"Dek, koq belepotan gitu sih."
Amanda menegur Afka pada keesokan harinya. Ketika anaknya itu makan dan makanannya belepotan di mulut hingga pinggiran meja, tempat dimana ia duduk.
Afka tertawa lalu mengambil kembali makanan yang ada di pinggiran mejanya tersebut.
"Eh, jangan!. Kotor!"
Amanda terlihat begitu marah, lalu ia membersihkan semua itu dengan tissue dan mengganti makanan Afka dengan makanan yang baru.
Arka memperhatikan istrinya itu. Biasanya ia tak terlalu riweh dan cuek saja. Toh meja dan kursi anak-anaknya telah ia bersihkan dan sterilkan terlebih dahulu sebelum mereka gunakan.
"Ntar sakit lagi." ujar Amanda.
"Udah tau bakteri dimana-mana." Ia melanjutkan kata-kata.
Afka tampak terdiam dan agak sedikit menunduk. Arka lalu mendekat dan membujuk anak itu.
"Ayo makan lagi yuk!" ujarnya kemudian.
Afka masih diam, sementara Azka memperhatikannya sambil mengunyah buncis.
"Nggak apa-apa, mama nggak marah sama Afka. Tapi makan emang nggak boleh begitu ya. Harus disini aja, di piring."
Afka menatap sang ayah, lalu ia pun kembali makan. Kini mata Arka tertuju pada Amanda.
"Kamu kenapa sih?" tanya nya kemudian.
Amanda diam, namun raut wajahnya seperti masih penuh kemarahan.
"Nggak perlu marah sampai segitunya juga kan sama anak kecil. Dia belum ngerti apa-apa." ujar Arka.
Amanda masih diam.
"Amanda."
"Kamu sendiri kan yang bilang, mereka sakit kemarin mungkin aku kurang menjaga kebersihan. Aku yang kamu salahin, padahal kadang kelakuan mereka sendiri."
Air mata Amanda mulai mengalir. Arka ingat perkataannya saat mereka baru keluar dari klinik. Ketika mengobati Azka dan Afka tempo hari.
"Kamu pikir enak disalahin kayak gitu, selama ini aku kurang apa dalam ngurus rumah tangga kita. Walaupun aku sibuk dan kadang kepala aku mau pecah. Karena aku harus menghandle semuanya."
Air mata Amanda semakin deras. Arka lalu mendekat dan duduk di sisi istrinya itu. Arka mengusap air mata Amanda dengan tangannya.
"Aku minta maaf, kalau perkataan aku hari itu menyinggung kamu. Aku bener-bener nggak ada maksud menyalahkan atau apa."
"Tapi dari cara kamu ngomong itu loh, Ka. Kamu kayak nggak mikir."
"Oke." Arka menghela nafas panjang.
"Aku yang salah, dan aku minta maaf ya."
Amanda masih saja menangis. Arka kemudian memeluk wanita itu dengan erat.
"Maafin aku ya." ucapnya sekali lagi.
Tangis Amanda mereda. Ia kemudian menoleh dan mencium Afka.
"Maafin mama ya." ujarnya pada anak itu.
Afka mengambil potongan buncis rebus dan memberikannya pada Amanda. Amanda pun mengambilnya dan mencium anak itu sekali lagi.
Arka mengambil tissue, lalu menyeka sisa air mata sang istri sampai semuanya terhapus.
***
"Ya, elo harusnya nggak ngomong gitu Bambang."
Rio berseloroh ketika akhirnya mereka bertemu, seusai Arka pulang kerja. Ia menceritakan soal dirinya yang ternyata menyinggung perasaan Amanda.
"Gue pun akan tersinggung kalau lo ngomongnya begitu." ujar Rio lagi.
"Lah yang namanya bocah umur segitu, bisa terinfeksi bakteri dari mana aja. Bisa dari mainan, makanan, tangan mereka sendiri. Mau seribu kali pake anti bakteri juga, nggak membunuh 100%." lanjut pemuda itu.
"Iya sih." jawab Arka.
"Paling juga 99%, sisa 1% nya membelah diri dalam waktu cepat. Jadi seribu lagi." ucap Rio.
Arka tertawa kecil.
"Gue bener-bener nggak nyangka aja, dia bakal setersinggung itu ke gue." lagi-lagi Arka berujar.
"Capek kali dia. Ngurus rumah tangga, kerjaan pula, tambah lagi lo salahin kayak begitu."
Arka sedikit terdiam.
"Lo aja nih, bro. Lo udah kerja capek-capek nafkahin keluarga lo. Lo sempatin juga untuk bisa punya waktu buat keluarga. Terus si Amanda misalkan ngomong, kalau lo itu kurang usaha dan kurang perhatian juga sama keluarga. Pasti lo tersinggung kan?"
"Iya, gue udah ngakuin kalau gue yang salah koq. Dan gue juga udah minta maaf sama dia." ujar Arka.
"Udah kelar?" tanya Rio.
"Udah."
"Terus kenapa lo curhat ke gue?" tanya Rio.
"Ya nggak enak aja, rasa ada yang mengganjal gitu di hati gue." jawab Arka lalu tertawa.
"Makanya jangan bikin perkara." ucap Rio lagi.
Arka kembali tertawa, lalu memakan makanannya. Ia janjian bertemu dengan Rio, untuk makan bersama.
"Lo makan di luar kayak gini, ntar kalau bini lo masak gimana?."
"Makan malam mah beda lagi." ujar Arka.
"Gue masih sanggup menampung lebih banyak." lanjutnya kemudian.
"Oke kalau gitu. Gue takut si Firman tersinggung aja, tiba-tiba lo nggak makan dirumah. Ntar dia nanya lo abis makan dimana, lo jawab makan sama gue. Besoknya gue di cuekin sama dia."
"Ya nggak apa-apa dong, emang lo serumah sama dia?. Sampe di cuekin aja mesti baper."
"Ya tetap aja nggak enak. Ntar kalau gue lagi bete, pengen main ke tempat lo gimana?"
Arka tertawa.
"Dia nggak selebay itu kali, Ri. Kalau soal makan mah, gue udah makan di luar ya udah. Ntar juga gue makan kalau laper tengah malem." ujarnya kemudian.
Mereka lalu melanjutkan obrolan.
***
"Lo koq gitu sih, Man?. Kan lo udah telpon gue sebelumnya. Udah curhat dan gue kasih masukan juga. Koq lo masih ngerasa kalau lo harus bener-bener super ketat ke anak-anak?."
Nindya menyayangkan sikap Amanda ketika sahabatnya itu menelpon. Pasca kejadian ia nyaris bertengkar dengan Arka pagi tadi. Perihal ia yang terlalu keras bersikap terhadap Afka.
"Gue nggak tau, Nin. Kayak naluri dalam diri gue tuh mendorong gue harus bersih aja. Gue takut mereka sakit lagi."
"Ke psikolog deh, coba. Jangan biarin hal kayak gitu berlarut-larut." Nindya memberi saran.
"Ntar takutnya tanpa sadar malah ngulang lagi. Atau chat aja by phone, cuma tiga puluh ribu ini per sesi." lanjut wanita itu.
"Lebay banget nggak sih gue, mesti ke psikolog segala?. Masalah sepele kayak gini doang." tanya Amanda.
"Nggak ada yang namanya sepele kalau udah menyangkut mental. Itu bisa jadi bom waktu buat lo dan anak-anak lo nanti." jawab Nindya.
Amanda diam.
"Mendidik anak dengan didampingi psikolog itu nggak apa-apa, Man. Lo sendiri kan yang bilang ke gue nggak usah tabu."
Amanda masih diam, namun Nindya tau sahabatnya itu masih mendengarkan.
"Lo bisa bertindak kayak tadi, itu artinya lo lagi butuh bantuan. Sekalian ajak Arka, biar sama-sama belajar. Kedepannya biar bisa jadi orang tua yang lebih baik. Lo punya duit ini, ngapain dipersulit."
"Iya sih." ujar Amanda.
"Ya udah, lo ngomong sama Arka. Biar dia ikut juga. Mendidik anak itu nggak bisa dengan tangan sebelah, nggak bisa cuma emak atau bapaknya aja. Kecuali salah satunya emang amit-amit udah nggak ada. Cerai sekalipun, harus tetap berdua mengasuh anak. Karena mereka butuh keduanya."
"Iya Nin, ntar gue bilang ke Arka."
"Si Afka nggak apa-apa kan?" tanya Nindya kemudian.
"Nggak, gue udah minta maaf koq. Walau dia belum ngerti." ucap Amanda.
Nindya menghela nafas cukup panjang.
"Syukur deh kalau gitu." ujarnya kemudian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Mahmudah Mudah
aku mau ada org ke tiga thor yg ganjen tp jgan smpai brsatu 😂😂
2022-11-09
1
Bunda'ne Aqila
ibu itu suka nyesel saat abis ngebentak anak karena suatu kesalahan yang tak sengaja di perbuat abis itu minta maaf ke sang anak nyesel banget kenapa tadi kok gitu sikapnya ke sang anak
#karena aku juga pernah
2022-07-31
0
mia
punya sahabat tuh kaya rio sm nindya jgn yg beracun bwt rmh tangga ..
2022-07-30
0