RETAK

RETAK

Me versus Mertua

RETAK

"Jangan kekanakan begitu! Masalah sepele aja minta cerai," cebik Mas Pamuji, bagian mana yang dia anggap sebagai masalah sepele?

"Aku udah nggak tahan, lebih baik aku mundur aja dari kehidupan kamu, Mas, dari masalah ini, dari keributan yang nggak pernah ada ujungnya," ucapku serius.

Mas Pamuji hanya memandangku, keterlaluan sekali jika dia masih menganggap penderitaanku sebagai hal yang sepele.

"Aku nggak mungkin meminta kamu memilih aku atau ibumu, 'kan Mas?" ucapku lagi dengan membalas tatapan Mas Pamuji dengan dalam, aku ingin sekali saja suamiku ini melihat bahwa aku benar-benar sudah tidak sanggup.

Bulir bening mulai menetes dari ujung netraku, keputusan yang berat tapi aku memang buntu tidak tahu harus bagaimana mengakhiri semua ini. Jalan yang terlintas hanya berpisah, mengikhlaskan semua yang menjadi rezeki anak-anakku untuk dinikmati ibu mertuaku.

Selama delapan tahun pernikahan, rumah tanggaku sudah mengalami dua fase perekonomian. Pertama, fase dimana Mas Pamuji menanggung hutang puluhan juta yang berbunga hingga hampir mendekati angka 100 juta. Tahun yang berat kami lewati tanpa bantuan siapapun, kami hidup sesederhana mungkin, demi membayar cicilan yang besar setiap bulannya.

Saat itu kami merasa bahagia, keluarga kecil kami hangat meski sering tidak dianggap oleh keluarga besar suamiku, karena kami miskin. Kami menjauhi mereka demi menjaga kesehatan mental dan kami berjanji suatu saat kami pasti akan menjadi sesuatu.

Jujur saja hatiku sedih, ketika untuk makan saja kami harus sangat berhemat sementara ibu mertuaku hidup dengan gaya yang tinggi. Entah sengaja atau hanya perasaanku, beliau seolah memamerkan kehidupannya yang terkesan dipaksa terlihat kaya, untuk mengejek kami.

Sering kali kutemukan Mas Pamuji sedang menangis, dia pernah berujar bahwasannya dia malu padaku, malu karena ibu yang seharusnya mendoakan kami justru dengan terang-terangan menari di atas kemiskinan rumah tangga anaknya.

Pernah suatu ketika, kami kemalingan sepeda motor, Mas Pamuji sangat sedih karena itu kendaraan kami satu-satunya, namun mas Pamuji kecewa tatkala ibunya justru pamer di sosmed miliknya, berselfi-selfi ria di atas motor baru milik mbaknya--bude mas Pamuji. Iya, ibu mertuaku memang gaul, aku yang muda pun kalah gaya dengannya.

"Sabar Sekar," ucap Mas Pamuji.

"Aku tertekan, Mas! Kamu adalah anak lelaki yang sampai kapanpun akan tetap jadi milik ibumu, berbakti saja kamu, Mas. Lepaskan aku dan anak-anak, kalau memang anak-anakku bernasib baik, Alloh akan memberikan mereka rezeki lewat tanganku, biarlah gajimu menjadi milik ibumu sepenuhnya. Aku akan kerja untuk Bagas dan Tika," tuturku dengan sesenggukan.

"Berpikirlah jernih, Sekar!"

"Mas, aku lelah!" tegasku.

"Makanan yang setiap hari kumakan rasanya berhenti ditenggorokan setiap ibumu mengungkit nafkah yang kamu kasih, gara-gara menantu dan cucunya harus makan jatah ibumu untuk beli sepatu senam harus terpending hingga bulan depan," ucapku sendu.

"Ketika kita harus berhemat, ibumu justru hidup dengan gaya yang terlampau tinggi, setiap diperingatkan dia berdalih sedang menikmati masa tuanya, menikmati jerih payahnya telah membesarkan kamu."

"Lebih baik aku yang mundur, Mas! Biarkan rezekiku dan rezeki anak-anak datang dari tanganku sendiri, biar nggak ada lagi nasi yang tersangkut di tenggorokanku, biar ibumu bisa leluasa menikmati gajimu."

Mas Pamuji terdiam mendengar semua tumpahan amarahku. Aku lelah.

Ketika Mas Pamuji berhasil menyelesaikan hutangnya, kehidupan kami berangsur-angsur membaik. Di tahun ke-6 pernikahan, kami bebas dari hutang. Di saat itulah aku kembali hamil anak keduaku. Rezeki kami mengalir deras, mas Pamuji pun naik jabatan dengan gaji yang menjanjikan. Semua saudara telah kembali menganggap kami sebagai bagian dari mereka.

Mas Pamuji pun sudah bisa menyisihkan sebagian gaji untuk ibunya, setelah bertahun-tahun kami kenyang dengan sindiran karena tidak pernah memberikan jatah. Semua karena hutang.

Mas Pamuji terlihat bahagia, karena sejak saat itu dia kembali mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibunya. Miris memang, ketika bakti diukur dari materi. Tapi setidaknya suamiku tetap berusaha untuk berbakti sesuai standar yang ibunya terapkan.

Lambat laun ibu mertuaku semakin meminta lebih dari yang Mas Pamuji berikan. Banyak barang yang ibu mertuaku beli hanya karena tetangga yang lain membeli, dengan berbagai alasan dia selalu berhasil memaksa Mas Pamuji menuruti semua keinginannya.

Ah, aku cemburu? Entahlah. Hanya saja jalan pikiran ibu mertuaku tak pernah bisa kumengerti. Aku dan anak-anak terus mengalah padanya dengan bakti sebagai pembelaan. Rasanya sedih ketika anak-anakku lebih banyak menggigit jari, dan uang ayahnya lebih banyak berubah menjadi tanaman hias kekinian, seragam senam, atau barang-barang lainnya yang kurasa kurang bermanfaat.

Mas Pamuji kembali diam, sepertinya dia paham bahwa ucapanku bukan sekedar ancaman.

"Gajimu memang hasil kerja kerasmu, Mas. Tapi apa Mas tahu, Alloh menitipkan rezeki kami di dalamnya, bukan hanya rezeki ibumu, bisakah kamu adil membaginya sesuai kebutuhan? Mau sebesar apapun gajimu kalau untuk memenuhi gaya hidup ibu pasti akan kurang."

"Tapi pisah bukan jalan keluar, Sekar," jawab suamiku.

Sebenarnya mas Pamuji baik padaku, dia pun sepenuhnya sadar kalau ibunya sudah keterlaluan. Tapi dia tidak berdaya. Berkali-kali dia mencoba membesarkan hatiku untuk bersabar, disaat gaji suamiku besar justru kehidupan kami semakin memperihatinkan.

"Mas, aku punya harga diri. Hatiku sakit setiap ibumu membahas nafkah yang nggak seberapa darimu, dia boleh memperlakukanku seperti ini, karena aku memang hanya orang lain, tapi Bagas dan Tika adalah cucunya, darah kalian sama, tapi perlakuan ibumu nggak mencerminkan bahwa dirinya seorang nenek." Dadaku sesak menahan emosi.

Mas Pamuji menunduk, entah apa yang dia pikirkan, kedua tangannya menangkup menutupi wajahnya.

"Maafkan ibuku, Sekar," ucapnya lirih.

"Lepaskan kami, Mas."

"Nggak ... nggak Sekar. Aku akan lebih tegas pada ibu sekarang, pikirkan Bagas dan Tika, lagi pula secara pribadi kita berdua nggak ada masalah apapun, alasanmu minta pisah benar-benar nggak masuk akal."

Mas Pamuji benar, bahkan saat kehidupan membawa rumah tanggaku ke titik rendah kehidupan kami tetaplah hangat. Kami tetap saling menyayangi, saling menguatkan, dan saling mengingatkan untuk beribadah. Kami pun saling setia. Dan semua justru berubah saat kehidupan kami membaik, ketika ibu meminta ini itu, kami sering cekcok.

"Aku memutuskan berpisah justru karena Bagas dan Tika, mereka akan dapat apa jika ibumu terus-terusan begini?"

"Tapi ini nggak adil untukku, Sekar, " tolak Mas Pamuji.

"Kamu bisa berbakti, Mas."

"Tapi--"

"Mas, ini bukan pertama kali mas janji mau tegas sama ibu, tapi nyatanya mas selalu takut dengan ancaman akan dianggap sebagai anak durhaka. Tapi memang benar, Mas harus mencari ridho seorang ibu 'kan?"

Ibu mertuaku selalu mengancam dengan doa yang kurang baik bila mas Pamuji tidak memenuhi keinginannya. Pada masa puber kedua beliau, keinginan-keinginannya melebihi seorang remaja. Mas Pamuji kewalahan, sehingga kami yang selalu menjadi korban.

"Sekar ...," ucapnya pasrah, mengiyakan semua perkataanku tentang ibunya.

"Maafkan aku, Mas!"

Tubuhku limbung di pangkuan mas Pamuji, kulepaskan semua tangis keputusasaanku.

"Maafkan aku yang nggak bisa jadi istri yang baik, maafkan aku karena aku kurang sabar, maafkan aku yang kemampuannya terbatas, maafkan aku yang nggak bisa membantumu berbakti pada ibumu," ucapku sesenggukan.

"Sekar ...." Kurasakan tangan mas Pamuji mengusap rambutku, suami yang sudah kudampingi selama 8 tahun.

"Kasiani aku, Mas. Aku nggak sanggup menyaksikan setiap tingkah laku ibu lagi, dan aku nggak mungkin memintamu memilih satu diantara kita, aku ikhlaskan semua," pintaku lagi.

"Kamu udah nggak mencintai aku lagi, Sekar?"

"Aku cinta, Mas. Karena itulah aku pergi, aku nggak mau mas jadi anak yang durhaka."

"Kamu nggak mengizinkan mas menjadi suami dan ayah yang baik!"

"Dengan berpisah anak-anak nggak akan tahu dilema yang dialami ayahnya, bagi mereka kamu tetap ayah yang baik, tapi kalau mereka tumbuh semakin besar, kemungkinan mereka akan bisa mengerti permasalahan ini, cukup aku yang tahu bagaimana setiap bulan kita harus mengalah."

Mas Pamuji kembali diam.

"Kamu mau kerja apa?" tanya mas Pamuji lagi.

"Apa saja! Asal halal dan--"

"Assalamualaikum, Ji ...." Panjang umur sekali, kedatangan ibu mertuaku menyela diskusi kami.

Aku segera mengusap airmata dan menyeka hidungku.

"Ibu datang, cepat kamu temui, Mas!"

Dengan berat mas Pamuji beranjak dari duduknya. Langkahnya terdengar setengah hati. Ketukan pintu berhenti setelah mas Pamuji membukanya.

"Waalaikum--"

"Ibu minta uang, Ji, mau arisan." Benar dugaanku, uang lagi, bahkan mas Pamuji belum sempat menyelesaikan salamnya.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Reiva Momi

Reiva Momi

mampir thor

2022-11-22

0

Umi Salamah

Umi Salamah

salam kenal thor aq mampir krn melihat karyamu d beranda, bca sinopsisnya koq agak beda y? jdi dsinilah aq skrg 😊

2022-11-21

1

Uthie

Uthie

Sepertinya seru... dan bagus ceritanya 👍👍🤗

semoga makin lama makin banyak yg baca dan suka ceritanya 👍

2022-08-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!