Sashi berjinjit dengan jemari melingkar di leher Aric. Senyum itu mengembang menampilkan deretan gigi putihnya, sangat cantik.
"Apa lagi, hem? Aku harus bekerja anak nakal!" Jempol dan telunjuk Aric bersinergi menekan hidung mungil itu.
"Kakak sakit!" Setelah jari-jari lentik Sashi memijat-mijat hidungnya membuang sisa sakit itu, lengannya kembali ia kalungkan ke leher Aric.
"Sudah, ya? Aku harus bekerja!" Aric menempelkan bibirnya ke kening Sashi. Mengecup dan melepaskannya.
"Yang ini belum, Kakak!" ucap Sashi menunjuk bibirnya. Aric tersenyum menarik pinggang itu hingga tubuh mungil itu tak berjarak dari tubuhnya.
Cup ....
"Aku tidak mau sebentar! Kiss yang lama seperti subuh tadi, Kak!"
"Kamu itu kenapa, hemm? Senang sekali menggodaku kini! Jangan paksa aku melakukannya, Sash ...! Atau kita tidak bisa membiayai Shiza sekolah karena Papanya malas bekerja dan hanya sibuk membuat seprei berantakan," bisik Aric yang langsung membuat Sashi terkekeh.
"Ya sudah sana Kakak berangkat! Kakak tidak asik!" Aric kini yang tersenyum sembari terus menggelengkan kepalanya.
"Kak ...." Baru raga itu melewati pintu utama, Sashi sudah memanggil.
"Apa?"
"Nanti jangan pulang larut, please!" Rona ceria seketika berubah menjadi rona mengiba. Mata bulat itu menatap lekat wajah Aric. Aric diam seribu bahasa. Ia kembali maju dan mendekat, ia menyapu kepala itu. "Aku usahakan!"
Sashi masih duduk di teras mematung padahal mobil Aric telah pergi beberapa saat lalu. Hati itu bersedih.
"Kemarin kakak juga bilang akan diusahakan, tapi mana? Kakak juga pulang tengah malam! Kakak jahat! Seminggu ini tak kurang-kurang aku sudah menggoda dan melayani kakak, tapi tetap saja kakak selalu pulang telat! Ke rumah mbak Aruna pasti! Tidak salah lagi! Kenapa kakak sangat pandai menutupi semua! Apa yang membuat kakak masih mencari yang lain! Apa karena aku hanya gadis kecil untukmu? Ya ... sejak awal kakak hanya menganggapku sebagai gadis kecil!" Sashi terus memberengut di muka dan abai pada sekitar.
•
•
"Ini kamarmu mulai sekarang, masuk dan istirahatlah!"
"Dan Ka-kak?"
Wajah Sashi bingung, 3 hari sudah mereka dinikahkan. Setelah akad nikah hari itu, ia dan keluarganya di tinggalkan keluarga Aric untuk mengurus pemakaman Kaysan. Malam ini akhirnya Aric datang menjemput dan membawanya ke rumah yang menurut Aric adalah tempat tinggal mereka.
"Itu kamarku! Tapi ingat jangan pernah masuk ke dalam tanpa mendapat izinku. Paham!" ucap Aric menunjuk sebuah ruangan di sebelah kamar Sashi. Sashi bergeming. "Bocah kecil ... kamu paham ucapanku, kan?" tanya itu terlontar lagi.
"Eh ... i-ya, Kak." Baru saja raga itu berbalik, Sashi sudah memanggil Aric.
"Kakk!"
"Ada apa?"
"Aku ta-kut!" Aric menatap pancaran wajah itu dari atas ke bawah.
"Kamu bukan anak kecil! Sebentar lagi bahkan akan menjadi ibu, harus berani!"
"Ta-pi, Kak-----
Suara Sashi seperti angin lalu, Aric tetap berjalan menjauh tak menghiraukan ucapan Sashi. Sashi akhirnya memberanikan diri masuk. Ia yang di rumah orang tuanya masih sering tidur dengan mima merasa tak tenang. Dibalik tubuhnya ke kanan dan kiri namun netra itu seakan tak bisa terpejam.
Membusan angin menggoyangkan tirai membuat bulu kuduknya meremang, lemari dan barang-barang bak raksasa yang siap menerkam, Sashi takut berada dalam kamar besar yang asing itu.
Ia berusaha menutup mata, dibacanya doa dan surat-surat pendek yang mima sering ajarkan padanya, tapi ia tetap belum bisa tidur. Dibayangkannya hal-hal indah saat menghabiskan waktu dengan orang tuanya, bukan mengantuk justru kerinduan yang Sashi rasa. Ia ingat-ingat setelahnya kebersamaan dan kasih sayang yang Kaysan beri. Hati itu justru teriris mengingat lelaki yang selalu ada untuknya itu tak berumur panjang dan telah meninggalkannya. Sashi menangis dan terus terisak di balik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia letih menangis ... hingga akhirnya ia tertidur.
Bukan sehari atau 2 hari ia mengalami itu tapi 5 bulan ia selalu kesepian setiap malamnya.
"Kakak ... kakak ...! Jangan pergi Kak! Aku takut. Kay ... kembali Kay ... Jangan tinggalkan aku ... Kay ... Kay ....!"
•
•
"Mbakk ... bangun Mbak ... mbak Sashi ... Mbak, Mbakk ...! Itu Shiza nangis, Mbak!"
"Ahhh ...."
"Alhamdulillah Mbak bangun juga. Mbak ... kenapa tidur di sini?"
"Bayangan kesepian saat awal-awal tinggal di rumah ini kenapa kembali muncul, aku tidak ingin kesepian lagi, tidak mau ...! Kay juga ... mengapa kamu harus pergi, Kay!" Bukan menjawab tanya Sumi, Sashi malam melamun. Terpaksa Sumi kembali menyapu bahu itu.
"Eh Bik ...."
"Mbak ayo buruan ke kamar! Non Shiza sudah bangun dan ia menangis di atas!"
"Oh ... aku memang ibu yang buruk! Aku bahkan lupa memiliki putri dan asik tidur di sini! Bodoh sekali kau Sashi," monolog Sashi sambil melangkah menuju lantai atas.
Sashi memang gadis penurut, seminggu sudah ia enyahkan rasa malu itu hanya demi menyenangkan Aric, tapi kenyataan tak sesuai harap. Kebutuhan itu sudah dipenuhi, namun Aric tak berubah! Lagi-lagi rembulanlah yang menjadi saksi kepulangan Aric. Pun Sashi sedih, hingga bayangan kesepian masa lalu kembali hadir.
Setelah memandikan dan menyuapi Shiza, Sashi mendudukkan Shiza dan membiarkan gadis kecil itu bermain sendiri. Sashi mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
"Mimaaa ...!"
"Ucapkan salam dulu, Sayang!" Seperti biasa suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan.
"Assalamu'alaikum, Mima."
"Wa'alaikumusalam cantikku Sashi! Bagaimana suamimu sudah sering ada di rumah, bukan? Ia tak pernah pulang terlambat lagi kan, Nak?" tanya Mima.
"Aku sudah kerahkan kemampuan yang kupunya untuk melayani kak Aric, Mima. Bahkan aku sampai searching artikel bagaimana cara menyenangkan pasangan. Kak Aric sih aku lihat puas. Tapi ia tetap pulang larut, Mima! Sebal!"
Sashi memang tetap gadis belia yang dipenuhi sifat polos dan apa adanya. Ia seperti biasa terus berbicara apa saja yang ada di otaknya pada Mima. Mima pun seperti biasa menyimak dengan kesabaran penuh.
"Sash ...!"
"Iya Mima?"
"Apa yang kemarin Mima minta sudah kamu lakukan?"
"Apa itu, Mima?" Alis itu berkerut tampak Sashi berusaha mengingat apa yang Mima maksud.
"Pakai pakaian yang menyenangkan suami dan berhiaslah!"
"Aku malu, Mima!"
"Cobalah Sayang ...!"
"Hemm, o-ke."
_________________
Malam tak terasa semakin larut, jam menunjukkan pukul 1 dini hari saat suara mobil masuk ke pelataran. Tak berselang lama pintu kamar terbuka. Sashi yang mengantuk hanya memastikan suaminya sudah pulang dan ia kembali tertidur.
Matahari merangkak naik, setelah berbagai aktivitas di pagi hari, Aric bersiap ke kantor. Ia bingung Sashi tak jua turun sejak menghabiskan sarapan dan izin ke kamar lagi tadi.
Aric naik ke kantai atas, di buka pintu itu bersamaan Sashi yang ingin ke lantai bawah. wajah itu bertemu. Aric kaget melihat wajah ayu nan polos yang mengisi hari-harinya kini tampak berbeda. Wajah full make up dengan pewarna bibir yang mencolok menghias wajah Sashi. Sungguh bukan seperti Sashi! Aric menggeleng-geleng kepala, ia marah!
Didorong tubuh itu hingga membentur dinding. "Ka-kak!" Dada Sashi berdetak cepat, pancaran wajah Aric berbeda. Tanpa aba-aba Aric menyatukan bibir keduanya, menghapus warna itu tak tersisa, Aric melakukan dengan kasar tak seperti biasa, bahkan digigit bibir itu hingga menimbulkan sakit.
Sashi mengerang, ia tak nyaman dan tak suka diperlakukan seperti itu. Didorong dan terus dipukul-pukul dada tegap itu agar menghentikan aktivitasnya. Sashi menangis. Aric baru melepaskan pagutannya.
Tubuh Sashi ambruk ke lantai saat Aric melepaskan kungkungannya. "Kakak jahat!"
Aric turut duduk di lantai di samping Sashi. Sashi menghadapkan tubuhnya ke arah Aric. Dipukul-pukul kembali raga tegap itu. "Sakit! Kakak menyakitiku!" Air mata itu masih terus menetes.
Aric mengangkat dagu Sashi. "Jangan lagi berhias seperti ini! Kamu tak ubah seperti wanita mura han! Aku tidak suka!"
"Ka-kak .... Aku fikir Kakak akan suka."
"Bibir tanpa pewarna seperti ini aku jauh lebih suka! Paham?" Sashi mengangguk sambil terus terisak.
"Jadilah dirimu sendiri! Aku cinta kamu apa adanya! Kepolosanmu sudah melengkapiku." Kata itu terucap lirih. Aric menyapu air mata yang masih mengalir. "Maaf kalau caraku menasehatimu salah!" Ditarik kepala dengan rambut panjang tergerai itu ke dadanya.
"Kamu paham maksudku, kan?" Sashi terus mengangguk di dada Aric.
"Ternyata kak Aric tak suka aku berdandan berlebihan! Apa aku tidak salah dengar tadi? Kak Aric bilang mencintaiku apa adanya, kah? Kakak ... jika memang seperti itu, kenapa harus memasukkan mbak Aruna di tengah hubungan kita!" batin Sashi.
Aric merenggangkan tubuhnya. "Tunggu di sini!"
Raga tegap itu menjauh dan kembali dengan kapas yang dibubuhi betadin. Di sapu sudut bibir Sashi yang terluka. Ia menarik napas berkali-kali melihat wajah meringis Sashi.
"Kalau kamu memang ingin berhias, beri warna natural dan soft saja di sini!" Aric menunjuk bibir. Sashi mengangguk
"Pewarna di sini tidak perlu ada!" Aric kini menunjuk pipi Sashi. Kembali Sashi mengangguk.
"Di sini juga tidak perlu!" Kelopak mata Sashi disentuh Aric!" Kepala Sashi lagi-lagi mengangguk.
"Di sini boleh tipis saja, tapi tidak diberi apapun lebih baik. Alismu sudah bagus!" Alis Sashi kini yang diamati Aric. Sashi dengan menurut kembali mengangguk.
"Intinya tanpa berhias kamu sudah cantik!" Wajah memberengut sebelumnya berubah merona, senyum itu hampir saja lepas tapi ditahan Sashi.
Aric menempelkan hidungnya ke hidung Sashi. "Sekali lagi maaf!" ucapnya. Sashi spontan mengangguk.
"Baik aku akan berangkat! Kalau nanti jadi ke Mini market, hati-hati dan langsung kembali, oke!" Baru saja Sashi hendak mengangguk, jemari Aric menahan kepalanya.
"Tidak lelah sejak tadi mengangguk terus? Jawab dengan kata-kata, aku ingin dengar suara manjamu!"
"I-ya, Ka-kak!" Aric tersenyum dan berbalik.
"Kak ... tunggu!"
"Apalagi?"
"Bibir Kakak merah, cuci dulu sana!"
_________________________________________
☕Happy reading❤❤
☕Jangan lupa like, comen dan vote karya ini! Kudu, harus, wajib😄😄
☕Bab selanjutnya ada mbak Aruna
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Pipit Sopiah
kamu harus bisa sahsi
2022-07-22
0
InDah @uLi¥a
main cantik aja sashi 😁
2022-05-10
0
Eti Rahmawati
langsung baca maraton
2022-05-08
0