"Mbak Sekar!" terdengar seseorang memanggilku.
Mbak Murni, mamanya Raka, melambaikan tangan dan tersenyum menghampiri. Aku masih duduk di atas sepeda motor bersama Tika, sementara Bagas sudah masuk ke kelas.
"Nebeng dong pulangnya," ucapnya.
"Ayo, Mbak!" Rumah kami memang searah.
Mbak Murni naik ke belakangku dan kulajukan sepeda motorku perlahan.
"Makasih lho Mbak Sekar," ucap Mbak Murni.
"Sama-sama, Mbak, nanti biar Raka bareng aku aja, jadi Mbak Murni nggak repot jemput Raka," usulku, selama ini Mbak Murni sudah baik sama Bagas, sampai Bagas pun betah kalau bermain di rumahnya.
"Oh, nggak ngerepotin, sih?"
"Enggak, Mbak," ucapku sambil tetap fokus berkendara.
Sejak mas Pamuji memiliki mobil inventaris, aku menggunakan sepeda motor legendaris milik kami untuk mengantar jemput Bagas sekolah.
"Mbak Sekar ini enak ya, punya mertua baik kaya bu Susi," ucap Mbak Murni.
"Hah?" Aku heran dengan ucapan mbak Murni, tanpa kuceritakan citra ibu sudah kurang baik di mata masyarakat, baru kali ini ada yang mengatakan kalau aku beruntung.
"Emang kenapa Mbak, Mur?" tanyaku sambil mengeraskan suara karena obrolan kami sedikit terbawa angin.
"Lha itu mas Pamuji dibeliin mobil sama bu Susi, katanya kasian anaknya udah dua tapi cuma punya motor but--"
"Aduh!" seru mbak Murni, aku lupa tidak menarik rem saat melewati polisi tidur.
"Maaf, Mbak Murni, maaf."
"Ngagetin aja, Mbak Sekar!"
"Tika nggak papa?" tanyaku pada Tika yang duduk menggunakan kursi boncengan di depan.
"Nggak papa, Mah!" sahutnya.
"Kata siapa ibu yang beliin mas Pamuji mobil?" tanyaku pada Mbak Murni sambil kembali melajukan motorku.
"Kata Bu Susi, ibumu sendiri yang ngomong," jawab Mbak Murni.
Sontak aku tertawa, menertawakan perkataan Mbak Marni, menertawakan diriku yang malang karena memiliki mertua yang aduhai, menertawakan ibu yang ternyata kuat sekali karakter jahatnya sampai-sampai berbagai peringatan dunia tidak mampu mengubah wataknya. Aku heran, di dunia nyata ternyata ada orang seperti itu.
"Mbak Sekar malah ketawa ini, kenapa?" tanya Mbak Murni keheranan.
"Haduh Mbak Murni, lagian ucapan Mbak Murni lucu banget, nggak bisa dilogika, gimana ibu bisa beliin mobil buat kami, kalo ibu punya uang pasti udah buat belanja dia sendiri, mana kepikiran beliin kami barang beras seliter, lha ini pake beliin mobil," terangku masih sambil tertawa.
"Lho jadi bukan ibu mertuamu yang beliin, Mbak?" tanya mbak Murni.
Kuhentikan motorku di depan rumah mbak Murni, mbak Murni pun turun dari motorku.
"Jawab Mbak Sekar, aku jadi penasaran, soalnya kemarin ibumu ngomong kayak gitu, enggak mungkin aku salah denger," ucap mbak Murni menghentikanku yang hendak pergi.
"Sinilah, kita duduk ngeteh dulu, ayo Tika main mainan mas Raka dulu!" ajak mbak Murni sambil menggendong Tika turun dari motor, Tika pun menurut, mau tak mau aku juga ikut turun, untung saja pekerjaan rumah sudah selesai, mas Pamuji kemarin membelikanku mesin cuci walaupun bukan yang mahal.
Aku duduk di teras mbak Murni, menunggu mbak Murni yang sedang membuat teh di dalam. Sementara Tika sudah asik dengan mainan Raka.
"Ini Mbak, cicipin, aku bikin bolu kemarin," ucap mbak Murni dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring bolu jadul.
"Makasih, Mbak."
"Kemarin ibumu bilang kalo dia habis jual tanah warisan buat berobat, sama buat beliin kamu mobil, Mbak!" tutur mbak Murni.
"Ibu ngomong gitu dimana, Mbak?" tanyaku.
"Kemarin di warung mbak Yuyun, banyak kok yang denger, masa iya aku salah denger sih, Mbak Sekar," ucap mbak Murni yakin.
Kuatur nafas dan emosi sebelum menjawab semua pertanyaan mbak Murni.
"Itu mobil inventaris kantor, Mbak, mungkin rezeki anak-anak lagi bagus, mas Pamuji naik jabatan dan dapet inventaris mobil," jawabku.
"Masa sih, Mbak?" tanya mbak Murni dengan mata membelalak tidak percaya.
"Iya masa aku bohong, Mbak, motor aja butut masa tiba-tiba bisa beli mobil," jawabku lagi menegaskan.
"Jadi ibu mertua mbak Sekar bohong?" Aku pun mengangguk.
"Biar apa Mbak dia sampe bohong kaya gitu?" tanya mbak Murni keheranan.
"Nggak tahu," jawabku lesu, malu? Tentu saja malu, ibu yang harusnya mencontohkan yang baik justru menciptakan kebohongan sebodoh ini.
"Kurang apa aku sama ibu? Bisa-bisanya ibu kaya gini," ucapku.
"Jadi yang digosipin orang-orang tentang ibu mertuamu itu bener ya, Mbak?" sesal mbak Murni, dia memang baru setahun pindah ke kampung ini.
"Iya."
"Sabar, Mbak."
***
Malam harinya kuceritakan kejadian tadi pada mas Pamuji, dia menggeleng-geleng tidak percaya mendengar kelakuan ibu.
"Biarin aja lah, Kar! Kita aja yang ngalah, nggak usah diladenin," ucap mas Pamuji.
"Aneh banget ibumu, Mas. Dulu seolah-olah mutus silaturahmi waktu kamu milih aku, kenapa sekarang ibu nyolek kita duluan?" keluhku.
"Walaupun ibu nggak nyakitin aku, tapi aku gemes sama kelakuan ibu kamu, rasanya pengen huuuh!" ucapku sambil meremas tanganku sendiri.
"Biarin aja, lah! Rugi sendiri kalo kamu ngeladenin ibu," ucap mas Pamuji.
"Iya juga, sih. Yang waras aja yang ngalah."
Mas Pamuji diam tanpa merespon ucapanku. Sesekali dia menyesap kopi yang kusediakan sambil memainkan ponselnya.
Aku mulai terbiasa bicara blak-blakan tentang ibu, dan mas Pamuji pun tidak marah meskipun yang kukatakan adalah hal buruk. Aku melakukan semua ini agar kewarasanku tetap terjaga, tidak tertekan, atau pun makan hati. Dan mas Pamuji sepertinya juga mulai terbiasa dengan sikapku. Bahkan dia terkesan cuek.
"Assalamualaikum." Terdengar suara ketukan dan sebuah salam, suaranya seperti ... ibu?
"Ibu itu, Mas? Mas aja yang buka, aku males ngeladeninnya," bisikku pada mas Pamuji, aku pura-pura asik menonton tivi.
Mas Pamuji pun bangkit dan berjalan menuju pintu depan.
"Waalaikumsalam." Sayup-sayup terdengar mas Pamuji membukakan pintu.
"Lagi ngapain, Ji. Nih, ibu bawain pisang goreng kesukaan kamu, Bagas sama Tika dimana?" ucap ibu, dari suaranya pasti ibu sudah duduk di dalam.
"Lagi ngopi sama Sekar, Bagas sama Tika udah tidur dari tadi," jawab mas Pamuji.
"Oh ya udah nih, pisang gorengnya buat temen ngopi," ucap ibu dengan manis, kulirik piring bekas pisang goreng di sampingku, mas Pamuji pasti sudah menghabiskannya tadi.
"Sekar juga bikin, Bu! Ibu nggak usah repot-repot." Aku pun tertawa membayangkan wajah ibu mendengar jawaban mas Pamuji, aku sengaja diam di ruang tengah, malas rasanya menemui ibu.
"Hem ... gini Ji, ibu mau minta maaf," ucap ibu, aku ragu permintaannya itu tulus, bisa jadi karena si putih yang terparkir di depan rumah, atau juga karena ibu kesulitan uang.
"Minta maaf apa, Bu?"
"Soal yang kemarin-kemarin," jawab ibu ambigu, ibu selalu gengsi menyebutkan kesalahannya, bahkan tak jarang aku harus memaafkan ibu yang tidak pernah minta maaf.
"Oh ... minta maafnya sama Sekar, Bu, bukan sama aku," ucap mas Pamuji, sangat jelas bahwa ibu pun enggan bertemu denganku.
"Hem, Sekarnya mana?" tanya ibu dengan berat.
"Sekar?" panggil mas Pamuji, mau tidak mau aku pun keluar menemui ibu.
"Iya?"
"Ibu kesini katanya mau minta maaf," tutur mas Pamuji.
"Minta maaf kenapa, ya?" pancingku.
Aku ingin ibu menyebutkan kesalahannya agar dia sadar bahwa perbuatannya itu salah, setidaknya bukti bahwa ibu sudah mengintrospeksi dirinya sendiri. Tapi aku tidak yakin, karena ibu akan menemukan sejuta alasan agar kesalahannya menjadi benar walaupun tidak masuk logika.
"Maaf udah pura-pura sakit," jawab ibu.
Mas Pamuji memberikan kode untuk mengiyakan permintaan ibu. Padahal aku ingin sekali mengatakan bahwa ibu sudah membuat rumah tanggaku menjadi retak. Dan itu kesalahan fatal yang ibu lalukan. Kutahan lidah dan bibir agar tetap diam.
"Oh, ya udahlah, kita udah lupa kok, makanya ibu jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh lagi biar kita nggak inget kejadian kemarin itu," tuturku, aku ingin ibu tahu bahwa aku belum bisa sepenuhnya memaafkannya, aku hanya berusaha melupakan kejadiannya.
"Syukurlah kalo gitu, mudah-mudahan nanti semuanya bisa baik lagi," ucap ibu.
"Iya, tapi gaji mas Pamuji banyak dipake Bagas sama Tika sekarang, Bu, buat bayar sekolah, tabungan, beli mainan, beli chiken yang Bagas sama Tika suka, jadi maaf, mas Pamuji nggak bisa ngasih Ibu banyak-banyak lagi kaya dulu," tuturku menebak kedatangan ibu.
"Oh, nggak papa ibu ngerti," ucap ibu sambil tersenyum kecut.
"Paling bisa buat beli beras sama sembako, kalo buat arisan-arisan nggak ada," lanjutku.
"Ya udahlah, jangan jadi pikiran yang penting cucu-cucu ibu tercukupi, jangan sampe kekurangan," jawab ibu bijak, aku mulai curiga.
"Ya udah, ibu pamit dulu, pisang gorengnya bisa buat besok pagi diangetin lagi," pamit ibu seraya berdiri.
"Iya, hati-hati, Bu," ucap mas Pamuji.
Ibu berjalan keluar, aku dan mas Pamuji mengantarnya sampai ke teras.
"Eh, Ji. Rumah kamu jadi engap karena ada mobil parkir di depan gini, udara jadi nggak leluasa keluar masuk kayaknya," ucap ibu seraya menghentikan langkahnya di samping si putih.
"Biarin, Bu, kalo siang juga nggak engap," ucap mas Pamuji.
"Halaman kalian kan sempit, banyak pot-pot begini, gimana kalo parkirnya di rumah ibu aja?"
Ah, ibu!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Uthie
part ini pingin ketawain berjamaah tuhh kelakuan nenek peyot 🤣🤣🤣
2022-08-25
0
Hap£!π
🤣🤣🤣🤣ah bisa aja si ibu
2022-08-24
0
Ning
modus
2022-01-06
0