☕FLASHBACK 8 TAHUN LALU
Seorang gadis berjalan lunglai, usianya menginjak 18 tahun saat ini. Ia memasuki satu toko ke toko lain berusaha mencari kerja tapi belum juga mendapatkan. Ijazah SMP yang ia miliki agaknya membuat setiap pemilik usaha berfikir dua kali untuk mempekerjakannya.
Matahari semakin meninggi, perut yang belum diisi sejak pagi agaknya minta dipenuhi haknya. Apalah daya untuk membeli sebungkus roti pun uang tak ada, ia memilih menahan rasa perih itu. Tiba-tiba dilihatnya kertas tertempel di muka kaca sebuah rumah makan padang. Perih itu seketika hilang, bungah ia rasa saat beberapa kalimat dalam kertas selesai dibacanya. Jelas tertulis di sana rumah makan padang itu membutuhkan karyawan.
Ia merapikan pakaian dan pantulan wajah dari kaca itu baru kemudian masuk. Seorang laki-laki muda berkulit hitam dengan tubuh jangkung menghampiri.
"Mau pesan makanan, Mbak?" tanyanya.
"Ehh ... bukan, Mas. I-tu ... saya mau melamar pekerjaan yang tertera di kertas i-tu." Sang gadis menunjuk kertas di muka etalase.
"Ohh ... mau ngelamar kerja, ya?" Gadis itu mengangguk. "Ayo ikut saya bertemu pemilik rumah makan ini!"
Gadis itu terus mengekor lelaki di hadapannya. Berkali lelaki itu melirik sang gadis, raut cemas terlihat jelas. Lelaku itu iba, ia memulai pembicaraan untuk membuang ketegangan gadis itu. "Sudah pernah kerja di mana?"
"Belum pernah, Mas! Biasanya bantu ibu jualan nasi uduk, tapi karena adik sakit jadi ibu fokus mengurus adik."
"Ohh ... siapa namamu?" tanya sang lelaki lagi-lagi sambil melirik gadis dengan pancaran ayu tersebut.
"Aruna, Mas!"
Langkah lelaki itu tiba-tiba berhenti, membuat tubuh Aruna hampir berbentur dengan punggung sang lelaki jika saja Aruna tak sigap berhenti juga.
"Aku Yuda. Panggil nama saja, jangan sungkan!"
"I-ya mas Yuda, eh ... Yuda," lirih Aruna, ia yang sopan tampak sungkan memanggil nama itu. Yuda tersenyum.
"Itu ruangan Uni Farida pemilik rumah makan ini, kamu ketuk dan masuk saja!" Baru Aruna hendak melangkah Yuda memanggil.
"Run ...." Aruna menoleh.
"Jangan panik, santai aja! Uni baik kok orangnya." Aruna mengangguk.
•
•
"Jadi kamu putus sekolah?" Aruna mengangguk. Wanita bernama Farida, namun biasa di sapa Uni itu melontar tanya. Ditatapnya penampilan Aruna dari atas ke bawah.
"Kamu boleh bekerja mulai hari ini dengan gaji di akhir bulan seperti halnya karyawan lain," ucap Farida.
"Unii ... ma-af sebelumnya, apa bisa saja ambil gaji saya setiap hari?"
"Alasannya?"
"Adik saya sakit, saya butuh uang untuk membeli obat juga untuk makan sehari-hari kami, Unn." Kata itu terdengar lirih, sangat lirih. Hampir tak terdengar. Ada rasa takut di hati Aruna menyampaikan keinginan itu. Ia lancang, ya ... ia yang bahkan baru diterima kerja sudah mengajukan keinginan.
Farida terdiam, mata itu menyipit merasa gadis di hadapannya bersikap kurang sopan. Tapi, ia pun melihat raut kepedihan di wajah itu. Ia akhirnya mengiyakan.
_______________
Dua bulan berlalu, terpogoh hari itu Aruna menuju Rumah sakit tempat adiknya di rawat. Hati itu senang, ia baru saja diberi bonus oleh Farida karena keuletannya. Dokter yang beberapa hari lalu memantau perkembangan Adelia atau disapa Adel memang meminta pihak keluarga membeli beberapa obat yang tidak di cover dari jaminan kesehatan yang dimiliki keluarga Aruna.
Pintu bangsal ruang perawatan itu dibuka. Gadis berusia 14 tahun terbaring tak berdaya dengan berbagai selang di tubuhnya. Wanita paruh baya yang baru saja menyelesaikan ibadahnya segera berdiri melihat sang putri tulang punggung keluarganya kembali.
"Ibuu," sapa Aruna. Dicium punggung tangan Yang mulai mengeriput itu.
"Arunaa ...." Tak disangka Anisa ibunda Aruna seketika menangis.
"Ada apa, Buu?" Aruna menatap pancaran lelah juga pilu di wajah Anisa. Ia bingung.
"Tadi dokter ke mari, Nak. Katanya kanker darah Adel sudah akut. Tubuhnya sudah tidak bisa dilakukan kemoterapi. Bahkan trombositnya masih saja tinggi. Salah satu cara agar Adel pulih adalah dengan transplantasi sumsum tulang belakang." Anisa terus menangis, mencurahkan kesedihan itu pada Aruna.
Anisa mendekati ranjang Adel setelahnya. "Adel, Adel putri ibu ... Kuatlah Sayang ... Adel harus kuat, Nakk!" Air mata itu menganak sungai tak terkendali. Anisa terus menangis memeluk Adel yang sedang tertidur setelah suster memberikannya obat beberapa saat lalu.
"Ibu ... ibu jangan begini, kita akan mengusahakan pemulihan Adel!"
"Bagaimana itu, Nak? Bahkan kata dokter prosentase kecocokan sumsum tulang anak dan ibunya hanya 0,5%. Ada kemungkinan 20% dari saudara kandung, tapi bahkan kamu belum genap 18 tahun, Nak ...." Suara itu terdengar sangat pilu, Anisa sangat bingung.
"Aku akan mendonorkan sumsum tulangku, Bu!"
"Tidak, Nak! Usiamu masih sangat muda, lagi pula ibu tidak akan membiarkanmu menanggung resiko itu. Umurmu masih panjang."
"Runa sehat, Bu! Aku akan menemui dokter sekarang juga dan memintanya mengecek sumsum tulangku!"
"Runa tunggu!" Ibu berlari dan menahan pintu itu.
"Tidak Sayang, ibu tidak bisa membiarkan kedua putri ibu terbaring di ranjang operasi. Ibu takut kalian berdua keluar dalam keadaan tidak baik. Tidak, Runa!"
"Bu ... setidaknya aku akan mencobanya!"
Aruna tak bisa ditahan, berbekal uang bonus yang diterima, ia melakukan serangkaian pengecekan atas pemantauan dokter esok harinya. Hasil itu mencengangkan, sumsum tulang keduanya tak cocok. Ibu Aruna menceritakan bahwa Aruna dan Adelia berasal dari ayah yang berbeda. Keduanya bertambah pilu.
Hari-hari berikutnya Aruna terus mencari informasi melalui rekan pintarnya. Didapati bahwa transpalansi juga bisa dilakukan dari orang asing yang memiliki kecocokan dan bersedia mendonorkan sum-sum tulang belakang mereka.
Pun Aruna berkonsultasi pada dokter. Setelah memastikan tidak akan ada dampak bagi pendonor, ia pun gencar menghubungi rekan-rekan sekolahnya dulu, meminta bantuan dari mereka. Banyak dari teman Aruna yang menolak karena dilarang orang tua, namun ada beberapa yang setuju. Tapi untuk menanggung biaya pengecekan mereka tidak mampu. Maklumlah sekolah dan tempat tinggal Aruna berada di sekitaran penduduk dengan ekonomi rendah.
Atas bantuan Yuda, Aruna mendapat pekerjaan di cafe dengan gaji lebih banyak dari pekerjaan di rumah makan. Aruna mengumpulkan uang untuk membiayai pengecekan sum-sum tulang belakang teman-temannya, namun semua nyatanya nihil. Tak ada satu pun sum-sum tulang mereka yang cocok dengan Adel.
Aruna tak patah arang, ia mencari keberadaan ayah biologis Adel yang telah bercerai 5 tahun silam dengan ibunya. Atas bantuan Yuda, Aruna mengetahui bahwa Ayah Adel sudah meninggal, tapi Adel memiliki Kakak sedarah dari pernikahan Ayahnya dengan wanita lain sebelum menikah dengan Anisa.
Aruna menemui Kakak Adel, tapi ia bersikukuh tak ingin menolong. Khawatir berdampak buruk bagi tubuhnya, sedangkan ia memiliki dua anak yang masih kecil. Aruna lunglai. Hilang semangat itu.
Adel colap, kejang dan terus-menerus mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Anisa sudah ikhlas, pun begitu Aruna. Mereka tidak punya pilihan bahkan solusi sekalipun.
Hingga di satu pagi sebuah pesan masuk ... Kakak Adel bersedia mendonorkan sum-sum tulangnya dengan imbalan sejumlah uang. Ia sedang membutuhkan uang karena suaminya terjerat renternir. Aruna bingung hingga ia melontar tanya dan jumlah nominal itu terucap ... 50 juta. Bertambah pusinglah otak itu.
Entah darimana nanti ia memperoleh 50 juta. Setelah menerima gaji, Aruna meminta kakak Adel memeriksa sum-sum tulang belakangnya. Beberapa hari kemudian hasil itu ke luar dan dokter menyatakan sum-sum mereka, cocok.
PR Aruna setelahnya adalah mencari uang 50 juta. Aruna lagi-lagi menceritakan masalahnya pada Yuda. Yuda yang diam-diam berkecimpung dengan dunia malam akhirnya memberi solusi nekat, yaitu ... Melayani pria kesepian!
_________________________________________
☕Happy reading❤❤
☕Bab selanjutnya masih kisah Aruna😘
☕Jangan lupa like dan komen, makasih supportnya selalu🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Pipit Sopiah
lanjut lagi
2022-07-22
0
Ciripah Mei
cerita y kebanyakan flash back y
2022-06-27
0
InDah @uLi¥a
ahhh tetep ja q g iba sma aruna
2022-05-10
0