Hari ini adalah hari pertama ujian praktik. Mata pelajaran yang diujikan di hari pertama ini adalah olahraga dan fisika. Di pelajaran olahraga, salah satu cabang olahraga yang diujikan adalah bola basket. Bukannya aku mau menyombongkan diriku kepada kalian, tapi aku lumayan jago dalam hal memainkan bola basket.
“Ayo cepat masukkan bolanya.”
Para perempuan dari kelasku mulai menyoraki kami yang sedang bermain di lapangan.
Jadi penilainnya diambil berdasarkan kemampuan kami dalam bermain sebagai tim. Memang penilaian seperti ini sangatlah menguntungkan bagi seseorang yang kurang mahir dalam bermain basket, karena pemain lain dapat menutupi kekurangannya itu.
Tapi hal itu sangat merugikan bagiku saat ini. Karena saat ini tidak ada satu pun dari teman satu timku yang mengoper bolanya kepadaku. Jadi saat ini aku hanya berlari bolak-balik ke seluruh lapangan tanpa mendapatkan bola sama sekali.
Ini tidak bisa dibiarkan, kalau seperti ini terus nilaiku bisa kurang.
Memang aku bilang kalau kekurangan kita dapat ditutupi oleh teman satu tim, tapi kalau terlihat tidak berguna dalam tim juga akan mengurangi nilai.
Akhirnya aku pun berinisiatif untuk merebut bola itu dari lawan seorang diri. Setelah mencetak beberapa skor dengan tanganku sendiri, aku membiarkan mereka bermain sesuka mereka. Lagi pula aku tidak mengejar nilai yang tinggi juga.
Dan jam ujian praktik olahraga pun habis. Seluruh teman sekelasku sedang berada di lapangan untuk beristirahat sebelum pergi ke kelas.
“Lihatlah dia, berlaga sok jago ketika bermain basket.”
“Iya, padahal kemampuannya tidak sebanding denganku.”
Tong kosong nyaring bunyinya, seperti itulah pecundang yang menyembunyikan kelemahannya.
Karena saat itu aku tidak memiliki teman untuk diajak bicara, aku pun pergi ke kelas terlebih dahulu untuk mengganti bajuku. Dari pada aku di sana dan hanya diam saja seperti orang bodoh, lebih baik aku ke kelas saja.
Setelah mengambil baju salinku di dalam kelas, aku langsung pergi ke kamar kecil untuk mengganti bajunya di sana.
Ah ya, aku lupa memberitahu kepada kalian. Rumor tentangku sekarang bertambah buruk setelah kejadian kemarin di halaman belakang sekolah. Di rumor itu dikatakan kalau aku berkelahi di belakang sekolah dengan laki-laki yang berusaha membela Kirana.
Sepertinya kalau aku biarkan sampai besok, rumornya akan makin bertambah buruk saja. Apa aku akhiri saja hari ini? Tapi aku tidak memiliki bukti untuk menuduh siapa pelakunya. Aku harus banyak bersabar saja.
Oke.. Oke… Aku akan mengurutkan semua bukti yang sudah aku dapat selama ini.
Pertama, menggunakan Kirana untuk mengendalikan Riki.
Kedua, dia memiliki kuasa penuh untuk membuat Kirana tunduk kepadanya.
Ketiga, dia memiliki pengaruh yang tinggi di sekolah ini setelah Riki.
Ini sangat sulit, aku tidak dapat memikirkan nama orang yang pas dari ketiga petujuk itu, dan juga aku kurang mengenal murid kelas satu dan dua. Mumpung jam selanjutnya masih lama, lebih baik aku bersantai terlebih dulu di kamar kecil ini. Lagi pula jika aku kembali ke kelas yang ada malah teman-temanku akan menghujatku.
***
“Itu dia pelakunya.”
“Kejam sekali.”
“Beraninya dia melakukan hal ini kepada Rina.”
Saat ini, seluruh temanku sedang menatap ke arahku dengan tatapan sinis mereka. Sepertinya tidak cocok jika aku menyebut mereka teman di saat seperti ini, akan aku sebut mereka sebagai “Figuran”.
Kemudian mataku tertuju kepada meja Rina yang di atasnya sangat berantakan sekali.
Tunggu, Apa itu sabun? Ada buah-buahan juga!
Jangan-jangan yang ada di atas mejanya itu adalah bahan-bahan yang akan digunakan untuk ujian praktik fisika nanti.
Jadi pada ujian fisika ini, para murid di suruh mencari mana benda yang memiliki kandungan asam, basa, dan netral dari beberapa barang yang sudah dipilihkan oleh guru fisikaku dengan menggunakan kertas lakmus, dan beberapa bahan itu ada seperti sabun mandi, sampo,dan beberapa buah-buahan.
Aku melihat dengan jelas kalau semua bahan-bahan itu tercampur menjadi satu di atas meja Rina sekarang.
Siapa yang melakukan hal ini? Bukankah itu kejam.
Dan aku melihat sebuah tulisan yang terbuat dari campuran bahan itu yang tertulis “Aku tidak akan mau denganmu, dasar buruk.”
“Aku yakin yang melakukan ini pasti Amar.”
Rendi mulai berorasi di depan teman-temannya.
“Karena tidak ada orang yang pergi ke kelas ini terlebih dulu sebelum Amar.”
“Rendi benar.”
“Pasti Amar pelakunya.”
“Kejam sekali dia melakukan ini terhadap Rina.”
“Mentang-mendang Rina menyukainya, dia bisa bertindak seenaknya.”
Pandangan “Figuran” semakin sinis dan tajam kepadaku. Mereka melihatku sudah seperti sampah saja.
“Tidak, pasti ini bukan perbuatannya Ar. Hentikanlah kalian semua.”
Rina masih membelaku seperti biasa.
“Sadarlah Rina, kau sudah dibutakan oleh cinta. Amar itu bukanlah lelaki yang baik.”
Ya dia benar, aku bukanlah lelaki yang baik.
“Tapi aku yakin kalau Ar bukanlah pelakunya.”
“Sudahlah Rina, kau diam saja.”
Ketika itu aku merasakan sesuatu di dalam diriku yang mencoba untuk mengambil alih kesadaranku.
Apa ini emosi? Buat apa aku emosi di saat seperti ini. Hal ini yang dirugikan bukanlah aku. Selain itu membela diri pun juga percuma menurutku.
Apa saja yang akan aku katakan pasti akan mereka tolak mentah-mentah. Sebenarnya bersikap biasa saja sudah cukup untuk menyelesaikan masalah ini, lagi pula aku tidak peduli dengan hujatan yang mereka lontarkan terhadapku.
Tapi aku tidak bisa membiarkan Rina seperti ini saja.
Aku tau kalau saat ini kami semua membawa bahan-bahan yang cukup untuk diri kami sendiri, jadi kami
tidak mungkin membaginya dengan Rina. Jika kita ingin membelinya di luar sekolah, itu sangatlah mustahil.
Kalau untuk sabun mandi dan sampo mungkin bisa kami temukan di warung yang ada di depan sekolah, tapi untuk buah-buahan akan sangat susah, karena sekolahku sangat jauh dengan pasar, tukang sayur, atau apa pun itu yang menjual buah-buahan.
Sebenarnya aku sudah menemukan cara menyelesaikan masalah ini, dengan memberikan barang milikku kepadanya.
Tapi itu bukanlah caraku untuk menyelesaikan masalah ini. Setidaknya aku ingin mengungkapkan siapakah pelakunya.
Semakin dalam aku memikirkannya semakin kosong juga pikiranku di buatnya. Suara hujatan dari “Figuran” mulai tidak terdengar lagi di telingaku. Kegelapan pun mulai menyelimuti pikiranku saat itu.
Dan yang aku pikirkan hanyalah satu.
Aku harus membalas mereka, tidak mungkin aku membiarkan hal ini begitu saja.
Bagiku, hujatan dari orang-orang yang ada di sekelilingku sebenarnya tidaklah berguna dan aku siap menerimanya kapan saja dan dimana saja, karena itu sama sekali tidak berefek kepadaku, dan jika kalian ingin mencelakaiku dengan kekuatan fisik kalian kepadaku juga tidak menjadi masalah untukku.
Hanya saja…
Jika kalian mulai menggunakan orang yang tidak bersalah untuk melampiaskan kemarahan kalian kepadaku. Aku tidak bisa membiarkannya.
Aku langsung berjalan menuju ke arah Rendi yang sedang memprovokasi teman-teman sekelasku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menarik kerah Rendi dengan sangat kencang.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau menuduhku?! Aku bukanlah orang yang melakukan hal itu, aku tidak tau apa-apa.”
Dia terlihat ketakutan sekali, tangannya gemetar dengan sangat kuat ketika berusaha melepaskan cengkeraman tanganku.
“...Aku tidak peduli siapa yang melakukannya… Tapi sepertinya kau senang sekali saat ini. Lagi pula aku belum bertanya kalau aku menuduhmu.”
Kalau dilihat dari sikapnya, sepertinya memang dia yang melakukan hal ini. Kalau seandainya dia tidak bersalah, seharusnya dia tidak akan sepanik ini.
“HAAAA… Kalian berdua tolong aku.”
Dia pun merengek kepada kedua temannya. Izul dan Zaki pun mulai bergerak untuk menghentikanku.
Kedua temannya pun berusaha menolongnya, mereka berdua mendekatiku dari kedua arah, namun ketika mereka berdua mencapai jangkauan tanganku, aku langsung menarik dasi Izul yang berada di kiriku.
Dia pun tertarik dan lehernya tercekik oleh dasinya sendiri. Kemudian aku menendang Zaki tepat di tulang keringnya dan melempar Rendi ke arahnya. Mereka pun jatuh saling bertindihan.
Suasana di kelas menjadi tegang dan seluruh murid memperhatikan apa yang telah aku lakukan, bahkan bukan hanya dari kelasku saja yang memperhatikannya, dari kelas lain pun juga turut menyaksikan kejadian itu.
Ah… Semuanya sudah terlalu gelap, sayang jika hanya aku hentikan di sini, mengapa tidak sekalian saja.
Tangan kananku sudah siap untuk mengarahkan tinjuan keras kepada Izul yang masih terlilit dasinya sendiri.
Izul masih berusaha melepaskan dasi dari lehernya, namun aku menarik dasi itu dengan sangat kencang hingga dia terlilit dengan sangat kuat. Bahkan dia sesekali batuk karena kuatnya lilitan di lehernya.
“Apa kau mau memberitahu siapa yang menyuruhmu melakukan ini?”
“A-apa yang kau bicarakan?”
Suaranya tidak terdengar jelas karena lilitan dasi membuatnya sulit untuk berbicara, aku pun mengendurkannya sedikit.
“Aku tau kalau kau disuruh oleh seseorang untuk melakukan ini, tidak mungkin kalau kau berani melakukan hal ini sendiri.”
Aku melihat mata Izul yang melirik ke arah kerumunan yang ada di luar kelas.
“Cepat katakan siapa yang menyuruhmu?”
Tapi Izul masih tetap tidak mau memberitahuku siapa orang yang menyuruhnya.
“Baiklah kalau itu maumu.”
Ketika aku hendak menghempaskan pukulan yang amat keras, tangan kananku pun di tahan oleh seseorang.
Saat itu aku tidak dapat melihat dan mengetahui siapa dia, saat ini pandanganku sangat gelap,
bahkan semua orang yang aku lihat saat ini sama semua, tidak ada yang berbeda, wajah mereka hitam gelap dengan mata merah menyala. Namun yang aku tau saat itu, tangan yang menahanku saat ini adalah tangan dari seseorang yang sangat baik, tangannya sangat hangat sampai-sampai panasnya dapat aku rasakan.
“Hentikan ini Ar.”
Suara kecil Rina mulai berbisik dari belakangku.
Tapi hal itu tidak dapat mengeluarkanku dari kegelapan ini. Aku sudah terjatuh lebih dalam dibanding sebelumnya, kebencian yang selama ini aku tahan sudah kembali menyelimutiku.
Tidak biasanya aku bersikap seperti ini. Biasanya aku lebih cenderung menggunakan akal sehatku dibandingkan tindakan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, kadang ada kalanya sesuatu itu harus diselesaikan dengan cara seperti ini.
“Lepaskan itu Ar.”
Walaupun tidak banyak yang berubah, tapi suara Rina sedikit demi sedikit membuat pikiranku kembali seperti semula.
Perlahan aku mulai melepaskan gengamanku dari dasi Rudi. Pandanganku pun mulai kembali seperti sebelumnya perlahan demi perlahan, aku dapat melihat seluruh murid yang menatapku dengan penuh ketakutan. Aku juga melihat Riki dan Maul yang melihatku dari luar kelas.
“Ada apa ribut-ribut ini?”
Ahh.. Aku berulah lagi, bagaimana aku menjelaskannya kepada orang tuaku. Tidak mungkin aku gagal di sini kan?
Aku melihat guru BK masuk ke dalam kelasku, saat itu seluruh murid langsung bubar menuju ke kelasnya masing-masing.
“Apa yang kau lakukan Amar?!”
Guru BK langsung memeriksa keadaan Rendi, Izul, dan Zaki.
“Kau ikut Bapak ke ruang BK sekarang!”
“Biar aku ikut Pak.”
Rina mengajukan diri kepada guru BK.
“Untuk apa?”
“Aku akan menjelaskan kepada Bapak apa yang sebenarnya terjadi.”
Awalnya guru BK ragu untuk membawa Rina ke ruang BK, tapi karena memang kejadian ini memerlukan sebuah saksi yang tidak memihak kedua belah pikah, jadi Rina pun bisa ikut ke ruang BK. Hal itu juga ditambah reputasi Rina yang terkenal baik dikalangan guru-guru.
Dan kami pun menuju ruang BK dan meninggalakan kelas dengan keadaan menegangkan. Pandangan seluruh murid kepadaku sekarang sudah berubah, yah walaupun berubahnya bukan ke arah yang lebih baik. Kalau dulu mereka memandangku dengan tatapan yang meremehkanku, sekarang mereka terlihat sangat takut kepadaku.
Saat di ruang BK, Rina pun menjelaskan semua kejadiannya kepada guru BK. Mulai dari saat dia tiba di kelas dan sudah melihat mejanya berantakan dengan bahan-bahan yang dia bawa untuk ujian praktik, dan ketika saat aku dituduh menjadi pelakunya ketika baru datang dari kamar kecil.
Setelah Rendi, Izul, dan Zaki diperiksa di UKS, mereka pun pergi ke ruang BK untuk menceritakan apa yang terjadi. Karena mereka sudah takut denganku, akhirnya mereka pun mengakui semuanya.
Tapi mereka mengakui kepada guru BK, kalau itu murni ide dari mereka bukan suruhan dari orang lain. Aku tidak tau apa yang membuat mereka sampai menutup mulut seperti itu. Tapi aku rasa lawanku kali ini adalah seseorang yang mengerikan.
Guru BK pun akhirnya memaafkan perbuatanku dan kemudian aku pun dibiarkan untuk mengikuti ujian praktik selanjutnya.
Ketika tiba di kelas, kami pun menceritakan apa yang terjadi kepada guru fisika kami untuk meminta kemudahan bagi Rina. Untung saja guru fisika kami sangat baik saat itu dan dia pun membiarkan Rina kesempatan untuk mengikuti ujian praktik fisika besok bergabung dengan kelas lain.
Dan kejadian itu pun dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Kabar baiknya dari kejadian itu, sekarang tidak ada yang berani untuk membicarakan rumor itu lagi di hadapanku.
Sebenarnya dari awal aku tidak mau menunjukan kekuatanku sama sekali, sebisa mungkin aku mau mengerahkan kepada Riki jika berurusan dengan kekuatan fisik. Tapi sepertinya itu tidak bisa, lagi pula sudah mau lulus juga.
***
Hari demi hari pun berlalu dan sekarang adalah hari terakhir dari ujian praktik. Kemarin malam, Maul mengirimku sebuah pesan. Katanya ada yang mau dia katakan denganku di halaman belakang sekolah ketika istirahat nanti. Tentu hal ini ada kaitannya dengan rumor yang beredar akhir-akhir ini.
“Apa yang ingin kau katakan?”
“...Setelah kejadian itu sepertinya sifatmu semakin dingin saja.”
“Itu hanya firasatmu saja.”
“Benarkah itu?”
Aku dan Maul pun makan bersama di halaman belakang sekolah.
“Aku sudah menyelidiki semua hal yang berkaitan dengan rumor tersebut.”
“Lalu apa yang sudah kau dapatkan?”
“Aku mengetahui siapa orang yang menyebarkan rumor itu.”
“Jadi siapa orangnya?”
“...Kau ini tidak sabar ya.”
Maul pun memberikan sebuah foto yang di dalamnya terdapat gambar laki-laki.
“Siapa dia?”
“Dia adalah anak kelas dua, namanya Reza. Dia adalah sepupu Kirana yang sekolah di sini, dan
dialah sumber dari semua rumor yang tersebar itu.”
“...Buktinya?”
“Aku sudah beberapa kali bertemu dengannya ketika berkumpul dengan Riki di kantin, dan aku baru tau kalau dialah orang yang memegang kekuasaan di kelas dua saat ini. Selain itu… Sepertinya Kirana sangat takut dengannya.”
“Takut?”
“Iya, setiap ada dia. Kirana pasti selalu gugup untuk berbicara.”
Oke, mendengar itu dan akhirnya semua petunjuk yang telah aku punya terhubung semua.
“Kapan kira-kira kau akan bertindak?”
“Entahlah, sepertinya akan aku lakukan hari ini. Aku sudah muak dengan permainannya.”
“Kau tidak perlu melakukan hal itu.”
Tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan Riki dan Kirana yang ada bersama mereka.
“Yo.. Abang-abang sekalian.”
Seorang lelaki yang ada di foto yang diberikan Maul sudah ada di hadapan kami. Sontak hal itu membuat Maul langsung berdiri.
“Re-reza!”
Maul terkejut melihat Riki yang berada dihadapan kami. Kirana pun sedikit takut dan berlindung dibalik badan Riki.
“Sedang apa kau di sini Mul?”
Riki terlihat sangat serius sekali saat itu, aku juga sempat melihat kaki Maul yang bergetar karena ketakutan.
“Aku hanya…”
Sepertinya ini waktunya aku bertindak.
“Bukankah itu terlalu buruk untuk menyapa seorang teman.”
Aku berdiri dari tempat ku duduk sekarang dan membersihkan celanaku.
“Kau sendiri juga sama, sudah lama aku tidak melihat mata itu.”
Aku pun melangkah mendekat ke arah Riki dan melihat matanya. Semua orang yang ada di sana langsung menyingkir dari kami.
“Hee… Jadi apa yang mau kita lakukan? Melakukannya seperti biasa, aku belum membalas perbuatanmu yang lalu.”
Aku melepas seragam yang aku pakai saat itu dan Riki melakukan hal yang sama.
“One vs one.”
Ketegangan pun mulai menyelimuti tempat itu, seluruh mata tertuju kepada kami berdua. Saat itu aku melihat ekspresi Kirana yang cemas dengan keadaan kami berdua, karena dia tau kalau saat ini kami sedang dimanfaatkan oleh sepupunya itu.
Reza yang berada di samping Kirana terlihat puas sekali setelah melihat aku dan Riki akan bertarung.
Riki pun mulai berlari mendekat ke arahku dengan kecepatan supernya. Tapi seperti yang pernah aku katakan kepada kalian, aku sudah berteman dengan Riki sejak di sekolah dasar, dan aku sering berkelahi dengannya. Jadi aku dapat mengetahui seluruh pola serangan yang dia gunakan.
Aku pun bergeser sedikit dari posisiku saat ini dan melangkah ke depan untuk memposisikan diriku tepat di samping Riki. Setelah berada di samping Riki, aku pun langsung mencengkeram bagian belakang lehernya kemudian sedikit mendorongnya untuk membuat Riki sedikit menunduk dan aku pun menendang perutnya dengan menggunakan lututku dengan sangat kuat.
Riki pun terjatuh ke tanah sama sepertiku ketika dipukul olehnya juga.
Semua orang di sana termasuk Reza mulai ketakutan ketika melihatku bisa mengalahkan Riki. Karena selama ini yang mereka tau kalau Riki itu adalah orang yang paling kuat di sekolah ini.
Aku pun mulai melangkah maju untuk menghampiri Reza. Beberapa dari mereka sudah ada yang lari ketakutan dari sana. Reza pun ingin melakukan hal yang sama.
Tidak akan aku biarkan kau pergi seenaknya.
Sebelum Reza memacu kakinya untuk berlari, aku sudah berada di hadapannya dan mulai mencengkeram dengan kuat kerah bajunya dengan tangan kananku.
“Mau kemana kau?”
“Apa yang kau inginkan dariku?”
Reza berusaha terlihat kuat di hadapanku, dia melihat mataku dengan sangat serius. Namun aku tau kalau sekarang dia sedang ketakutan, karena nafasnya saat ini sangat tidak beraturan, tapi dia berusaha untuk menyembunyikannya agar aku tidak mengetahuinya.
“Apa yang membuatmu menyebarkan rumor menyebalkan ini?”
“Tentu saja aku iri denganmu.”
“...Iri?”
“Kau memiliki teman-teman yang hebat dan kuat, selain itu orang tercantik di sekolah ini menyukaimu tapi kau mengabaikan perasaannya. Aku pernah berniat untuk menyatakan perasaanku kepada Kak Rina, tapi karena diperingatkan oleh teman sekelasku tentang peraturan yang kau buat itu membuatku tidak jadi untuk menyatakan perasaanku kepadanya…”
Aku pun mulai mengendurkan cengkeramanku darinya.
“...Makanya aku berusaha untuk mengambil alih kekuasaan yang kau miliki itu dengan merenggut teman-teman yang aku punya dan berusaha membuatmu agar dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyingkirkanmu dari sekolah ini, aku akan menaklukan hati Kak Rina dengan kekuasaan yang aku punya.”
Hah… Lagi-lagi ini semua karena cinta, aku bingung kenapa semakin aku menjadi dewasa, semakin dalam keterlibatanku dengan sesuatu yang disebut cinta ini.
“Aku tidak peduli dengan hal itu, kau sudah membuat kehidupanku di sekolah selama seminggu ini menjadi tidak menyenangkan… Setidaknya biarkan aku memberitahumu bagaimana rasanya.”
Aku bersiap untuk memukulnya, tapi Maul pun menahan tanganku dengan sangat kuat.
“Ada apa Mul? Kau mau memintaku untuk melepaskannya?”
Maul tidak menjawab apa-apa.
Aku tau apa yang ingin Maul lakukan. Aku pun melepaskan cengkeramanku dan kemudian aku mundur
beberapa langkah dari posisi semula.
Tiba-tiba Maul pun memukul Reza dengan sangat keras tepat di bagian pipi sebelah kirinya. Reza pun
sedikit menunduk ketika terkena pukulan keras dari Maul.
“KAU INI BODOH APA!”
Maul terlihat marah sekali. Reza terlihat heran ketika mendengar perkataan dari Maul.
“Hati perempuan tidak bisa ditaklukan dengan itu dasar bodoh. Seharusnya kau menunjukan kepada dia kalau kau adalah orang yang pantas untuknya. Tunjukanlah kepadanya bagaimana dirimu yang sebenarnya, dan di saat yang tepat ungkapkanlah perasaanmu itu kepadanya. Bukannya dengan kekuasaan bodoh yang kau buat ini…”
Memang kalau untuk menasihati orang tentang cinta, Maul adalah rajanya.
“...Kalau seandainya kekuasaan yang kau impikan itu dapat membuat hati seorang wanita tergerak. Aku pasti tidak akan menjomblo seperti sekarang.”
Dia mulai curhat sekarang.
Setelah mendengar perkataan Maul, Reza pun pergi sembari merenungi kata-kata tadi. Aku rasa dia mendapatkan pelajaran berharga dari hal ini.
“Akhirnya semuanya selesai.”
Aku pun meregangkan tanganku.
“Ad-aduh…”
Riki pun mulai bangkit dari tidurnya.
“Sepertinya ini bakalan gawat Mar?”
Maul mulai takut dan bersembunyi di belakangku.
Kemana keberanianmu tadi?
“Sudahlah Kak Riki, kau sudah tau kan kalau Kak Amar tidak salah di sini.”
Kirana yang belum pergi dari sana berusaha membelaku dan menenangkan Riki.
“Tenang saja, aku juga tau kalau soal itu.”
“Heh?”
Maul dan Kirana menjadi bingung dengan apa yang baru saja Riki katakan.
“Sebenarnya dari awal aku sudah tau kalau Kirana hanyalah umpan untuk memisahkanku dengan Amar. Karena tidak mungkin kan orang sepertiku berpacaran dengannya.”
Entah kenapa aku menjadi sedih ketika mendengarnya.
“Maafkan aku Kak Riki telah membohongimu selama ini.”
“Iya, tidak apa-apa.”
“TUNGGU DULU!!!”
“Hei Mul, kau hari ini berisik sekali.”
“Kau diam dulu Mar!… Jadi selama ini kau tau kalau Kirana itu adalah umpan?”
“Tentu.”
“Lalu pas kau berkelahi dengan Amar?”
“Tentu saja itu hanya pura-pura saja, karena saat itu ada Reza yang memperhatikan kita.”
“Terus rencananya?”
“Amar sudah mengirimku pesan sehari sebelum rencana itu dimulai.”
Maul pun menjadi lemas setelah mendengar jawaban dari Riki.
“...Berarti dari kemarin aku terlihat seperti orang bodoh saja.”
“Tidak juga Mul, kau sangat membantu di sini.”
Aku memuji Maul agar kembali ceria kembali.
“Kalian berdua memang monster.”
Sejak saat itu, rumor tentangku pun hilang dengan seketika. Aku tidak tau apa yang dilakukan Reza saat itu, tapi yang jelas rumor itu benar-benar hilang. Aku sampai tidak percaya kalau rumor itu pernah menimpaku.
Dan teman-temanku mulai berinteraksi kepadaku dengan biasa, bahkan ada beberapa di antara mereka yang meminta maaf kepadaku terutama Rendi, Izul, dan Zaki. Mereka jadi lebih baik terhadapku.
Habis gelap terbitlah terang, mungkin hanya itu yang bisa aku katakan saat ini.
Tapi masih ada beberapa di antara temanku yang memiliki rasa takut terhadapku.
Ya.. Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Dari pada memikirkan masa lalu, lebih baik memikirkan apa yang akan kita lakukan besok. Setidaknya itu akan membantumu di masa depan. Namun semenjak rumorku hilang, aku tidak pernah berbicara lagi dengan Rina sampai Ujian Nasional berakhir.
-End Chapter 12-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments