Eaa .... Ma ... Ma .... Maa
Shiza menangis, Aric tersadar dari lamunnya. Ia melihat jam sembari mendekati box Shiza. Pukul 01:30 saat ini.
"Ahh ... ternyata aku termenung mengingat kejadian masa lalu itu selama 2 jam lebih," batin Aric.
Aric mengangkat tubuh menggemaskan itu dari box dan membaringkan Shiza di samping Sashi. "Sayang ... Sashh ... bangun Sayang! Shiza haus ... Sash ...!" ujar Aric menyapu puncak kepala Sashi lembut.
"Ka-kak ... ada a-pa?" Sashi terbangun.
"Shiza menangis, ia haus. Susui dulu, ya!" lirih Aric menatap pancaran ayu Sashi yang polos dan terlihat bingung belum sadar sepenuhnya.
Sashi mengangguk, dimiringkan tubuh menghadap Shiza, seketika dibuka kancing dan diberi penghantar dahaga Shiza. Sashi yang mengantuk kembali tertidur sambil menyusui putri kecilnya itu. Mata Aric perih karena nyatanya ia belum tidur sejak tadi, tapi ia menahannya. Berkali dimasukkan puncak ASI yang terlepas dari bibir mungil Shiza, yang membuat Shiza kembali menangis. Aric menunggu dengan terkantuk sampai Shiza kembali tertidur pulas dan memindahkan raga mungil itu ke box baru Aric bisa tidur setelahnya.
__________________
Pukul 05:00 saat Sashi selesai menjalankan ibadah. Seperti biasa Sashi akan melupakan hal yang terjadi tatkala ia membuka mata di pagi hari. Sashi naik ke ranjang dan duduk di samping Aric yang masih sangat pulas terlelap. Ia senang suaminya itu semalam tidak pergi. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Aric. Berucap lembut. "Ka-kakk ... bangun Kakk."
Tidak mendapat respon, Sashi melakukannya lagi. Hingga setelah beberapa saat akhirnya Aric sadar. "Sayangg ...," lirihnya menatap Sashi.
"Kakak belum sholat!"
"Jam berapa ini?"
"05:15!"
"Hahh?" Aric bangkit dengan tergesa, ia ke kamar mandi, berwudhu dan menjalankan ibadahnya. Aric merapikan setelahnya alat sholat sambil menatap Sashi yang masuk ke kamar dengan teko berisi air.
"Aku mau minum, Sash!" Sashi mendekat dengan segelas air putih di tangan. Ia memberikan pada Aric setelahnya.
"Habiskan sisanya!" Seperti biasa Aric senang meminum atau memakan apa pun tak di habiskan. Ia akan menyisakan sedikit untuk diberikan pada Sashi dan membiarkan Sashi menghabiskannya. Sashi seperti biasa menurut.
"Jam berapa Kakak berangkat hari ini?" tanya Sashi.
"Semua pekerjaan luar sudah kuhandle Karyawan sudah ku-meetingkan semalam. Aku akan berangkat siang hari ini!"
"Benarkah?" Wajah Sashi berbinar.
"Kenapa kamu begitu senang, hem?"
"Aku ingin ke rumah Bunda, awalnya aku akan minta diantar mang Ojo tapi karena Kakak berangkat siang, bisa kan Kakak mengantarku dulu ke sana?"
Aric menyapu kepala itu. "Tentu saja bisa, apa yang tidak untukmu! Aku juga sudah lama tidak bertemu Bunda, jam berapa rencana ke sana?"
"Jam 9 bagaimana, Kak?"
"Oke siap! Masih 3 jam lagi, kamu tetap di sini ya! Temani aku! Aku masih mengantuk, tapi ingin tidur sambil memelukmu!"
"Ka-kak." Lengan itu seketika mengangkat tubuh Sashi hingga naik ke atas ranjang.
"Ahh ... Ka-kakk!"
"Pelankan suaramu atau Shiza akan bangun, Hoam," ucap Aric menutup mulut setelahnya, ia menguap, sangat mengantuk sekali.
Nafas itu sudah terdengar teratur, Aric dengan cepat tertidur. Sashi menyapu kepala yang dengan nyaman tertidur mengusel ke dadanya. "Kakak sudah dewasa tapi seperti anak kecil," batin Sashi.
Sashi terus menyapu kepala itu dan memberi kecupan beberapa kali ke puncak rambut Aric. Ia memilih melupakan segala kemungkinan yang terjadi antara suaminya dan Aruna. Ia senang dengan sikap manis Aric. Sashi pun turut tertidur pula setelahnya.
___________________
Adzan isya baru selesai berkumandang saat ponsel Sashi terus bergetar. Ia mendekati nacash dan mengambil ponselnya.
"Assalamu'alaikum Sayang ...."
"Wa'alaikumsalam, Kak. Tumben telfon di jam ini?"
"Sash ... dengar aku!"
"Hem?" Sashi menatap pancaran wajah tampan dari layar 6 in-nya.
"Sayang, maaf malam ini aku tak bisa membantumu menjaga Shiza! Aku tak akan pulang! Jangan tunggu aku, oke!" lirih Aric berucap.
"Tapi ada a-pa? Kakak baik-baik saja, kan?"
"Aku baik! Sangat baik. Tapi aku ada urusan yang tak bisa kutinggalkan! Sashi percaya Kakak, kan?"
"Aku masih belum mengerti, Kak? Apa harus tidak pulang?" rahut pilu mewarnai rona Sashi.
"Harus! Ma-af .... Sekarang dengarkan ucapanku, Sassh!"
"Hem?" Mata Sashi membulat menatap lekat wajah Aric, menunggu kata apa yang akan diucapkan lelakinya.
"Aku ... Alaric Abdi Perwira sayang dan cinta Sashi Mumtaz, putri Lutfi Mumtaz, sangat! Jangan pernah berfikir macam-macam tentangku. Kamu paham?"
"Ka-kak ... a-da apa?"
"Katakan saja, apakah kamu paham dan mengerti perasaanku padamu, hem?" ucap Aric serius.
Sashi mengangguk.
"Baik sudah dulu! Segera tidur dan beristirahat! Titip peluk dan ciumku untuk Shiza! Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikum salam ..." Sashi segera meletakkan lagi ponselnya ke nacash. Ia terus bergeming mencerna ucapan Aric.
"Kakak tidak pulang, harus tidak pulang! Ada apa sebetulnya? Apa karena semalam Kakak tidak ke rumah mbak Aruna, jadi malam ini mereka akan menghabiskan malam bersama hingga pagi? Tidak! Kata Kak Aric aku tak boleh berfikir macam-macam! Hmm .... Bagaimana ini, bahkan otakku tak bisa berhenti memikirkan kemungkinan Kak arik akan bersama mbak Aruna!"
___________________
Di tempat berbeda di sebuah Rumah Sakit bilangan Tangerang sosok raga tegap yang baru selesai menelepon istrinya berjalan dengan cepat menuju sebuah kamar isolasi anak. Tanpa mengetuk pintu, raga tegap itu seketika masuk.
"Masss ...." Wanita muda dengan tubuh semampai berbalut dress selutut mengepas tubuh dengan bahu terbuka seketika mendekati sang pria.
"Mengapa bisa terjadi seperti ini?" Mata itu membulat marah.
"Jangan tanya aku, tapi tanya pada diri Mas! Semalam kenapa Mas tidak datang! Ciara terus mencarimu! Ia tidak mau makan dan hanya ingin disuapi olehmu! Ia tak bisa tidur menunggumu semalaman! Di mana salahku? Kamu yang berjanji akan selalu menemaninya di malam hari nyatanya ingkar! Kutanya dimana salahku? Siapa di sini yang salah sebetulnya!" gusar Aruna.
Aric memijat kepala, ia mendekati ranjang berisi gadis kecil yang terlelap dengan beberapa selang di tangan. Ia duduk ... menyapu kepala itu.
"Jelaskan bagaimana kondisi Ciara sebelum kamu memutuskan membawanya kemari!" datar Aric.
"Aku tertidur menjaga Ciara semalaman, saat kubangun ada darah keluar dari hidung dan telinganya. Aku takut, lalu aku putuskan membawanya kemari," lirih Aruna. Aric menunduk. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Ciara dan berbisik. "Papa sudah datang, Sayang! Maafkan Papa semalam tidak datang!" Ciara bergeming tak merespon.
"Percuma kamu ajak bicara, Mas! Suster baru saja memberi obat tidur pada Ciara!"
"Katakan apa kata dokter?"
"Besok ia harus menjalani kemoterapi lagi!"
"Lagi? Bukankah kemoterapi dengan obat-obatan dan radiasi itu sudah selesai kata dokter?"
"Kemoterapinya memang sudah selesai, tapi tanpa transplantasi keberhasilannya hanya 40-50%. Apa Mas lupa ujaran dokter itu?" Aruna menatap lekat Aric yang kaget Ciara harus menjalani terapi lagi.
"Kamu betul. Aku lupa."
"Satu lagi, Mas. Ingat kata dokter bahwa Ciara tidak boleh stress dan harus menjaga pola makan! Dan kamu berjanji akan membantuku melakukannya. Bahkan kamu yang telah membuat Ciara tidak tenang semalaman!" Aric kembali menunduk.
"Maaf!"
"Mas ... jika kamu memang ingin Ciara mencapai kesembuhan 80% segera dapatkan pendonor untuk Ciara!" lugas Aruna.
"Hahh ... andai sum-sumku cocok, tapi nyatanya tidak. Bagaimana ini? Kasian Ciara jika harus menjalani serangkaian terapi lagi, bahkan rambutnya saja baru mau tumbuh setelah melakukan terapi radiasi 2 bulan lalu. Ciara ... Ciara ... kasihan anak itu," batin Aric
☕FLASHBACK 1 MALAM SEBELUMNYA
"Kenapa Papa belum datang, Bunda?" Gadis kecil di atas ranjang bermotif Princes Elsa itu terus menatap jam yang telah menunjukkan pukul 21:30 tapi sosok yang biasa bersamanya belum juga tiba.
"Berhenti bertanya itu Ciara! Papamu itu sedang bersama keluarganya, dia tidak akan kemari!"
"Tapi Papa sudah berjanji akan tidur dengan Ciara setiap malam! Cepat telfon Papa, Bunda ...! Katakan Ciara menunggunya." Gadis itu masih bicara dengan sangat manis.
"Berhenti bicara lagi! Bahkan dia bukan Papamu! Dia tidak sungguh-sungguh menyayangimu! Ia hanya kasihan padamu! Kamu harus belajar hidup tanpa lelaki itu!" Aruna yang gusar setelah Aric mengatakan tak bisa datang malam itu, melampiaskan kekesalannya pada Ciara. Ia berkata apa yang ada di otaknya.
"Tapi dia Papa Ciara! Papa Aric Papa Ciara, Bunda!"
"Hentikan berkhayal, Cia!"
"Bunda jahat! Cia sayang Papa Aric!"
"Sudah Bunda bilang, dia bukan Papamu! Berhenti berbicara tentang dia! Dia bahkan sedang bersenang-senang saat ini dengan anaknya yang sesungguhnya ... ju-ga i-bunya! Haahh!" Aruna ke luar kamar dengan gusar dan menutup pintu itu rapat. Ia membaringkan tubuh ke ranjang, terisak hingga tertidur. Ia lupa pada Ciara.
Aruna bangun di pagi hari dengan gelisah. Ia segera ke kamar Ciara, ia kaget. Banyak darah di wajah Ciara.
__________________________________________
☕Happy reading😘😘
☕Senin manis jangan lupa votenya yaa❤❤
☕Mood nulisnya masih di karya ini yang lagi ikut lomba. Maaf mas Dimas, hati ini sejujurnya rinduu😑😑
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Juan Sastra
sakit hatiku aric,,dengar kata katamu gimana jika shasi yg mendengarnya..kau takut anak dan ibu itu menderita dan mati namun secara tidak langsung kau sudah membunuh shasi dan zhisa dengan penghianatanmu..satu peringatan aric jangan pernah menyesali ke bodohan mu..nikmati setiap prosesnya..dan selalu tertawa bahagialah meski di iringi keperihan hati shasi..selamat atas kemenanganmu
2023-05-09
0
Cika....
siap² kmu aric hancur kehidupan kamu,, jd orng baik itu emang udh seharusnya tp ga harus mengorbankan perasaan istri yg km cintai juga
2022-06-01
0
Lena Paunk Netti
aruna peremouan aneh kayanya. masa laki org yg disuruh cari utk sumbang susum utk anaknya... waduhhhh... kurang bangettt
2022-05-29
0