☕FLASHBACK
"Bagus ... kondisi Ciara sudah mulai stabil dan siang nanti sudah ia bisa pulang. Tapi ingat! Pasien Ciara harus dijaga moodnya agar selalu baik dan tanamkan sifat positif thinking agar ia memiliki semangat untuk sembuh dalam dirinya! Bapak, Ibu, paham?" Aric dan Aruna mengangguk bersamaan.
"Oh ya 1 lagi, untuk pemberian obat harus tepat sesuai waktu yang ditentukan, tidak boleh telat ya, Pak, Bu!" ucap Dokter menambahkan.
•
•
Pukul 3 sore saat mobil Aric memasuki pelataran rumah Aruna. Dengan cekatan Aric langsung meraih tubuh Ciara dan membawanya ke kamar. Ciara terus menatap wajah itu, wajah Papa yang didambanya. Papa baik yang selalu diharapkan dan 5 bulan ini benar-benar selalu ada di sisinya.
Aric menuju ke dapur setelah membaringkan raga Ciara, mengambil mangkuk dan menyiapkan bubur yang diperjalanan diminta Ciara.
Berkali Diyah sang ART menawarkan diri membantu aktivitas Aric, namun Aric lebih senang melakukannya sendiri. Pun Aruna bukannya membantu, ia justru bersembunyi di balik tembok dan memperhatikan setiap perilaku Aric, ia senang.
Setelah makan, Ciara meminum obatnya dan segera tertidur. Mengingat ibadah ashar belum ia tunaikan, Aric masuk ke sebuah kamar dan menjalankan ibadah. Ia mengangkat tubuh usai berdoa dan terkaget melihat Aruna sudah duduk di tepi ranjang. Tubuh gemulai seketika menempel bak perangko ke tubuh bagian belakang aric. Aric tak nyaman.
"Runa, lepas!"
"Tidak mau!" Aruna semakin mengeratkan pelukannya.
"Lepas kubilang, jangan lewati batasanmu!"
"Batasan apa? Aku juga istrimu! Ingat, istri! Aku juga berhak disayangi seperti halnya yang Sashi dapatkan!" lugas ucapan itu terucap.
"Jangan lupa perjanjian kita, aku memang menikahimu tapi hanya untuk Ciara! Kita pun berjanji tidak akan saling menuntut apa pun!"
Aruna kini berdiri tepat di hadapan Aric, ia menatap lekat wajah itu. "Mass ... dalam hatiku tak pernah mengiyakan perjanjian itu, aku milikmu, Mas. Kamu boleh lakukan apa pun padaku!" Aruna terus memainkan jemarinya di wajah Aric dan menjatuhkan kepalanya di dada bidang itu.
Aric kesal dengan perilaku Aruna, ia mendorong tubuh itu hingga terjatuh di ranjang. "Ahh," decihnya.
"Maaf ... kamu sudah keterlaluan! Jaga Ciara, aku harus pergi, nanti malam aku kembali!"
"Mas ... berhenti, Mas! Jangan bilang kamu akan menemui gadis kecilmu itu! Ia tak sebanding denganku, aku lebih segala-galanya, Mas ... Mass!"
Aric tak menghiraukan ucapan itu, ia melenggang pergi dari rumah Aruna.
Tubuh Aruna melingsut ke lantai, ia terisak. "Mengapa kebahagiaan tak jua kudapat! Mas ... aku juga istrimu! Bagaimana ini, sesuai perjanjian, jika Ciara sembuh hubungan kami berakhir. Ciara tak boleh sembuh atau aku akan kehilangan segalanya! Tidak ... bagaimana pun ia anakku, ia harus sembuh. Tunggu ...! Agar Mas Aric tak meninggalkanku, aku harus hamil. Tapi bagaimana caranya jika ia tak pernah menyentuhku. Aku harus berfikir!"
___________________
"Apa saja kerjamu, Jo! Kau ada di rumah tapi istri dan anakku tak ada! Di mana mereka? Mengapa mereka pergi tak bersamamu, hah?"
Aric geram, bayangan meluapkan rindu pada Sashi dan Shiza setelah 2 hari tak bersua hilang seketika. Kenyataan istri dan anaknya tak di rumah membuatnya marah, terlebih mereka ke luar tak jelas kemana dan dengan siapa. Aric marah.
Ia berusaha menelepon Sashi tapi tak ada jawaban. Ia cek status FB Sashi namun nihil tak ada kabar terbaru yang Sashi post. Ia mengecek status WA Sashi setelahnya. Ia tersenyum lega melihat wajah Sashi dan Shiza yang di post 5 menit yang lalu.
Aric hapal dan tau betul background tempat yang sedang Sashi kunjungi. Ia yang selama 3 tahun selalu mengantar Kaysan setiap pagi ke sekolah saat SMA, tau betul setiap tempat, pepohonan dan pemandangan apa saja yang berada di sekitar sekolah SMA itu. Ia tersenyum.
"Kamu pasti terkejut, aku akan menjemputmu Sayang!" guman Aric.
Aric pergi ke kamar membersihkan diri baru setelahnya menuju tempat orang-orang tercintanya berada. Wajah itu semringah. Dalam waktu 15 menit Aric telah sampai di lokasi tujuan.
Aric mengedarkan pandang ke sekitar cafe tapi tak menemukan bayang Sashi, hingga seorang yang mengenal wajah Aric memanggil.
"Kak ... Kak Aric, kan?" Disyalah sosok itu. Disya yang dulu sering diam-diam memperhatikan Aric setiap kali mengantar Kaysan hapal wajah kakak Kaysan yang kini menjadi suami Sashi sahabatnya.
Aric menoleh, wajah itu tampak bingung melihat Disya. Disya mendekat.
"Kakak cari Sashi, ya?"
"Oh, iya, kamu tau dia di mana?" ujar Aric mulai paham melihat wajah gadis sebaya Sashi di hadapannya.
"Itu ... di TK itu, Kak!" Aric memperhatikan bangunan bercat pink yang agak samar tertutup pepohonan.
"Kalau Kakak bingung biar aku antar!" utar Disya lagi.
"Oh, tidak perlu, aku bisa ke sana sendiri! Terima kasih!" Disya mengangguk, ia berbalik badan dan kembali ke bangkunya.
"Itu Kak Aric bukan, sih?" tanya Dita.
"Iya, wajahnya mirip foto yang dikirim Sashi waktu itu!" ucap Rena.
"Tapi tau nggak sih lo pada, Kak Aric tuh dilihat makin deket makin mempesona. Ganteng bingit guys. Cool dan dewasa!" Disya yang baru saja bercengkrama dengan Aric menimpali.
"Huss ... punya temen tuh! Jaga mata!" Kevin mengingatkan.
Keempat raga masih saja terus bercuit ria perihal Aric, sedang Aric fokus menuju tempat yang ditunjuk Disya.
Aric melihat dua raga asik berbincang di wahana bermain. Istri kecilnya itu tampak santai terus berbalas ucapan yang tak bisa ia dengar. Aric mendekat ... sangat dekat. Ingin segera menghampiri, namun seketika ia mendengar hal yang mengejutkannya.
"Andai pas nikahan lo sama Kay gue ada. Saat Kay nyatanya kecelakaan dan pergi, gue pasti orang pertama yang maju buat gantiin dia!"
Aric kaget dengan kata-kata itu. Ia mendengar dengan jelas seorang lelaki siap menggantikan Kaysan. Aric semakin penasaran dengan perbincangan keduanya. Ia diam, tenang ... dan terus menyimak. Hingga ia mendengar kata yang mengusiknya lagi.
"Andai gue punya nyali besar untuk ngungkapin rasa gue, pasti gue yang jadi pacar lo saat itu, bukan Kay!"
Seorang lelaki menyatakan cinta pada istri kecilnya. Aric berusaha tenang tak ingin tersulut emosi. Beberapa saat setelahnya ia mendengar jawaban Sashi. Ia puas.
"Sadar Sam, gue udah nikah! Gak pantes lo ungkapin rasa kayak gini, gue wanita yang notabenenya istri orang!"
Aric menyimak dan terus menyimak ...
"Kak Aric masih dingin nggak orangnya?"
Aric yang mendengar lelaki itu menyebut namanya mulai gusar. Ia bingung bagaimana teman Sashi bisa bicara seolah mengenal dirinya. Aric tetap diam di tempat, dimiringkan kepalanya sedikit hingga ia ingat wajah itu.
"Sam? Itu Sam sahabat Kay, kan? Kenapa menyatakan cinta pada Sashi? Wah ... wah ... ternyata gadis kecil itu banyak juga pengagumnya," batin Aric. Ada kebanggaan di hati itu.
Aric masih menyimak, hingga ia surprize dengan ucapan yang keluar dari bibir istrinya.
"Kak Aric sayang gue sama Shiza, Kok! Dia Papa dan suami yang baik!"
Ia senang dan bangga. Tak menyangka Sashi bisa sedewasa itu. Ia tau jelas hati istrinya sedang tidak baik belakangan ini, tapi ia menutupi segalanya. Aric tak bisa menahan lagi, baru saja ingin mendekat, ia mendengar Sam berucap.
"Duhh Sashh ... Sash ... jujur aja kali, lo nggak bahagia, kan? Kalo kak Aric nggak bisa bahagiain lo sama Shiza, gue siap bahagiain kalian berdua, gue udah nyambi gawe sambil kuliah sekarang Sash!"
"Kurang Ajar!" Aric geram, Sam nyatanya masih mengharap Sashi. Pun otaknya panas, ia tak bisa membiarkan wanitanya lebih lama lagi dekat dengan Sam.
HEMM ....
___________________
"Apa Kakak sedang marah padaku?"
Aric terus terdiam di mobil itu walau jujur ia sangat gemas melihat pancaran polos istrinya yang sedang takut dirinya marah.
Sashi seakan lupa akan kesalahan Aric, ia fokus pada wajah memberengut di sampingnya. Sashi yang memang besar dari keluarga beragama sadar telah salah tidak minta izin Aric saat pergi tadi.
Sashi merasa bersalah, terlebih Aric melihat dirinya sedang berdua dengan Sam, Sashi takut Aric salah paham. Ia terus menatap wajah dengan rahang tegas itu sambil membenahi posisi Shiza yang tertidur di pangkuannya.
Lama kelamaan mata itu mengantuk, Sashi yang sejak semalam tak bisa tidur memikirkan Aric, merasakan hawa AC yang begitu dekat terus meniup-niup matanya, mengantuklah ia.
Aric menggelengkan kepala, melihat posisi Sashi memangku Shiza tanpa kain gendongan dengan keadaan tertidur, Aric panik. Ia khawatir Shiza terjatuh.
Ia singkirkan sementara rahut pura-pura marah itu, ia menyapu bahu Sashi. "Sayang ... bangun dulu!"
"Hahh ... Ka-kak. Apa Kakak sudah tidak marah padaku?" lontar Sashi seketika. Aric berpura acuh.
"Pengang Shiza yang betul! Aku siapkan kasur angin di belakang!"
Sashi bergeming, ia mengangguk sambil terus menguap setelahnya.
"Aku fikir Kakak sudah tidak marah, tapi nyatanya Kakak masih marah!" batin Sashi.
Beberapa saat, Aric telah selesai dengan aktivitasnya. Kasur angin telah terpasang sempurna. Aric mengambil beberapa bantal dari bagasi dan meminta Sashi membawa Shiza untuk tidur di tengah. Sashi menurut namun wajah itu terus menunduk, ia sedih Aric tak tersenyum padanya.
Diam-diam Aric sebetulnya terus tersenyum, ia gemas ingin mencium wajah polos itu tapi menahannya. Ia membiarkan Sashi merasa bersalah dengan fikirnya.
__________________________________________
☕Happy reading😘
☕Terima kasih support kalian❤❤
☕Komen yang banyak ya ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
haniaz
kq gemesh pengen jitak aric
pernikahan dibalut kebohongan
kl aq mending udahan
apapun alasannya,,
bisa klee diobrolin dulu baik²
jgn bini dideketin orang lsg panas
laahh,,,situ malah udh kawin lagi
2022-07-03
0
Yuyun Ratna Sari Famili
lanjut lgi thor
2022-06-08
0
InDah @uLi¥a
q jd kawatir arick dijebak bakul nadi uduk
2022-05-10
0