Pengakuan Suamiku

"Ya Alloh!"

Cairan bening dan kuning bercampur dengan butiran beras tercecer di lantai, aku mematung cukup lama melihat bahan makanan itu gagal menjadi penyambung hidupku dan anak-anak. Netraku kembali memanas dan basah, aku lelah, kesal, jengkel, dan marah.

Kenapa ibu mertuaku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya? Kenapa dia begitu tega? Kali ini ibu benar-benar keterlaluan, bukan lagi bermain mulut tapi sudah mulai bermain tangan. Aku sedikit menyesal karena telah melibatkan bude Rum.

Kukumpulkan beras yang masih bisa kuselamatkan, kutahan isak agar tidak terlihat oleh anak-anak yang sedang asik menonton tv. Tidak lebih dari setengah liter yang bisa kuselamatkan. Kuambil ponsel keluaran lama yang kupunya, kuambil gambar sebagai bukti bahwa ibu sudah melampaui batas, akan kutunjukan nanti pada mas Pamuji.

Kumasak beras yang telah kucuci bersih sebelumnya, kupetik beberapa lembar sayur bayam di halaman untuk kujadikan teman makan nasi Bagas dan Tika. Aku bersyukur masih ada makanan yang bisa masuk dan mengganjal perut anak-anak, meski mereka tidak pernah mengeluh apapun yang kusajikan, namun aku tahu dalam hatinya mereka memendam keinginan, terutama Bagas yang sudah mulai besar.

Menjelang maghrib mas Pamuji pulang, anak-anak menyambutnya dengan riang. Wajahnya lelah, namun dia tetap tersenyum. Kusajikan teh tawar sembari menunggu mas Pamuji mandi dan sholat.

"Mas, tadi ibu kesini," ucapku ketika mas Pamuji keluar dari kamar.

"Apa ibu minta uang lagi?" tanya mas Pamuji seraya menghampiriku dan meraih tehnya.

"Enggak, ibu melalukan hal yang lebih parah," ucapku.

"Apa yang ibu lakukan?" tanya mas Pamuji dengan nada suara yang sedikit naik.

Kuserahkan ponsel milikku, mas Pamuji meraih dan menatap layarnya dengan penuh tanda tanya.

"Apa ini, Sekar?"

"Ibu datang dan langsung marah-marah, sepertinya bude Rum sudah menegurnya, kebetulan selembar uang terakhir di dompetku sudah kubelikan beras dan telur untuk Bagas dan Tika, tapi ... saat ibu pulang bungkusan itu di tepis ibu sampai jatuh berantakan," kisahku sambil menahan sesak.

"Astagfirullohaladzim," ucap mas Pamuji, matanya memejam dan giginya terdengar gemeletak menahan amarah.

"Aku lelah, Mas! Sudah kubilang ibu nggak bisa ditegur, bukannya baik malah tambah buruk, itulah alasan aku memilih mundur dari pada berusaha tapi sia-sia, ibumu selain serakah juga keras kepala," ucapku meluapkan sesak.

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa lagi menemukan alasan kenapa aku harus hormat pada ibumu, selama ini aku mengalah dan diam agar kita tetap damai, tapi ibumu semakin keterlaluan, Mas," pungkasku mulai sesenggukan, aku telah di ujung emosi, marah dan kecewa bercampur menjadi satu.

Andai bisa, aku ingin sekali masuk ke dalam otak dan hati ibu mertuaku. Aku penasaran apa yang ada di dalamnya, kenapa jalan pikiran dan hatinya begitu lain dari pada yang lain. Apa sebabnya? Apa yang salah? Kenapa ibu tidak bersikap selayaknya seorang ibu dan seorang nenek?

Kenyataannya kita harus menerima bahwa tidak semua orang itu baik, terlepas dari apapun predikatnya, termasuk seorang ibu.

"Terus apa kalian udah makan?" tanya mas Pamuji khawatir.

"Udah, mas."

"Cepat suruh anak-anak tidur, nanti kita ke rumah ibu," perintah mas Pamuji.

"Mas, apa Mas bisa bikin ibu sadar bahwa perbuatannya salah?"

"Kalau enggak lebih baik nggak usah kesana, percuma, Mas! Nanti malah ribut, malu sama tetangga," ucapku pesimis.

"Percaya padaku, Sekar. Aku nggak mungkin menyerah dan melepaskan kalian begitu saja," ucap mas Pamuji berusaha meyakinkanku.

"Bertahun-tahun ibu membenciku karena kita miskin dan terbelit hutang, jadi ... waktu ibu kembali perhatian dan menyukaiku, aku begitu senang, maafkan aku sekar! Aku sudah egois, hanya karena aku rindu dengan kasih sayang ibu, aku telah buta, demi membuat ibu tetap menyayangi dan mendoakanku, aku mengabaikan tanggung jawabku pada kalian," ucap mas Pamuji.

Aku terkejut, pengakuan mas Pamuji membuatku iba. Selama ini suamiku selalu terlihat tegar, aku tidak menyangka hatinya serapuh ini. Aku melihatnya yang tertunduk dengan tidak tega. Walaupun dia sudah beranak dua, dia tetaplah seorang anak yang rindu akan kasih sayang ibunya.

Aku meringis merasakan hati yang perih. Sebagai anak perempuan aku lebih dekat dengan bapakku ketika beliau masih ada, dan mas Anjar lebih dekat dengan ibuku. Ketika bapak meninggal, mas Anjar terlihat lebih tegar, tapi saat ibu yang pergi, mas Anjar benar-benar tumbang, tubuh besarnya pingsan berulang kali. Aku bisa membayangkan bagaimana hancur dan kecewanya mas Pamuji.

Aku menyesali keputusanku yang hendak meninggalkan mas Pamuji, tentu saja pisah akan menyelamatku dan anak-anak, tapi akan menenggelamkan mas Pamuji dalam kesedihannya. Bukankah aku istrinya? Seharusnya aku tetap menjadi tempat dia pulang dan membagi kasih sayang, bukan malah meninggalkannya.

"Mas ... kamu ingin aku bagaimana?" tanyaku.

"Maksud kamu apa?" tanya mas Pamuji tidak mengerti.

"Aku bisa saja pergi dengan damai, dan membiarkan ibu menikmati semua gajimu, tapi ... rasanya nggak adil bagimu, Mas, mengingat kasih sayang ibumu begitu bersyarat. Pilihan kedua aku bisa melawan, mempertahankan hak-hakku dan anak-anak, tapi pasti akan terjadi kegaduhan," jelasku.

"Seperti katamu sebelumnya Sekar, kamu nggak mungkin memintaku memilihmu atau ibu, seburuk apapun sikap dan sifatnya dia tetap ibuku, aku ingin jalan tengah Sekar, tetap berdiri diantara kalian."

"Jadi maksudmu apa, Mas?" Kini aku yang tidak mengerti dengan jawaban mas Pamuji.

"Seperti keputusanku kemarin, aku hanya akan memberikan ibu jatah sesuai kemampuanku, aku akan tegas, aku nggak peduli nominal yang kuberikan cukup atau enggak untuk membeli sebuah doa dan kasih sayang dari ibu. Aku akan memenuhi kewajibanku padamu dan anak-anak, tentu saja sesuai kemampuanku, aku harap pembagian ini cukup di matamu sebagai bentuk tanggung jawab," ucap mas Pamuji panjang.

"Bagaimana menurutmu? Sudah adil?" tanya mas Pamuji.

"Sudah. Aku hanya berharap kenyatannya nanti akan sesuai dengan ucapanmu, Mas. Aku nggak mau kecewa lagi," jawabku.

Aku tidak mau menaruh harapan terlalu tinggi, mengingat betapa keras kepalanya ibu, dia pasti akan memaksa dan menggunakan berbagai cara agar mas Pamuji memenuhi keinginannya. Tinggal kita lihat bisakah mas Pamuji tegas dan tetap pada pendiriannya.

"Baiklah, sekarang tidurkan anak-anak, nanti kita ke rumah ibu," perintah mas Pamuji lagi.

Setelah beberapa menit hanya Tika yang tertidur, sementara Bagas tidak keberatan ditinggal. Aku dan mas Pamuji pun pergi ke rumah ibu yang letaknya hanya berbeda gang dengan rumah kami, rumah yang mas Pamuji beli setelah menikahiku dengan berhutang pada bank.

Sesampainya di depan rumah ibu mas Pamuji segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam terdengar ibu menjawab salam dan juga langkahnya yang mendekat untuk membuka pintu.

"Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambutnya.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!