Seperti di bab lalu yang sudah pernah ditulis, dokter memintaku sering menengok calon bayi kami. Hal tabu bagi kami berdua yang belum pernah melakukan itu dan memang belum boleh melakukannya sampai kami dinikahkan lagi usai Sashi melahirkan akhirnya kami terabas. Kami dengan keikhlasan yang salah telah melakukan hubungan itu.
Hahh ... gadis kecil itu telah berhasil menguasaiku. Ia membuatku tak bisa menahan hasrat tatkala tubuh berbalut daster snoopy tanpa menutup bagian sensitif atas terus memelukku dalam tidurnya. Aku yang biasanya bisa menahan, tidak malam itu. Ya, kata-kata menengok bayi yang diucap dokter terus memutari otak dan membangunkan sisi kelakianku.
Setelahnya jangan ditanya, walau ingin selalu melakukannya lagi tetap aku tahan hingga akhirnya nanti kami menikah lagi, begitu menurut orang tua kami.
Sashi akhirnya melahirkan, ia gadis polos yang blm tau menahu perihal merawat bayi bingung, pun aku demikian. Mima wanita yang mengasuh Sashi sakit, anaknya menjemput. Bunda Aira hanya menetap satu minggu dan segera kembali karena banyak orderan catering. Mama Kalina dan Papa Rico orang tuaku sedang melebarkan bisnis ke luar negeri. Tinggallah aku dan Sashi yang bingung.
Dalam kebingungan, entah mengapa aku teringat Aruna. Ia sudah pernah merawat anak, tentunya tau bagaimana merawat bayi. Ya, dengan memperkerjakannya kami secara tidak langsung membantu perekonomiannya pula.
Kuutarakan niatku pada Sashi, ia senang karena artinya ia akan bertemu Ciara temannya setiap hari. Ia menerima usulku, pun ia juga ingin membantu perekonomian tetangga kami itu agar mereka bisa hidup lebih baik.
Aruna mulai sering ke rumah kami, ia sangat telaten mengajarkan Sashi memandikan Shiza, menyusui, menggendong, menematkan pakaian, dan aktivitas lain yang berhubungan dengan Shiza. Ia akan pulang ke rumahnya, dan kembali ke rumah kami di jam-jam menyusui Shiza. Ya, Aruna datang untuk memberi support Sashi yang sering menyerah saat menyusui lantaran sakit katanya. Berbeda dengan Ciara, ia tak ingin pulang, ia senang berada di rumah kami, memutari rumah, bercengkrama dengan Sashi dan ia senang menciumi dan tidur dekat Shiza. Terlebih jika aku pulang, Ciara akan langsung mencium tangan dan memelukku. Agak aneh memang, tapi dia gadis kecil yang polos yang belum memahami apa pun. Aku mengiyakan saja, namun yang lebih mencengangkan saat Ciara ikut memanggilku Papa sebagaimana Sashi membahasakan panggilan itu untuk Shiza.
Tidak ada interaksi khusus antara aku dan Aruna, kami hanya saling tersenyum, walau kulihat ada yang berbeda darinya, ia jadi sering menggunakan pewarna bibir. Dia memang cantik, ditambah pewarna itu tentu lebih cantik. Tapi tetap Sashi dan Shiza adalah prioritasku, terlebih melihat bagaimana Sashi berjuang melahirkan. Gadis kecil itu ternyata bisa, ia berhasil melahirkan normal, ia telah menjadi ibu.
Sebulan berlalu, malam itu aku tidak bisa tidur, suara pria berteriak-teriak sungguh mengusikku. Siapa lagi orang itu kalau bukan Bagas yang sedang mabuk. Kutatap Sashi tidur sangat pulas, pun demikian Shiza. Ya, Sashi sudah ikut tidur di kamarku setelah melahirkan. Aku mengangkat tubuh dari pembaringan menuju balkon. Kulihat Bagas sedang mengucapkan sumpah serapah pada Aruna. Bagas juga berkali-kali mengucapkan kata cerai. Ia melempar tas ke hadapan Aruna. Kulihat Aruna menggandeng Ciara dan meninggalkan rumah itu dengan derai tangis.
Tak berselang setelahnya 2 lelaki tegap datang menggembok rumah itu. Entah apa yang terjadi pada mereka, tapi kepedulian itu ada. Ya, karena Aruna telah membantu Sashi sebulan ini. Ia yang sering mondar-mandir rumah kami sudah seperti kerabat.
Entah apa yang menggerakkan kakiku malam itu, sepasang kaki ini ingin terus melangkah ke luar. Segera kuminta Ojo membuka pagar dan aku dengan cepat mengeluarkan mobil. Aku sungguh hawatir dengan Aruna dan Ciara. Wajah pucat gadis kecil itu terus menarik ragaku untuk mengikuti mereka.
Aku terus melajukan mobil sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mencari bayang yang mengusikku. Hari semakin larut, hanya lampu jalan penerangku, jalanan itu sepi ... hanya ada beberapa kendaraan yang melaju.
Bayang 2 orang itu masih belum kuketahui keberadaannya. Aku terus melajukan mobil, hingga di atas sebuah rel pandanganku terhenti. Aruna dan Ciara berjalan di atas rel, dadaku sesak seketika, bukankah itu sangat berbahaya? Bagaimana mungkin Aruna begitu bodoh, apa yang ada di otaknya? Bukankah hal itu membahayakan nyawa keduanya?
Kuparkir kendaraanku, aku berlari ke arah keduanya. "Runa ... Runa ... berhenti! Apa yang kamu lakukan, Run?"
Aruna agaknya tidak mendengar, ia terus melangkah. Aku berlari semakin dekat sambil terus memanggil namanya dan Ciara. Ciara menoleh dan berteriak. "Papa ...." Ia yang ingin berlari ke arahku langsung ditahan Aruna.
"Kenapa Mas Aric di-sini?" Pipi itu nasih basah, bulir terakhir agaknya baru saja menetes.
"Apa yang kamu lakukan, Run! Ini berbahaya! Kamu membahayakan nyawamu dan Ciara!"
"Bukan urusan, Mas! Ini hidupku, terserah apa yang akan kulakukan untuk hidupku!" tegas kata itu terucap namun bulir itu tak berhenti, terus saja mengalir seolah luka itu begitu dalam.
Aric kembali teringat pemandangan yang kerap ia lihat dari balkon kamarnya, isakan dan tangisan seperti ini, iya ... sama persis. Raut kepedihan yang seketika disingkirkan saat pagi menjelang, bahkan saat Runa berada di rumahku. Ia bersikap biasa tanpa beban, tersenyum dan berbincang. Tapi malam ini wajah asli itu ke luar, wajah pilu yang tertahan. Aric menaric napas itu dalam. Satu kata dalam hati itu, kasihan!
"Jangan berdiri di sini Run, ini berbahaya. Kamu bisa membagi masalahmu denganku! Kita teman bukan? Seperti halnya kamu berteman dengan Sashi, bagaimana? A-yo ...!"
Kuulurkan jemariku berharap ia meraihnya namun ia bergeming kembali berbalik dan berjalan.
"Berhenti Runa!" Ia kaget akan teriakanku dan berhenti seketika. Aku maju mengambil posisi di hadapannya.
"Pulang! Hadapi masalah dengan kepala dingin! Tidak seperti ini!" lirihku berucap.
"Pulang ke mana, Mas? Bahkan rumah itu sudah dijual mas Bagas untuk membayar kekalahan berjudinya! Aku tidak punya tempat tinggal! Aku lelah hidup seperti ini! Usiaku sudah 26 tahun, haruskah aku masih merepotkan ibuku yang bahkan untuk hidupnya sendiri saja susah!"
"Oke ... kita bicara dulu dengan tenang! Tidak bicara di sini!" ucapku sambil mengedarkan pandang khawatir ada kereta datang.
"Pergilah Mas, tidak perlu iba pada hidupku! Aku sudah letih hidup seperti ini, aku ingin mati saja!" Aruna menunduk dalam. Aku semakin bingung setelah mendengar kata-katanya.
"Jadi ia sedang berniat bunuh di-ri, kah?"
"Jangan bicara seperti itu, Run. Menghilangkan nyawa itu dosa besar! Ingat pula Ciara, usianya masih sangat kecil, hidupnya masih panjang!" Aruna terus menggeleng.
"Mas tau apa? Bahkan hidup Ciara juga tak lama lagi!"
"Mak-sud-nya?" bingungku.
"Ia mengidap leukimia. Perawatan itu panjang, bahkan aku tak memiliki kartu jaminan kesehatan untuk Ciara. Membayangkan serangkaian pengobatan itu aku pusing. Untuk bertahan hidup saja susah! Bagaimana ini, Mas? Hidup Mas enak, uang banyak, rumah besar. Kebahagiaan dan apa pun bisa dengan mudah Mas dapatkan. Tapi kami? Tidak untuk kami, Mas!"
"Ikut pulang denganku! Aku akan bantu pengobatan Ciara!" Aruna menggeleng.
"Tidak perlu berempati pada kami! Bahkan aku akan disebut sedang memanfaatkan harta, Mas! Cercaan buruk akan selalu melekat padaku!"
"Tidak begitu! Ini kemanusiaan!" Aruna terus menggeleng.
"Biarkan kami mati saja, Mas! Ini keputusan finalku! Mas pulanglah! Biarkan kami mendatangi pencipta kami melalui jalan ini!"
"Sadar Runa, sadar!" Kugoyangkan bahu itu, berusaha menyadarkan cara pandang Aruna. Aruna menunduk, terus terdiam.
Aric bingung di kejauhan suara kereta datang mulai mendekat. "Runa ayo kita pergi!" ditarik lengan itu dengan kuat, namun Aruna dengan kuat pula menahannya.
"Kita bisa mati di sini, Run!"
"Mas pergilah, aku memang ingin mati!" lirih kata itu terucap. Aruna meraih tubuh Ciara dan menggendongnya. "Kita akan bahagia setelah hari ini, Sayang!" lirih suara Aruna kudengar.
"Ini salah, Runa!" Ayo .... Ayo ...!" Aku semakin panik.
Aruna yang sejak tadi menunduk terdiam pasrah seketika mengangkat kepala melihat kepanikanku.
"Jika Mas bersikeras, aku akan mendengar Mas, tapi aku punya syarat!" Mata pilu itu kulihat seketika membulat.
"Katakan apa!" teriakku melihat gerbong kereta itu semakin jelas di belakang Aruna. Aku masih berusaha menarik lengan itu tapi pertahanan Aruna sungguh kuat.
"Nikahi, aku!"
Aku yang panik bertambah bingung, kata-kata Runa tak masuk akal tapi aku juga tak bisa membiarkan dia mengakhiri hidupnya seperti ini. Akan merasa berdosa aku membiarkan dua jiwa hilang di depan mataku. Entah kekuatan apa yang kembali menarikku. Kereta itu sudah sangat dekat. Aku akhirnya mengangguk. Kutarik dua raga itu ke samping setelahnya tanpa penolakan.
FLASHBACK OFF
__________________________________________
☕Happy reading😘
☕Konflik akan segera dimulai ya😊
☕Ditunggu supportnya selalu❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Juan Sastra
sebuah kebodohan yg di manfaatkan..nikmatilah aric
2023-05-09
1
Muhyati Umi
Aric plinplan uga. laki2 dewasa tapi labil
2022-08-23
0
Qorie Izraini
emang fasar ...
di ksh hati minta jantung
2022-06-14
0