Tiga puluh menit berlalu, Aric tak jua bisa tidur. Jelas Sashi mengabaikan setiap sentuhannya hingga ia tertidur saat ini. Aric mengangkat tubuh, dilihat wajah polos 2 wanita tercinta setelah mama Kalina tentunya. Wajah Sashi tampak pucat, pewarna nude di bibir itu telah ia hilangkan beberapa saat lalu meninggalkan wajah tanpa make-up yang natural. Istri kecilnya itu memang cantik, baik dan polos.
Aric mencium bahu Sashi, aroma minyak telon bercampur bedak yang menjadi wangi Shiza tertempel di tubuh istri kecilnya itu. Ia senang dengan harum itu, sangat alami dan menenangkan. Ditahan kecupan di bahu itu beberapa saat hingga dilihatnya wanita kecil keduanya tampak melepaskan pucuk asi Maminya. Aric tersenyum. Mulut bayi mungil itu tampak masih terus bergerak seolah sedang menyusu, imut dan menggemaskan.
Perlahan tak ingin mengganggu tidur Sashi, dimasukkan benda kenyal penghantar dahaga Shiza itu ke dalam daster yang Sashi kenakan. Dipasang setelahnya 5 buah kancing yang sebelumnya terbuka. Sashi memang tak pernah menggunakan penutup bagian sensitif atasnya saat tidur, lebih leluasa katanya.
Aric mengangkat perlahan tubuh Shiza ke box bayi dan membaringkan tubuhnya di hadapan Sashi. Menatap wajah Sashi adalah hal yang tak pernah membuatnya bosan. Aric bergeming ... bayangan ia telah menyakiti Sashi sungguh menyesakkannya. Terlebih beberapa saat lalu diketahui bahwa Sashi baru saja ke rumah Aruna. Ya, ucapan Aruna telah dipastikan Aric melalui Ojo. Sashi benar-benar ke rumah Aruna.
Berbagai tanya berkumpul di otak Aric, mengenai dari mana Sashi bisa tau alamat Aruna dan bagaimana ia terfikir untuk ke sana, untuk apa dan bagaimana mungkin hal yang berhasil ia tutup rapat selama 5 bulan ini bisa diketahui Sashi.
Aric melingkarkan sebelah lengannya ke bahu Sashi, masih bisa merangkul gadis polosnya sungguh menyenangkan. Batin itu sesak. Rasa takut ditinggalkan itu ada. Bagaimana cinta yang akhirnya bisa tumbuh diantara keduanya setelah berbagai pilu itu terasa kuat menghujam jauh ke dasar hatinya. Hal yang dulu kerap ia hindari dan sangkal kini dengan gamblang ingin selalu ia tunjukkan dan ucapkan. Rasa yang dengan sadar telah ia campur noda di dalamnya, namun ia masih berharap besar rasa yang ada tak akan berubah walau noda membingkainya.
Aric mengutuki dirinya dahulu yang begitu dingin pada Sashi. Hari-hari yang banyak ia habiskan di balkon untuk menghindari Sashi justru membuat hati itu lancang terus mencuri pandang wanita lain yang kerap ia lihat dari balkon itu.
☕FLASHBACK 11 BULAN LALU
POV Alaric
Jam 7 pagi saat ini, seperti biasa kudengar pintu kamarku terbuka. Aku yang sedang mandi memilih fokus dengan aktivitasku tanpa mempedulikan orang yang kini lancang sering diam-diam masuk ke kamarku.
Kubuka sedikit pintu kamar mandi setelah aktivitasku selesai, kulirik ia yang perutnya mulai membuncit, ia yang sesuai agama adalah istriku tapi aku tak bisa menganggapnya begitu. Ia terlalu muda untukku, wajahnya saja masih sangat polos, terlebih ia mantan kekasih adikku, orang yang sangat dicintai adikku, sudah hamil darah dagingnya pula ... bagaimana aku bisa mencintainya?
Gadis itu awalnya kuperingatkan untuk tidak masuk ke kamarku. Hingga hari itu aku sakit dan ART-ku sedang pulang kampung, hanya ia satu-satunya yang bisa kumintai bantuan. Ia merawatku. Tapi maaf ia hanya sebatas adik, bukan istri untukku! Alasannya sudah jelas di atas tadi.
Setelahnya ia mulai lancang jadi sering ke kamarku, membuka tirai, merapikan tempat tidurku saat kumandi dan menyiapkan pakaian yang kupakai. Awalnya aku risih tapi kelamaan aku jadi mengandalkan kehadirannya.
Bagaimana kedekatan lainku dengan Sashi? Tak ada. Kami saling diam saat bertemu, sekedar melirik paling kulakukan untuk memastikan ia sehat. Pukul 7 malam saat kupulang kerja, aku akan langsung ke kamar. Setelah makan malam dan meliriknya sekilas, aku kembali ke kamar. Kadang aku sesak berdekatan dengannya, wajahnya selalu mengingatkanku pada kaysan, adikku.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku masih duduk di balkon kamarku, mengecek email masuk di laptop atau mengecek sosial mediaku. Hingga lagi-lagi terdengar suara yang sudah sangat kuhapal.
"Ahh ... sa-kit, Ma-ss!"
"Berikan ...! Berikan! Jualanmu habis kan hari ini? Mana uangnya, berikan padaku wanita bo*doh!"
Seperti biasa aku berdiri, ingin rasanya kutarik rambut lelaki itu dan kutinju wajah beringas yang tega memukuli istrinya hingga tak berdaya. Tapi kutahan, bagaimana pun aku warga baru di daerah ini. Tetangga sekitar pun agaknya berpura tuli akan aktivitas itu. Sangat terlalu!
Seperti biasa pula kulihat wanita itu dengan tak berdaya akhirnya menyerahkan uang dari dompetnya dan terus menangis di kursi teras itu. Ya, karena aku melihat dari atas, pemandangan yang tertutup pagar dari muka itu bisa kusaksikan jelas dari atas.
Kini dua bulan berlalu, aku masih saja sering menatap wanita itu. Wajah pilunya sungguh mengusikku. Alasannya jangan ditanya, tentu saja rasa empati sebagai manusia. Sebagai seorang lelaki aku turut merasa bersalah membiarkan tindakan biada*p lelaki yang memang suaminya itu selalu terjadi. Entah pernikahan macam apa yang mereka bangun, mengapa menikahi kalau hanya memberi kesakitan. Huhh ... hidup, malang benar nasib istri semacam itu!
Saat sarapan tiba, seperti biasa kami makan dalam keheningan, hingga wanita paruh baya yang biasa dipanggil mima oleh Sashi mengingatkanku bahwa hari ini adalah jadwal cek kandungan Sashi. Ya, walaupun hubungan kami kurang baik, setidaknya aku selalu bertanggung jawab setiap bulannya mengantar gadis masa lalu adikku itu untuk kontrol ke dokter.
Keadaan Sashi sudah pernah kuberitahu di bab sebelumnya, janin itu tak berkembang baik, berat badannya kurang dan Sashi pun terlihat kurang bersemangat hidup. Tak perlu kujabarkan lagi, intinya aku merasa bersalah atas keadaan Sashi, aku berusaha membayar kesalahan dan ketidakpedulianku dengan mulai memberi kasih sayang untuk gadis yang telah kunikahi itu beserta bayinya.
Pagi itu Sashi ke kamarmu seperti biasa, kini ia sudah berani berinteraksi padaku setelah kedua orang tua kami mendudukkan kami bersama dan mengingatkan pada kami arti sebuah pernikahan. Terlebih saat itu aku yang dengan sadar menerima tanggung jawab untuk menjaga Sashi, sebagai suaminya.
Sashi yang tau benih cintaku pada bayi dalam perutnya mulai tumbuh, menggunakan alasan itu untuk mulai membuang jarak antara kami. Pagi itu Sashi berucap bahwa bayinya sedang ingin makan nasi uduk yang dibelikan Papanya.
Awalnya aku memberengut, tidak suka wanita kecil itu mulai sering memerintahku, tapi janjiku pada kedua keluarga untuk mengembalikan mood hidup Sashi sungguh membuatku tak berdaya. Aku akhirnya mengiyakan inginnya.
Kuberjalan pagi itu melewati pagar, kulihat ada penjual nasi uduk di depan rumahku. Rumah yang sama di mana aku sering melihat pemandangan memilukan. Aku menghampiri.
Wanita dengan daster rumahan sebetis tak berselang lama ke luar. Wanita yang biasa kulihat dari balkon sedang terisak, kini terlihat tersenyum walau ada tanda kebiruan di pipi itu. Ia bersikap ramah seolah tak memiliki beban. Aku terus menatapnya sedang menyiapkan nasi uduk yang kupesan. Wajah itu cantik dan tampak dewasa walau tanpa make up. Tubuhnya juga tinggi proposional. Secara fisik, model seperti inilah yang kuinginkan menjadi istriku.
Aku tertawa dalam hati, lupa bahkan aku dengan sadar telah menerima tanggung jawab pada Sashi, bagaimana mungkin aku memikirkan wanita lain, apalagi ia istri orang.
"Istri Mas, sedang hamil, kan? Sudah berapa bulan?" Wanita berdaster itu melontar tanya. Kami bertetangga tentu ia tau tentangku dan Sashi.
"Kandungannya sudah jalan 7 bulan. Bahkan bayi kami katanya yang menginginkan nasi uduk ini!" Kata-kata itu mengalir begitu saja. Wanita itu tersenyum agak aneh, tapi kubiarkan saja.
Kulihat ada anak perempuan sekitar 7 tahun dalam rumah itu, cantik memang seperti ibunya, tapi agak pucat. Wanita itu bilang anaknya memang kurang sehat dan makannya susah. Ia terus melihatku kala itu, aku tersenyum untuk memberi semangat padanya.
Itulah percakapan awal kami, setelahnya kami jadi sering melempar senyum saat bertemu. Tapi aktivitas di balkonku tak pernah berubah beserta drama yang kerap lagi-lagi kudengar dan membuatku pilu serta kasihan. Yang berubah adalah setelah hari itu ia jadi sering melihat ke atas di mana ada aku di sana.
Di suatu hari di tengah hujan deras, sebelum pulang ke rumah aku mampir ke sebuah cafe untuk menghangatkan diri, meneguk campuran kopi panas yang begitu nikmat. Dari dinding kaca cafe itu aku melihat tetanggaku. Pria yang kerap selalu memukuli istrinya ada di muka sebuah pusat perbelanjaan bersama wanita dengan banyak paper bag di tangan. Sebuah mobil datang dan mereka masuk. Kuteguk habis kopiku dan aku gegas pulang ke rumah.
_________________________________________
☕Segini dulu ya ... nanti dilanjut lagi😊
☕Happy reading❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
InDah @uLi¥a
fix,,,, mulai saat ini q g mau makan nasi uduk TITIK.
2022-05-10
0
Eti Rahmawati
apa bedanya kamu sama suami aruna,sama sama laki laki tak punya hati
2022-05-09
0
Ulfrida Marlianawaty
terlalu byk flasbackx
2022-05-04
0