Anjani yang sudah mengetahui tujuan jelas pria tua itu langsung mendongak, tapi saat ini dirinya belum tahu harus bagaimana. Anjani tidak tahu kalau Pak Ghandi itu baik untuknya atau tidak. Lantas Anjani mengulur waktu dan mencoba mencari tahu tentang pria tua itu.
Menurut sang majikan dan orang-orang sekitar, Pak Ghandi memanglah orang yang baik. Karena Pak Ghandi sempat mengajak Anjani ke rumahnya, Anjani memberanikan dirinya untuk ikut.
Selama ini Anjani belum tahu dimana letak rumah Pak Ghandi. Anjani sama sekali tidak penasaran karena sedari awal ia tidak pernah tertarik dengan seorang pria tua.
Mereka berdua berjalan kaki dan sampai di sebuah rumah besar yang bahkan lebih besar dari rumah majikannya Anjani. Rumah dengan gaya klasik berlantai 2, dan terlihat pula sebuah mobil terparkir di halamannya.
Tak diragukan lagi, bahkan isi rumahnya sangat berbeda jauh dengan isi rumah Anjani. Barang-barang elektronik, hiasan-hiasan antik begitupun sejenisnya berjejeran dan juga terpampang rapi.
Terlihat ada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di sofa. Pak Ghandi duduk di samping anak itu dan mempersilahkan Anjani untuk ikut duduk juga.
"Ini anak saya Neng, sekarang dia mau naik ke kelas 2 SMA." Ucap Pak Ghandi memperkenalkannya kepada Anjani.
'Ya ampun! Itu anaknya kok seumuran sama saya?! Itu mah temen saya atuh!'
Saat itu, Anjani sudah menginjak usianya yang ke 16 tahun, dan jika Anjani melanjutkan sekolahnya, harusnya ia sudah mau naik ke kelas 2 SMA.
Yang ada di pikiran Anjani, sepantasnya Pak Ghandi itu adalah bapaknya Anjani, bukan suaminya Anjani.
'Kok bapak ini gak malu ya? Aku aja malu.' Gumam Anjani merasa semakin tidak nyaman.
Memang, sejak awal Anjani tidak ingin dekat-dekat dengan Pak Ghandi. Tapi karena pepatah mengatakan bahwa cinta itu tidak memandang usia, ia tak tahu keputusannya akan berakibat baik atau buruk nantinya.
Tanpa mempertimbangkannya kembali, dengan cepat Anjani membulatkan tekadnya. Meskipun Pak Ghandi itu orangnya baik, tapi saat ini ia masih muda dan masih perawan, dirinya berhak mendapatkan calon yang lebih baik (lebih muda) dari Pak Ghandi.
Kunjungan itu berakhir tanpa kejelasan dari Anjani. Anjani juga sama sekali tidak tergiur dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh duda tua itu. Yang ada di pikiran Anjani sekarang dirinya harus menolak Pak Ghandi. Anjani pikir Pak Ghandi yang merupakan orang baik itu juga akan mengerti.
"Neng, tadi bapakmu dateng ke sini," ucap Sang Majikan yang tengah berada di depan halaman rumahnya. Saat itu Anjani baru pulang, ia pulang sendirian dari rumah Pak Ghandi karena tidak mau diantar.
"Beneran Bu? Terus Abah saya kemana?" Tanya Anjani antusias.
"Baru saja pulang Neng." Ucap Sang Majikan membuat Anjani merasa sedih.
"Katanya Neng disuruh pulang, Emak sakit," lanjut majikannya.
Seketika Anjani langsung merasa senang, bukan karena mendengar kabar emaknya yang sedang sakit, tapi karena ia akan pergi meninggalkan tempat ini.
"Kalau begitu saya boleh pulang Bu?" Tanya Anjani ragu-ragu.
"Iya boleh Neng," majikannya itu tersenyum kepada Anjani.
Betapa senangnya hati Anjani saat ini, ia akan segera bebas dari duda tua itu dan ia langsung memutuskan untuk segera pulang hari ini juga.
Tak lupa ia memberi kejelasan kepada Pak Ghandi. Tapi ia tidak berani berbicara langsung, jadi ia menitipkan pesan itu kepada majikannya.
Anjani menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa menerima lamaran Pak Ghandi. Majikannya itu pun menerima penjelasan Anjani dengan baik, ia juga mengerti jika dirinya sedang berada di posisi Anjani. Pak Ghandi pastinya sangat kecewa, tapi ini adalah hak Anjani sendiri.
***
Setelah beberapa hari di kampung.
"Eh, Anjani, kemana aja? Katanya kamu udah kerja ya?" Ratih yang sedang nongkrong di depan warung, baru melihat lagi wajah temannya yang sudah lama tidak ia temui.
"Hehe.. iya, udah tiga hari aku disini." Jawab Anjani yang kebetulan akan berbelanja di warung itu.
"Pantesan aja gak pernah nongol nongol. Dimana nih? Kerja apa emang An?" Tanya Ratih, penasaran.
"Deket kok, cuma bantu-bantu pekerjaan rumah. Sekalian aku mesantren di sana." Jawab Anjani.
"Wahh.. enak ya udah bisa dapet uang sendiri," Ratih merasa iri, ia tidak bisa bekerja karena saat ini ia sedang mengayomi pendidikan di sebuah SMK.
Sebenarnya Anjani menyembunyikan bahwa dirinya bekerja di dekat sekolah Ratih. Tepatnya, sekolah itu masih satu yayasan dengan pondok pesantren yang ditempati oleh Anjani.
Setiap harinya Anjani selalu berhati-hati agar tidak ada kenalannya yang melihat dirinya berkeliaran di sana.
"Hehe.. iya Rat,"
Meskipun Anjani sudah merasa pintar, tapi ia yang saat itu hanyalah lulusan SD merasa tidak nyaman ketika mengobrol dengan seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya.
"Kalo gitu kita ke rumahku yuk! Udah lama kita gak ketemu!" Ajak Ratih dengan penuh semangat.
Anjani pikir, Ratih akan sama dengan teman-temannya yang lain. Mereka enggan bergaul dengan Anjani karena sudah memiliki teman baru di sekolahnya masing-masing.
Karena itu, Anjani tidak mau terlalu terbuka kepada Ratih. Ia tidak ingin akrab dengan seseorang yang tidak setia dengan dirinya.
Tapi agaknya Ratih tidak seperti yang Anjani pikirkan. Dari sikapnya, ia bukanlah orang yang membedakan suatu ras berdasarkan tingkat pendidikannya.
Dengan perasaan senang, Anjani menerima ajakan temannya itu. Tapi hari ini ia sedang sibuk di rumah, menggantikan pekerjaan emaknya yang sedang sakit. Anjani berjanji akan pergi ke rumah Ratih ketika emaknya sudah sembuh. Setelah ia selesai berbelanja, ia berpamitan dengan temannya itu lalu pulang ke rumah.
Sampailah di ujung kampung, Anjani masuk ke dalam gubuk sederhana milik keluarganya. Gubuk itu dikelilingi oleh pohon-pohon rimbun, dan di belakang rumahnya hanya ada kebun kebun liar yang jarang diurus.
Meskipun ia memiliki rumah yang sederhana, tetapi kebutuhan hidupnya sudah memenuhi kata cukup. Mereka memiliki sawah dan kebun untuk kebutuhan pangannya. Semua itu sudah sepatutnya mereka syukuri.
Emaknya Anjani sudah sakit selama 5 hari, saat itu juga keluarganya sedang kerepotan karena ini adalah musim panen. Abahnya setiap hari pergi ke sawah untuk memanen padi. Abah mengerjakan semua pekerjaan itu sendirian. Biasanya ia ditemani oleh Emak, tapi saat ini Emak sedang sakit.
Terkadang, Abah selalu mendapat permintaan dari tetangganya untuk mencangkul sawah maupun mengarit rumput untuk hewan ternak, jadi ia selalu pulang terlambat.
"Mak, ini makan dulu. Habis itu minum obatnya ya." Anjani selesai memasak, ia masuk ke kamar dan membawakan makanan untuk emaknya.
"Teh, Indri juga pengen makan atuh," pinta adik perempuan Anjani yang saat itu masih berusia 7 tahun.
"Ehh.. ngambil sendiri atuh, kamu kan udah gede," Anjani enggan mengambilkan makanan agar adiknya itu bisa mandiri.
Tapi, adiknya itu hanya diam dan memasang wajah cemberut. Apa boleh buat, akhirnya Anjani pergi ke dapur dan membawakan makanan untuk adiknya.
Setelah makan dan meminum obat, Emak terlihat sudah tertidur pulas. Anjani memandangi wajah emaknya sambil duduk di atas kursi kayu.
'Emak itu hebat sekali ya, bertahun-tahun lamanya Emak sabar ngurus Anjani sama sekeluarga.' Anjani merasa simpati melihat emaknya yang sedang sakit.
Anjani terus memandangi wajah emaknya itu sambil tersenyum. Ia bergumam tentang perjuangan emaknya sampai-sampai ia ikut tertidur juga.
Tak terasa, senja pun tiba. Abah baru saja sampai di depan rumah saat ba'da Maghrib.
"Assalamualaikum," Abah mengucapkan salam sambil membukakan pintu.
Saat itu, ketiga penghuni rumah terlihat sedang tertidur pulas. Lantas Abah membangunkan mereka untuk menunaikan ibadah shalat maghirb.
"Eh Abah, jam segini baru pulang?"
Anjani yang ketiduran di atas kursi bersama adiknya melihat pemandangan gelap yang masuk melewati jendela. Lantas Anjani langsung bangkit, menyalakan lampu damar dan menutup jendelanya dengan tirai.
"Iya Teh, abis nyangkul di sawah Pak Mamat. Terus Abah abis ngarit dulu buat kambing tetangga."
'Kasihan Abah, tiap hari kerja tak henti-henti. Semoga Abah sehat selalu,' batin Anjani.
Setelah kepulangan Abah, suasana rumah menjadi semakin hangat. Mereka berbincang-bincang di malam hari itu sedangkan Indri tengah belajar ditemani oleh lampu damar.
Terlihat serius, tapi keseriusannya itu menggelitik perut. Hidung Indri terlihat hitam pekat. Sepertinya ia terlalu dekat dengan lampu damar dan menghirup asap hitamnya.
Dahulu, kejadian itu sering dialami juga oleh Anjani. Sampai sekarang, di kampungnya masih belum ada listrik. Maka penerang yang mereka gunakan di malam hari adalah lampu damar atau obor.
***
Esoknya, seperti biasa, Anjani harus bangun pagi hari dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia selesai mencuci dan menyimpan ember cuciannya di dapur.
Pukul 7 pagi itu sinar matahari belum juga datang. Abah sudah pergi dan berangkat menuju ladang, sebelum itu Anjani sudah menyiapkan bekal untuk abahnya.
"Teh, padi kita kok gak ada satu karung ya? Apa jangan-jangan... ada yang maling?" Tanya Emak yang saat itu sedang menyapu di dapur karena sudah merasa mendingan.
"Ah masa, Emak ini salah ngitung kali," Anjani merasa tidak percaya jika ada maling yang masuk ke dalam rumahnya.
Tiba-tiba ia teringat, "Astagfirullah! Teteh lupa gak masukin padinya ke dalem!"
3 hari sebelumnya, Anjani disuruh oleh Emak untuk mengangkat jemuran padi terakhir yang sudah kering. Anjani selesai memindahkan padi itu ke dalam karung, tapi ia membiarkan karung padi itu di luar karena berat untuk memindahkannya ke dalam.
Apalagi, musim ini hujan sering turun dari ba'da isya sampai pagi hari. Artinya, sudah tiga hari tiga malam padi itu kehujanan.
Semua orang yang ada di rumah juga tidak menyadarinya, tidak ada seorangpun yang lewat ke sana selama 3 hari ini. Mereka juga sudah mempercayakan sekarung padi itu kepada Anjani.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments