“Tunggu!”
Dua orang polisi sedang berlari mengejarku dan juga temanku
Mungkin ini hal yang aneh karena memulai sebuah cerita dengan adegan kejar-kejaran bersama polisi, seharusnya aku meletakan hal ini di pertengahan untuk bagian klimaksnya. Tapi karena awal ceritaku tentang cinta berawal dari sini.
***
Seorang lelaki datang menghampiriku yang sedang duduk di dalam kelas. Dia melangkah layaknya seseorang yang sedang terburu-buru, langkahnya cepat dan dari kejauhan terdengar hentakan kakinya. Wajahnya tersenyum setiap kali melewati orang-orang.
“Amar! Riki mencarimu.”
Teriak salah seorang temanku yang dimintai tolong oleh Riki untuk memanggilku.
“Iya..”
Berat rasanya badanku untuk melangkah menghampirinya karena melihat kelas akan segera dimulai, tapi tidak mungkin dia datang ke kelasku jika tidak ada urusan yang sangat penting.
“Ada apa Rik?”
"Apakah sepulang sekolah nanti kau kosong? Bisakah kau menemaniku ke Jatinegara?”
“Buat apa?”
“Aku ingin membeli bahan kimia di sana.”
Aku pun melihat jamku dan mengingat apa aku memiliki rencana sepulang sekolah nanti.
Sekarang aku sudah duduk di kursi kelas tiga SMP, dan sebentar lagi aku akan menghadapi ujian praktik, dan kemudian ujian nasional yang akan menjadi akhir dari perjalananku di SMP ini.
Mengingat dua tahun terakhir yang aku habiskan hanya untuk memikirkan esensi tentang cinta. Sepertinya aku harus berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus.
“Boleh, aku akan menemanimu.”
“Oke.. Nanti sepulang sekolah tunggu aku di gerbang, soalnya hari ini aku ada piket.”
“Baik.”
Aku pun kembali ke kursiku dan menunggu kelas dimulai dengan tenang.
***
“Di sini ramai juga ya?”
Aku melihat ke sekumpulan orang yang berada di depan Stasiun Jatinegara.
Untuk sedikit informasi, Jatinegara adalah pusatnya orang-orang yang hobi dengan batu cincin, bahkan saat itu batu cincin sedang menjadi tren di kalangan masyarakat yang membuat tempat itu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menjual atau membeli batu cincin.
“Pak di dalam ada yang jualan cairan kimia tidak?”
Riki bertanya kepada satpam yang sedang menjaga di depan mal.
Ekspresi yang dikeluarkan satpam saat itu terlihat kebingungan dan heran melihat kami berdua. Aku sendiri tidak tau mengapa dia bisa berekspesi seperti itu. Apakah dia sama sekali belum pernah bertemu dengan anak sekolah yang mencari cairan kimia di sekitar sini?
“Kalau di sini tidak ada yang menjual cairan kimia Dek.. Di dalam isinya batu cincin semua.”
Ketika itu aku baru melihat papan nama pasar yang tertulis ‘Pasar Rawa Bening’ dan tepat di bawahnya tertulis ‘Pusat Batu Cincin’. Pantas saja satpam itu menatap heran kepada kami.
“Oh begitu ya Pak.. Kalau di sekitar sini ada toko yang menjual cairan kimia tidak?”
“Kalau itu saya kurang tau Dek..”
"Begitu ya Pak, terima kasih."
Kami pun pergi menyusuri jalan untuk mencari toko bahan kimia yang berada di sekitar sana.
Pada saat itu, kami belum memakai ponsel seperti sekarang ini. Jadi kami tidak dapat bertanya atau mencarinya di internet.
“Kita mau cari kemana Mar?”
“Beli es dulu Rik, aku kepanasan, selain itu aku juga haus..”
“Ya sudah, kita beli minuman dulu kebetuan aku juga haus.”
Kami pun berhenti di penjual es doger yang kami temui di pinggir jalan, dan Riki membelikanku es doger itu.
“Bang tau yang jualan bahan kimia di sekitar sini tidak?”
“Oh.. bahan kimia, ada Dek di sekitar sini.. Jalan saja ke halte yang ada di depan sana, tepat di sampingnya ada toko bahan kimia.”
Abang tukang es doger itu menunjuk ke arah kanan kami dengan menggunakan jari telunjuknya.
“Oh gitu, terima kasih Bang.”
Sepertinya keputusanku untuk beli es doger bukanlah sesuatu yang buruk, berkat itu kami mendapatkan informasi tentang toko yang kami tuju. Seperti itulah yang aku harapkan dari pasar, pusat dari semua informasi ada di sana.
***
“Maaf Mas, di sini jualnya bahan kimia yang bubuk..”
Aku kira setelah datang ke toko yang ditunjukan tukang es doger tadi dapat membuat kami pulang lebih cepat, ternyata aku salah.
Kalau bukan karena es dogernya, hampir saja aku menghardik tukang es doger tersebut. Tapi setelah diingat-ingat, memang salah Riki juga yang saat itu hanya bertanya tokonya saja tanpa menyebutkan apa yang kami cari.
“Berarti kalau yang cair tidak ada Mba?”
“Tidak ada Mas, kalau mau ke Kampung Melayu.. Di sana ada yang jual cairan kimia.”
“Baiklah kalau begitu.. Terima Kasih Mba.”
Saat kami hendak melangkah pergi, penjaga toko itu langsung mengucapkan sesuatu yang sama sekali kami tidak ingin dengar namun itu adalah informasi yang sangat penting.
“Tapi kalau mau ke sana buruan Mas, soalnya sebentar lagi tokonya mau tutup.”
Kumohon... Seharusnya kau ucapkan hal itu lebih awal.
Mendengar itu kami langsung memacu kaki kami setelah kata terima kasih baru terlontar dari mulut kami.
Saat itu, tidak ada yang mampu menghentikan kami kecuali lampu merah.
Hingga mataku sedikit teralihkan dengan sekelompok pelajar SMP seperti kami yang berada di sebelah kanan kami sedang bergerak secara berkelompok. Karena saat itu waktu kami tidak banyak, jadi aku tidak menghiraukan hal itu dan terus berlari.
***
“Akhirnya dapat juga!”
Riki mengangkat tinggi-tinggi cairan kimia yang diletakan di dalam sebuah botol berukuran kecil. Mengingat bagaimana kita mendapatkan cairan itu seharusnya aku juga merasakan kesenangan seperti yang Riki rasakan.
Tapi rasa lelah di kakiku membuatku malas untuk berbuat apa-apa. Kami pun langsung melalui jalan yang baru saja kami lewati. Namun rasa curigaku kian menguat ketika mengetahui kalau tidak ada sama sekali mobil yang lewat di jalan itu.
“Hei Rik, apa kau merasakan sesuatu yang aneh di sini?”
“Tidak, memangnya kenapa?”
“Tidak ada mobil yang lewat?”
Aku mulai memperhatikan jalan yang ada di hadapan kami, aku melihat ke seluruh penjuru jalan hingga yang paling jauh untuk memastikan kalau tidak ada mobil yang melintasi jalan tersebut.
“Mungkin lampu merah.”
Riki masih terlihat acuh dan pandangannya masih tidak lepas dengan bahan kimia yang baru saja ia beli.
Rasanya tidak mungkin jika hanya lampu merah dapat membuat jalanan kosong seperti ini. Karena jalanan yang sedang kami lewati adalah jalanan satu arah untuk kendaraan bermotor, jadi kami tidak dapat mengetahui apa penyebabnya kecuali mendekat ke sumber permasalahan.
“Tidak mungkin, kalau lampu merah tidak mungkin sesepi ini.”
“Benar juga ya..”
Riki pun mulai melihat sekeliling jalan sama sepertiku.
Kami pun terus menyusuri jalan itu dengan rasa waswas yang mulai menyelimuti hati.
Kemudian dari kejauhan kami dapat melihat sekelompok pelajar yang berlari menuju ke arah kami disertai dengan suara serene polisi yang mengikuti mereka.
“Sepertinya kalau kita diam saja akan gawat Rik.”
Aku mulai melihat ke arah gang yang berada di sekelilingku.
Semua kemungkinan pun mulai masuk ke dalam pikiranku satu per satu. Aku mulai memikirkan keputusan yang terbaik untuk kami.
Pertama, apakah kami harus berlari lebih dulu untuk memisahkan diri dari para pelajar itu atau lebih baik kami hanya diam saja dan membiarkan mereka lewat.
Sebenarnya aku lebih memilih keputusan keduaku karena kakiku sudah tidak kuat untuk berlari lagi. Tapi apakah polisi tidak akan mencurigai kami? Mengingat saat ini kami menggunakan seragam yang sama dengan mereka.
Baiklah sekarang waktunya berpikir dengan serius, waktuku tidak banyak dan aku tidak mau berakhir di polsek.
Tarik nafas dalam-dalam dan hembuskanlah secara perlahan.
Tenangkan pikiran dan fokuslah dengan satu tujuan.
Aku melihat ke gang yang berada di seberang jalan. Aku mengetahui dengan jelas kemana ujung dari gang itu.
OK. Sepertinya aku sudah mendapatkan pilihan yang tepat dibandingkan berdiam diri di sini.
“Oi Rik, waktunya kita kabur juga.”
Aku mulai mengencangkan tali tasku agar aku dapat leluasa ketika berlari nanti.
“Kenapa kita tidak diam saja? bukannya kita tidak terlibat sama tawuran itu.”
“Memangnya polisi akan menerima ucapanmu itu saat ini.”
“Sepertinya kau benar.”
Kami pun mulai berlari memasuki gang yang ada di seberang kami. Karena saat itu tidak ada kendaraan yang melintas di sana, kami pun dapat dengan mudah menyeberangi jalan itu.
“Memangnya kau tau ini jalan mengarah ke mana?”
“Ini jalan nanti tembusnya ke pasar batu akik tadi.”
“Lah! Bukannya kalau ke sana kita malah susah buat kabur ya? Kan banyak orang.”
“Justru sebaliknya Rik, kita malah bisa menghilangkan jejak dengan banyaknya orang yang mengunjungi pasar itu.”
“Sepertinya kau sudah berpikir tentang hal ini ya.”
“Jelas lah! Aku tidak mau berakhir di polsek sini, mana jauh dari rumah.”
“Seperti yang ku duga dari Amar.”
“Berhentilah bicara! Kau cuman membuang persediaan nafasmu.”
Aku hanya membuat alasan itu supaya Riki berhenti bicara kepadaku saat ini. Sekarang aku harus menggunakan nafasku yang tersisa sebaik mungkin.
Aku pun sesekali menengok ke belakang untuk melihat situasi yang terjadi.
Dan ternyata ada beberapa pelajar yang terlibat tawuran itu lari ke gang yang sama dengan kami, tentu di belakang mereka ada beberapa polisi yang mengejar di sana.
Ayolah! Mengapa kalian tidak mengambil jalan lain? Bukannya banyak gang yang bisa kalian masuki.
Untung saja aku mengambil keputusan yang tepat untuk berlari terlebih dulu. Berkatnya, kami dapat menjaga jarak dengan mereka lumayan jauh.
Tarik nafas panjang dan keluarkanlah secara perlahan.
Ingat semua pelajaran olahraga untuk memanjangkan nafas.
Ketika sampai di pasar, aku langsung melihat seluruh penjual yang berada di sana dan menghitung pembeli yang berada di setiap penjual itu.
Aku memikirkan kemungkinan penjual mana yang dapat menjadi tempat persembunyian yang paling aman. Akhirnya mataku tertuju kepada satu penjual yang memiliki banyak sekali pelanggan di sana.
“Rik sekarang kita lepas seragam kita.”
“OK.”
Kami pun langsung melepas seragam kami dan memasukannya ke dalam tas.
Baiklah sekarang kami tidak boleh terlihat terlalu mencolok di setiap pembeli yang ada.
Tenang.. Atur nafas seperti biasa.
Atur langkah kaki seperti orang di sekitar, jangan bergerak terlalu cepat, itu akan menarik perhatian orang yang ada di sana.
Aku bersyukur saat itu Riki mengikutiku tanpa harus berbicara sedikit pun. Kami mulai menyempil di antara para pembeli itu dan bersikap seperti orang yang ada di sana. Riki mulai berbicara dengan orang yang ada di sana secara alami.
Pelajar yang sebelumnya berada di belakang kami mulai berlari melewati kami begitu juga polisi yang mengejar di belakangnya. Semua perhatian penjual dan pembeli yang ada di sana satu per satu mulai teralihkan ke arah mereka. Badan kecil kami pun tertutup dengan badan orang dewasa yang berada di sekeliling kami.
Aku pun mulai melihat jam tanganku dan melihat waktu saat itu.
Sepertinya lima belas menit sudah cukup untuk bersembunyi di sini.
“Untung saja kita lolos.”
Riki berbisik kepadaku dan dari wajahnya terlihat senyuman puas.
Setelah lima belas menit, kami langsung berjalan ke arah Stasiun Jatinegara untuk pulang. Walaupun ada beberapa polisi yang masih memeriksa di sekitar situ, tapi kami tidak dicurigai oleh mereka.
Aku lelah sekali.
Keputusanku untuk tidur di rumah sepulang sekolah sepertinya tidak terlalu buruk, andai saja aku memilih keputusan itu saat diajak Riki, mungkin aku tidak akan kelelahan seperti ini.
“Hari ini seru sekali ya!”
“Seru katamu? Aku lelah sekali.”
“Sesekali olahraga Mar.”
“Tadi pagi aku sudah ada pelajaran olahraga.”
Dan kereta menuju Jakarta Kota pun tiba di sana. Kami langsung bergegas menaiki kereta itu.
Selamat tinggal Jatinegara, sampai bertemu lagi. Terima kasih telah memberikan pengalaman berkesan yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan.
Ketika aku mulai menginjakan kakiku ke dalam gerbong kereta, mataku tertuju kepada segerombolan pelajar yang ada di hadapan kami.
China?... Atau Jepang? Aku tidak begitu tau pasti, tapi muka mereka bukanlah seperti orang Indonesia.
Mereka terdiri dari empat orang pelajar, dua laki-laki, dan dua perempuan. Dari dua perempuan yang ada di sana, ada seorang perempuan yang menurutku dia sangat cantik.
Aku mengatakan itu karena dia adalah perempuan tercantik yang selama ini pernah aku temui, bahkan primadona di sekolah kami masih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
Apakah aku terlalu berlebihan ketika menyebutnya cantik?
Perlukah aku menanyakan semua orang yang ada di gerbong ini untuk membuktikannya kepada kalian? Sepertinya itu tidak perlu.
Karena saat itu kondisi gerbong kereta tidak terlalu dipenuhi oleh penumpang, kami langsung menuju ke bangku kosong yang ada di dekat mereka.
Aku pun menyandarkan bahuku dan meregangkan kakiku.
Rasanya nikmat sekali..
“Berapa nilaimu dalam tes kemarin?”
“Tentu aku mendapatkan nilai A semua..”
Bisakah kalian membiarkanku beristirahat dengan tenang? Aku baru saja melewati sesuatu yang sangat melelahkan di sini.
“Hebat sekali kamu Takeshi!”
Perempuan cantik itu memuji lelaki yang menyombongkan diri tadi.
“Hal seperti itu adalah sesuatu yang biasa untukku.. bagaimana dengan kamu sendiri Miyuki?”
Hmm.. ternyata nama perempuan itu adalah Miyuki.
“Aku juga dapet A semua.”
“Hebat!”
“Seperti yang kuduga dari Miyuki.”
Hebat sekali tuan putri, aku rasa derajatmu akan makin meningkat di mata mereka.
“Stasiun Berikutnya Stasiun Manggarai...”
Waktunya kita turun.
Aku dan Riki langsung berdiri dari kursi kami dan turun dari gerbong kereta. Diikuti oleh sekelompok pelajar yang berdiri di dekatku tadi.
“Sepertinya mereka juga turun di sini.”
Riki melirik ke arah sekelompok pelajar itu dan diikuti dengan langkah kaki melangkah ke peron yang satunya lagi.
“Ohh... dari tadi kau juga memperhatikannya?”
“Tentu saja, tidak mungkin aku melepaskan pandanganku dari seorang wanita cantik.”
Aku dan Riki berpindah peron untuk menunggu kereta ke jurusan Depok, begitu juga dengan mereka. Ketika aku melihat lelaki yang bernama Takeshi, aku langsung mengamatinya dengan seksama. Semakin lama aku mengamatinya semakin jengkel aku dibuatnya. Tingkahnya di depan Miyuki seakan dia adalah orang yang paling hebat di dunia ini.
Ini hanya pendapatku saja, dia sebenarnya bukanlah apa-apa. Orang seperti dia biasanya hanya melebih-lebihkan sesuatu yang dia raih walaupun itu hanya sedikit.
Kereta kami pun tiba, dengan bergegas kami langsung memasuki gerbong kereta. Sama seperti sebelumnya, kami masih bersama sekelompok pelajar itu.
“Kemarin aku baru saja mengikuti lomba karate tingkat kecamatan dan meraih juara pertama di sana.”
Takeshi membusungkan dadanya dan bergaya di hadapan Miyuki. Dua orang temannya yang lain memuji tiada habisnya, aku pun bosan mendengarkan dia yang menyombongkan diri. Hampir seluruh aspek kehidupannya dia sombongkan dihadapan kami. Kalau bukan karena Miyuki, aku dan Riki mungkin sudah pindah ke gerbong yang lain.
“Ada rencana mau pindah gerbong Rik?”
“Tidak, aku mau lihat seberapa banyak pencapaian yang dia raih.”
Kami berdua melihat ke arah sekelompok pelajar itu melalui kaca jendela yang memantulkan bayangan mereka. Karena tujuan kami berada di dekat mereka hanya untuk melihat Miyuki dan tidak mungkin jika kami melihat Miyuki secara langsung, tentu itu akan membuat kami diperhatikan oleh mereka.
“Apakah pencapaiannya sehebat itu?”
“Tidak juga, sebenarnya itu hanyalah pencapaian yang biasa.”
“Hahahah... Kau benar.”
Memang aku dan Riki bukanlah tipe pelajar yang selalu mementingkan pencapaian selama di sekolah, entah itu dari peringkat atau pun prestasi di luar sekolah. Jadi setiap ada orang yang menyombongkan pencapaiannya selama di sekolah, itu tidak akan membuat kami iri, malah kami ingin sekali mentertawakannya.
Sebentar... Sepertinya suaraku dan Riki terlalu keras.
“Hei! Kalian berdua membicarakanku ya?”
Takeshi menghampiri kami dan menatap kami dengan sinis.
Huh.. Ayolah, jangan membuat hari ini menjadi lebih panjang lagi.
-End Chapter 1-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Puan Harahap
lanjut
2020-11-18
0