamu memang mau melakukan itu.. Dasar tidak bisa jujur.”
“Diamlah... Aku melakukan itu tidak untuk selamanya, hanya untuk sementara waktu saja.”
“Heee...”
Rina langsung merasa kecewa.
“Sudahlah, mulai dari sekarang aku akan menjadi pacar pura-puramu.”
“Mohon bantuannya, tuan yang tidak bisa jujur.”
Dan aku pun memulai kehidupan sekolah dengan mencoba merasakan apa yang namanya cinta, walaupun itu hanya pura-pura.
***
Satu minggu pun telah berlalu.
“Mar! Aku mendengar dari teman sekelasku, kalau sekarang kau berpacaran dengan Rina. Apa itu benar?”
Riki yang baru datang ke kantin langsung membuat suasana di sana menjadi ramai karena para siswa mulai melihat ke arahku.
“Yup.”
“Heee... Jadi kau mulai suka dengan yang namanya pacaran? Aku kira kau tidak akan termakan dengan yang namanya cinta.”
Maul yang tidak mengetahui apa-apa juga mulai mengolok-olokku.
Aku memang sengaja tidak memberitahu mereka untuk kelancaran dari rencanaku. Aku tidak mau rencanaku ini sampai diketahui oleh siapa pun.
“Ahh.. enak sekali ya punya pacar yang sangat cantik.”
Riki mulai terlihat putus asa, dia meletakan kepalanya di atas meja kantin dengan tatapan kosong di matanya.
Lalu Rina pun tiba di kantin dan menghampiriku.
“Kamu udah makan Ar?”
“Sudah.”
“... Ohh begitu, tadinya aku ingin mengajakmu untuk makan bersama. Tapi kalau kamu sudah makan ya sudah... Aku pergi dulu dengan teman-temanku ya.”
Kemudian Rina pun pergi bersama dengan teman-temannya sambil melambaikan tangan ke arahku. Semua laki-laki yang ada di sana mulai menatapku dengan sinis dan dari belakang mereka muncul tulisan “Bunuh”. OK… Itu hanya bercanda.
“Walaupun sudah menjadi pacarnya kau masih saja dingin ya.”
“Mau bagaimana lagi Mul, memang seperti inilah sifatku.”
“Aku kira kau akan melunak jika sudah memiliki pacar.”
“Itu tidak mungkin.”
“Enak sekali ya punya pacar, aku ingin sekali memilikinya.”
Riki masih terlihat putus asa seperti sebelumnya. Kali ini dia memutarkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Tapi sepertinya kau menyembunyikan sesuatu di sini.”
Maul mulai melirik ke arahku dan dari tatapannya terlihat bahwa dia sudah mengetahui apa yang sedang aku lakukan.
“Seperti yang aku harapkan dari seseorang hacker, kau pasti sudah menyadari sesuatu ya?”
“Walaupun tidak semua, tapi setidaknya aku sudah mengetahui gambaran besarnya.”
“Apa yang kalian berdua bicarakan?”
Suasana hati Riki kembali membaik dan mulai tertarik dengan pembicaraan kita saat ini.
“Sebentar lagi aku akan membutuhkan bantuanmu Rik.”
“...?”
Kemudian sekelompok laki-laki mulai berdatangan ke meja tempat sekarang aku duduk. Aura permusuhan mulai memancar dari mereka.
Aku rasa inilah saatnya.
“Bisa kau ikut dengan kami?”
Seseorang lelaki berbadan besar menatapku dengan sangat tajam. Tangannya sangat besar dan kalau dilihat dari postur badannya, sepertinya dia adalah anak kelas tiga.
Sebenarnya ini bagian paling merepotkan dari rencana ini.
“Bagaimana jika aku menolak?”
“Kamu akan tau akibatnya.”
“Aku akan ikut kalian dengan syarat... kedua temanku ini harus ikut juga.”
Aku merangkul Maul yang ada di sampingku dan menunjuk Riki yang berada di hadapanku. Mereka berdua terkejut dan mencoba untuk melarikan diri.
“Baiklah kalau begitu.”
“Hei... mengapa kau menyeretku ke dalam masalah yang kau perbuat?”
Dengan wajah pucat Maul berusaha untuk melepaskan dirinya dari rangkulanku.
“Karena kau sudah mengetahui rencanaku, setidaknya kau harus melihatnya sampai akhir.”
“Aku tidak mau, lebih baik aku kembali ke kelas sekarang.”
“Hee... tidak akan terjadi apa-apa kok di sana.”
“Itu tidak mungkin Mar, kau tidak melihat tatapan membunuh dari mereka. Mata mereka bagaikan sekumpulan Hiena yang sedang melihat bangkai.”
Maul hanya berimajinasi tentang hal itu, kalian tenang saja.
“Tenang saja, lagi pula Riki ada bersama kita.”
“Sepertinya aku tidak bisa melarikan diri darimu.”
Maul pun menghela nafas dengan panjang, dia pun akhirnya memutuskan untuk ikut bersama denganku.
***
“Bagaimana kalau di sini saja?”
Kami pun sudah sampai di halaman belakang sekolah. Biasanya tempat ini dipakai siswa untuk berkelahi atau untuk menembak seseorang. Tapi akhir-akhir ini tempat ini menjadi kosong karena ketatnya guru BK saat ini.
“Sepertinya kau orang yang tidak sabaran ya.”
“Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meledeni kalian. Katakan apa yang ingin kalian sampaikan.”
Aku berusaha bersikap tenang saat itu, karena aku biasa terlibat dengan perkelahian jadi hal seperti ini tidak akan membuatku takut sedikit pun.
“Aku ingin kau putus dengan Rina sekarang juga.”
“Untuk apa aku harus melakukan itu? Apa keuntungannya bagiku?”
“Kalau kau tidak mau, kami akan memukulimu sekaligus teman-temanmu di sini.”
Lelaki besar itu mulai meregangkan jari-jarinya dan memasang kuda-kuda yang sempurna tepat di depanku. Aku rasa dia adalah seseorang yang memiliki kemampuan bela diri yang hebat.
“Ayo kita buat kesepakatan.”
Aku menatap mereka dengan tatapan tajam.
“Kesepakatan katamu?”
“Iya, aku akan memutuskan Rina seperti yang kalian mau tapi itu tidak cuma-cuma.”
“Maksudmu?”
“Kita buat Rina itu sebagai wanita bersama.”
Apakah aku terlalu kejam ketika mengatakan ini?
“Kalian semua boleh dekat dengan Rina, tapi tidak ada satu pun dari kita yang boleh menjadikan dia pacar. Dan juga ada beberapa persyaratan yang tidak boleh dilakukan.”
Aku pun mengeluarkan kertas dari sakuku dan melemparkan kertas itu ke hadapan mereka. Kertas itu berisikan persyaratan apa saja yang tidak boleh mereka lakukan. Dan lelaki besar itu mengambil kertas itu.
“...Apa ini? ...Apa kau pikir kami akan mengikuti perintahmu, jangan sombong kau anak kelas satu.”
Lelaki besar itu merobek kertas itu menjadi bagian-bagian kecil.
“Padahal aku ingin melalui ini tanpa kekerasan, tapi kalian sendiri yang memintanya.”
Aku pun memetik jariku.
Tanpa perlu memberi arahan, Riki langsung maju ke depanku untuk menghadapi mereka.
“Setelah ini kau harus menjelaskan semuanya kepadaku Mar.”
“Tentu, itu pun kalau kita tidak masuk ke ruang BK.”
“Serahkan kepadaku.”
Dengan semangat yang membara, Riki pun menghantam kedua tangannya dan memasang kuda-kudanya juga.
“Kalau untuk itu sepertinya kau tenang saja Mar.”
Maul yang sebelumnya hanya berdiam diri di belakangku sekarang melangkah maju ke depan berdiri di sampingku.
“Ada apa Mul?”
“Hari ini guru BK sedang tidak masuk karena sakit.”
“Dari mana kau tau?”
“Hari ini kelasku ada pelajaran BK... Apa kita biarkan Riki saja yang berkelahi?”
“Yup... Biarkan dia mengamuk sepuasnya.”
Walaupun terlihat mustahil tapi itulah yang terjadi. Saat itu Riki akan bertarung dengan enam siswa kelas tiga yang sepertinya berada di klub bela diri taekwondo yang ada di sekolahku.
“Apa kita perlu membantu?”
“Tidak perlu, aku saja sudah cukup... Aku harus memberi pelajaran kepada anak kelas satu yang menyebalkan ini.”
Wajah lelaki itu makin memerah seiring meningkatnya emosi yang ada di dalam dirinya.
“Apa kau yakin tidak mau meminta bantuan temanmu?”
Aku berusaha memancing amarahnya keluar lagi.
“Jangan sombong kau anak kelas satu! Aku saja sudah cukup untuk memberi pelajaran kepada kalian.”
Orang sepertinya memang mudah untuk terprovokasi.
“Apa perintahmu Mar?”
Aura Riki sudah berubah dibanding sebelumnya, kali ini dia terlihat seperti elang yang sudah melihat mangsanya. Dia tenang dan fokus terhadap musuh yang ada di depannya.
“Habisi dia.”
“Baiklah!”
Riki pun mulai berlari mendekati Lelaki besar tersebut dengan sangat cepat.
“Cepatnya!”
Lelaki besar itu tidak sempat membuat jarak dengan Riki untuk mengeluarkan jurus bela dirinya. Riki pun memegang kerah lelaki itu dengan kuat dan membantingnya dengan menjegal kedua kakinya.
Pria itu pun pingsan seketika ketika punggungnya membentur tanah dengan sangat kuat.
“Bagaimana Riki bisa sekuat itu?!”
Maul yang tidak pernah melihat Riki bertarung sekali pun terlihat sangat terkejut. Bahkan aku sempat melihat tangannya bergetar karena ketakutan.
“Tentu saja, kalau dia tidak sekuat itu, aku tidak mungkin mengajakmu ke sini.”
Aku pun berjalan untuk menghampiri Riki.
“Kerja bagus sobat.”
Kelima teman dari lelaki itu terlihat ketakutan setelah melihat temannya dibanting oleh Riki. Tentu saja itu dapat membuat mereka ketakutan, karena ukuran tubuh Riki lebih kecil dibandingkan lelaki itu tapi dia dapat membantingnya dengan mudah.
“Bagaimana... Apa kalian masih mau melawan?”
“B..Baiklah, kami akan mengikuti permintaanmu.”
“Sebarkan berita ini ke seluruh laki-laki yang ada di sekolah ini, kalian sudah tau apa akibatnya jika melanggar.”
Dan mereka pun pergi dengan terbirit-birit sambil membawa temannya yang masih pingsan setelah dibanting oleh Riki.
“Akhirnya selesai juga!”
Aku meregangkan kedua tanganku ke atas.
Kehidupanku yang penuh dengan kedamaian, aku datang!
“Kau harus menjelaskan semuanya kepadaku Mar.”
“Dari mana aku harus menceritakan semuanya ya...”
Aku menatap langit biru yang sangat terik. Aku pun menghalangi sinar matahari dengan tangan kananku agar aku bisa melihat awan dan burung yang sedang berterbangan.
Dan semenjak itu rencana untuk menjadikan Rina sebagai “Wanita bersama” berjalan dengan lancar. Dan juga Riki tiba-tiba memegang kendali penuh atas kekuasaan para siswa mulai dari kelas satu sampai kelas tiga, sepertinya orang yang waktu itu dibanting oleh Riki adalah pemimpin dari sekolah ini.
***
“Aku sudah menepati janjiku, jadi cukup sampai sini bermain pacar pura-puranya.”
Aku pun mengakhiri sandiwara yang selama ini telah aku mainkan bersama dengan Rina.
“Begitu ya! Sayang sekali kalau ini sangat berakhir.. Padahal itu sangat menyenangkan.”
Ekspresi kecewa sangat terlihat di wajah Rina saat ini. Seakan dia tidak mau mengakhiri ini. Tapi aku tidak mau jika harus melakukan hal merepotkan ini terus menerus. Seminggu saja sudah terasa lama bagiku.
“Tapi apakah aku boleh memanggilmu Ar seperti biasanya?”
“Terserah.”
Lagi pula aku tidak begitu mempedulikan sebuah panggilan.
Karena... itu hanyalah sebuah panggilan.
-End Chapter 4-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments