Adzan magrib berkumandang, dua raga yang baru saja sampai langsung menjalankan ibadah. Sashi langsung meraih tubuh Shiza setelahnya yang mulai menggeliat, ia terjaga. Didudukkan raga chubby itu di ranjang sedang Sashi merebahkan diri memainkan ponselnya.
Tangan Sashi memang terus menggulirkan layar ponsel itu, tapi pandangannya terus melirik aktivitas lelaki yang tampak sibuk dengan laptopnya.
"Kak Aric diam saja! Dua hari kami tak bertemu, apa ia tidak rindu padaku? Tunggu! Mengapa aku lupa, aku kan sedang marah dengan kak Aric. Ia meninggalkanku dan Shiza dan memilih sibuk entah di mana dan apa yang ia lakukan. Bahkan kemungkinan besar ia bersama mbak Aruna. Hahh ... bagaimana tadi aku terus merasa bersalah! Kak Aric yang lebih salah, bukan aku! Lalu ... Apa yang harus aku lakukan padanya? Hemm ... baik aku tidak akan bicara padanya. Enak saja dia bersalah tapi melempar tuduhan padaku. Lagi pula aku dan Sam tak berbuat macam-macam. Kuingat-ingat tidak ada tuh kata-kataku yang menjelekkan kak Aric ... mengapa ia harus marah?"
Di kejauhan Aric tau Sashi sedang memperhatikannya. Ia berpura sibuk tapi hati itu penasaran hal apa yang sedang difikir Sashi.
"Bukankah ia sedang merasa bersalah? Oke, akan aku lanjutkan drama marah ku!" batin Aric.
Aric berdiri, ia menghampiri ranjang dan langsung naik, duduk disamping Sashi namun membelakanginya. Diraih tubuh mungil Shiza, ia terus berceloteh dengan putri kecilnya mengacuhkan Sashi.
"Ma Ma Ma .... Ta Ta taaa ...," ucap Shiza sambil sesekali tertawa merasakan Aric menciumi tubuhnya.
Aric menunggu Sashi bicara, biasanya ia akan terus melontar maaf jika berbuat salah, tapi kini tak jua ada kata maaf terucap. Sashi bungkam.
"Apa Sashi sedang mendiamkanku? Apa ia sudah sadar bahwa aku yang salah meninggalkan mereka 2 malam ini. Bagaimana ini ... aku sudah tidak tahan melihat wajah polosnya. Ingin mencium pipi itu rasanya. Aku harus menyapa Sashi!" batin Aric.
•
•
"Mengapa pergi tak meminta izin padaku!" ketus Aric tiba-tiba.
Sashi marah, tapi ia sadar telah bersalah tak meminta izin Aric. Ia berucap dengan ketus pula. "Lupa!"
"Apa dulu saat sekolah kerjamu terus menggoda lelaki, hem? Apa tadi yang kudengar, Sam menyatakan cinta padamu, kah? Jangan lupa kamu itu sudah menikah! Tidak patut berduaan dengan lelaki lain seperti tadi!" ujar Aric masih membelakangi wajah itu.
Sashi memang gadis 19 tahun yang polos dan sensitif. Hati itu lembut. Ia sedih mendengar Aric berasumsi yang tidak-tidak mengenai dirinya. Pun ia juga tidak lupa sudah menikah. Sashi memindahkan tubuhnya di hadapan Aric. Ia menatap lekat wajah suaminya itu.
"Kenapa Kakak bicara jahat! Aku tidak pernah menggoda laki-laki! Aku sekolah hanya untuk belajar! Aku juga sadar sudah menikah! Siapa yang tau Sam akan menyukaiku! Tapi aku sudah bilang pada Sam aku istri orang! Aku tidak pernah bicara buruk tentang Kakak, tapi Kakak terus berasumsi buruk tentangku! Kenapa aku selalu salah? Apa karena aku gadis kec------
Belum lagi Sashi selesai bicara, ditarik raga itu dalam dekapan tubuh Aric. "Jangan bicara lagi! Ma-af! Aku menggodamu, hanya menggodamu! Tidak sungguh-sungguh bicara itu! Maaf Sayang ... kamu gadis baik, aku tau kamu tidak mungkin lupa sudah menikah. Ma-af!" Aric merasa bersalah, tak tega melihat air mata yang mulai tumpah. Ternyata imbas kata-katanya begitu besar. Sashi begitu sensitif.
Sashi hanya diam dan masih menangis. Aric merenggangkan tubuhnya dan mengangkat dagu itu. Ia menatap pancaran ayu Sashi. Menangis sambil mengerucutkan bibir sungguh semakin membuat Aric gemas. Wanita yang dua hari ini ia rindukan, sudah ada di hadapannya. Ingin inginì bermesraan tapi justru kesalahpahaman yang terjadi. Aric merasa bersalah, sangat. Ia mendekatkan wajahnya ke pipi halus Sashi. "Sashi mau maafkan Kakak, kan?" Disapu lembut kepala itu.
Sashi hanya gadis polos yang mudah luluh dengan sentuhan dan kalimat manis. Pun sesungguhnya ia memang bukan tipikal pendendam, ia juga begitu mencintai lelaki di hadapannya. Ia bisa apa, merasakan sentuhan dan napas yang hangat di pipinya, desiran itu sudah menguasai.
"Ka-kak!" Mulutnya belum bicara memaafkan tapi tubuhnya spontan merespon perilaku Aric. Lengan Sashi mengunci kuat tubuh tegap Aric, sambil jemarinya terus meremas kaos oblong berwarna putih yang dikenakan suaminya itu.
Aric membaca respon tubuh itu. Ia menyapu air mata Sashi. "Aku cinta Sashi ... maaf sudah berprasangka! Aku dengar semua! Terima kasih tidak menanggapi ucapan Sam," bisik Aric. Sashi mengangguk. Aric masih menahan kepala itu, memindahkan posisi wajahnya berada di hadapan wajah Sashi.
"Aku cinta Sashi, sangat!" Aric seketika memagut bibir Sashi lembut, mereka saling berbalas, hingga di tengah permainan Sashi teringat.
"Bukankah aku sedang marah Kakak tidak pulang dua hari ini? Aku belum tau Kakak ke mana! Aku harus mempertanyakannya!" batin Sashi.
Sashi menahan wajah itu, Aric yang kaget melepaskan pagutannya. "Ka-kak tunggu!" lirih Sashi.
"Ada a-pa?" Suara itu terdengar berat, hasrat Aric sudah di ubun-ubun.
"Ada yang ingin aku tanyakan!"
"Tidak bisa nan-ti?" Aric mendekatkan wajahnya lagi, Sashi menahan wajah Aric.
"Tidak! Aku ingin bertanya dulu! Seka-rang!"
"Oke, katakan!"
"Kemana Kakak 2 hari ini? Apa Kakak memiliki wanita lain di belakangku?" tanya itu lugas terucap.
Hasrat itu seketika hilang, Aric kaget dengan ucapan Sashi. Istrinya itu terang-terangan menanyakan kemungkinan wanita lain. Jantung Aric berdetak cepat, ia tau belakangan Sashi ke rumah Aruna. Sashi mulai curiga padanya. Rasa takut itu ada, tak ingin Sashi semakin salah paham. Ia memang memiliki ikatan dengan Aruna, tapi hanya karena Ciara.
"Haruskah aku membuka segalanya pada Sashi? Bagaimana jika Sashi tak terima di madu? Yah ... walau aku tidak sama sekali menyentuh Aruna." Aric masih terus diam. Ia berpikir.
"Kakak kenapa diam? Ayo jawab!" tanya Sashi lagi.
Aric menatap wajah istri polosnya, menyapu pipi itu. "Aku akan bicara, tapi janji kamu tidak boleh memotong ucapanku!" lirih kata itu terucap, sesak di hati Aric memulai ucapan itu khawatir Sashi marah dan memberi jarak padanya, tapi kebenaran harus ia ucapkan.
Sashi mengangguk ragu. Ada rasa takut pula di hati itu mendengar kenenarannya. Tapi iya ingin tau, sangat ingin tau.
"Sash ... sebetulnya-----
Belum lagi Aric berucap ponselnya berdering. "Sebentar, Sayang!"
Aric menatap foto wajah di ponsel itu baru mengangkatnya. "Halo assalamu'alaikum ..."
"Wa'alaikumsalam ... Arr cepat ke rumah sakit! Cepat Sayang!"
"Ba-ik!" lirih kata itu terucap. Panggilan itu terputus. Aric masih bergeming.
"Siapa yang telepon, Kak!"
Aric menatap wajah Sashi, diciumi wajah itu sambil terus menarik napas panjang dan menghembuskannya.
"Ada a-pa, Kak?" ucap Sashi bingung. Aric tersenyum getir.
"Apa wanita itu menghubungi, Ka-kak?" tanya polos kembali terlontar. Sashi sangat yakin dengan asumsinya mengenai Aruna. Aric menatap wajah Sashi, ia merangkum dan menatap wajah itu lama.
"Aku harus pergi, akan kuceritakan padamu segalanya setelah aku kembali!"
"Ka-kak?" Sashi bingung, Aric lagi-lagi tidak gamblang bicara.
"Aku mencintaimu! Itu saja yang kamu fikirkan, oke!" Aric mencium kening Sashi, meraih tubuh Shiza, memeluknya erat dan menciumi wajah bocah kecil itu.
Tak lama kemudian bayang Aric sudah tak terlihat.
"Kakak meninggalkanku lagi! Kalau Kakak mencintaiku kenapa lagi-lagi memilih pergi. Pasti Kakak menemui wanita itu! Kakak akan menjelaskan segalanya saat kembali, aku harus bersabar. Tapi jika benar mbak Aruna benar maduku. Aku harus bagaimana?"
__________________________________________
☕Happy reading❤❤
☕Semoga nanti siang bisa up lagi😄😄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Muhyati Umi
kenapa aric sesayang itu ke Ciara. padahal cuar bukan siapa-siapa nya aric.
2022-08-23
0
Sutiah
bersabarlah Sashi,di sini aric tak sepenuhnya salah,mungkin bila aric berterus terang sama Sashi,akan lebih mudah Sashi mengerti.apa lg keadaan anaknya Aruna kritis begitu ya siapa pun pasti prihatin melihatnya
2022-05-28
0
InDah @uLi¥a
iy emang arick bs nahan g nyentuh aruna tp kslau dijebak emang bs nahan pa
2022-05-10
0