"Hah? Mobil?"
Mobil?
"Doain aku Sekar biar semuanya berjalan lancar, kalo nggak ada masalah proses verifikasinya sebulan," ucap mas Pamuji lagi.
Aku belum tahu harus memberikan respon yang seperti apa, karena berita yang mas Pamuji bawa begitu mengejutkan.
"Akhirnya, aku bisa bahagiain kalian," ucap mas Pamuji penuh syukur.
"Hah?"
"Aku pengen banget bikin kalian bahagia setelah selama ini kamu dan anak-anak udah banyak menahan diri, ternyata Allah kabulin, kerjaanku juga lancar semua yang biasanya ruwet sekarang gampang," lanjut mas Pamuji.
"Karena mas udah nyenengin anak-anak, mereka kan masih polos jadi mungkin doanya gampang diterima, Mas."
"Kamu juga Sekar, kalo pengen apa-apa dan uangnya ada, jangan ditahan, beli aja, aku pengen nebus semua kesalahanku selama ini sama kamu," ucap Mas Pamuji, ada penyesalan memang di nada suaranya.
"Iya, Mas."
"Dulu aku pernah mikir kalo aku nyenengin ibu, rezeki kita akan ngalir deras, tapi nggak tahu kenapa, rasanya hidup makin sulit aja, padahal cicilan kita udah lama selesai tapi kehidupan kita nggak ningkat-ningkat," tutur mas Pamuji.
"Aku nggak ngerti kenapa bisa kaya gitu," tanya mas Pamuji sambil matanya menerawang ke atas.
"Terus mas denger ada yang ngomong, kalo kita nyenengin istri rezeki kita akan ngalir deras, dan lihat sekarang Sekar ... Allahuakbar, rezeki dateng terus padahal aku baru sekali ngasih kamu uang belanja lebih." Mulut mas Pamuji tersenyum lebar.
"Masa sih, Mas?" tanyaku tersipu.
"Bisa jadi iya, bisa jadi cuma perasaanku aja," jawab mas Pamuji.
"Mungkin karena ibu menggunakan uangnya buat foya-foya, bukan buat hal-hal yang bermanfaat," tuturku.
"Sepertinya iya, Sekar."
"Sekarang kita harus tetap rendah hati nggak boleh boros atau pun sombong, inget yang naik itu bukan gaya hidup tapi level sedekah."
"Iya, Sekar."
***
Keesokan paginya aku kembali mengantar sarapan ke rumah ibu, kali ini nasi goreng. Tanpa mengetuk pintu depan, aku langsung menuju pintu belakang untuk menghemat waktu karena sudah bisa ditebak Nurma dan Rima masih tidur.
Aku masuk dan langsung meletakan rantang yang kubawa di atas meja makan, lalu kedepan melihat Nurma atau Rima barangkali sudah ada yang bangun, karena hari ini mas Pamuji libur jadi aku tidak terlalu buru-buru. Terlihat mereka berdua masih terlelap, padahal hari sudah mulai terang.
"Pada nggak subuhan apa?" gumamku sendiri.
Kemudian kusapukan pandanganku ke arah kamar ibu, barang kali ibu sudah bangun dan ingin buang hajat.
Ibu?
Ibu berdiri di ambang pintu dan mengendap-ngendap.
"Ibu," panggilku.
Ibu tampak terkejut dengan panggilanku, tiba-tiba tubuhnya ambruk ke lantai. Suaranya yang berdebam membuat Nurma dan Rima bangun.
"Ibu kenapa?" pekik Nurma yang masih mengumpulkan kesadarannya.
"Ibu kok bisa jatuh disini?" ucap Rima panik.
Keduanya menatapku yang berdiri tidak jauh dari ibu.
"Mbak Sekar yang mapah ibu terus jatuh ya?" tuduh Rima melihat posisiku.
"Enggak!"
Keduanya memapah ibu kembali ke kasur, sementara aku terdiam melihat tingkah ketiganya. Aku tidak mungkin salah, ibu tadi berdiri bahkan berjalan.
"Kamu mau bikin ibu celaka ya, Kar!" ucap Nurma kembali menuduhku.
"Aku baru dateng kok, terus pas mau nengok ibu ternyata ibu lagi jalan mau keluar kamar, terus tiba-ti--"
"Hah?! Ibu jalan? Berdiri aja ibu nggak bisa!" potong Nurma tanpa membiarkanku menjelaskan.
Kuamati wajah ibu yang nampak kembali berdrama.
"Terus kamu pikir aku bohong? Coba tanya sendiri ke ibu kenapa dia bisa jatuh tadi pas ngeliat aku dateng," tantangku pasa Nurma.
"Ibu tadi kebelet jadi pas ada Sekar ibu minta tolong anterin, kan kasian kalian udah cape, jadi ibu minta tolong Sekar, eh tahu-tahu tadi ibu dijatohin." Air mats buaya kembali menjadi senjata ibu, tega-teganya ibu memfitnahku.
"Megang ibu aja enggak, apa lagi mapah ibu! " ucapku kesal.
"Kalo nggak suka sama ibu bilang aja nggak usah nyelakain ibu gini juga," ucap Nurma, tentu saja dia percaya pada ibunya.
"Mbak Sekar kok gitu sih sama ibu, kita berdua capek jagain ibu tapi Mbak Sekar justru mau nyelakain ibu," ucap Rima.
"Lebih baik kalian berdua tanya ke ibu, kenapa dia bohongin kalian, kenapa dia tega bikin kalian cape kaya gini, dua anaknya udah berkorban ninggalin suami dan anak demi ngurus ibu, tapi nyatanya ... cuma akting!" ucapku gregetan.
"Sekar!" teriak ibu.
Andai bukan karena mas Pamuji sudah kulawan ibu tukang drama ini.
"Kalo nggak suka sama ibu ya udah nggak suka aja, nggak usah pake fitnah-fitnah ibu," lanjut ibu.
"Kamu punya bukti apa?" tanya Nurma.
"Aku nggak punya, tapi aku berani jamin kalo tadi aku nggak nyentuh ibumu, justru ibumu yang jatuh sendiri setelah ngeliat aku!"
Tanpa peduli tanggapan mereka aku segera pergi, muak semuak-muaknya melihat drama ibu yang semakin lama semakin keterlaluan.
"Sekar, tunggu kita belum selesai!" teriak Nurma berusaha mencegahku.
"Udah biarin dia pergi, Nur." Sayup-sayup terdengar suara ibu yang mencegah Nurma menyusulku.
Sesampainya di rumah aku langsung mencari keberadaan mas Pamuji.
"Mas, aku dari rumah ibu," ucapku saat melihat mas Pamuji keluar dari kamar.
"Ibu udah bangun?" tanya mas Pamuji sambil mengelap rambutnya yang basah, nampaknya dia baru selesai mandi.
"Udah, udah bangun, udah berdiri, udah jalan."
"Maksud kamu?"
"Ibu bohongin kita, Mas. Ibu itu nggak stroke, ibu bisa jalan," ucapku menggebu-gebu.
"Udah 2 kali aku mergokin ibu bangun, kemarin dan tadi, dan lucunya saat ketahuan ibu langsung pura-pura jatuh," lanjutku.
"Beneran, Sekar?" tanya mas Pamuji memastikan.
"Bener, Mas. Tapi Nurma sama Rima nggak percaya."
"Hem, menurut penjelasan dokter, setelah dirawat kemarin seharusnya ibu sudah bisa merasakan kakinya," ucap mas Pamuji mengingat-ngingat.
"Ayo kesana, Mas! Kita buktiin kalo ibu beneran sakit atau enggak," ajakku.
Mas Pamuji menyetujui ajakanku, kalau benar ibu bohong, apa alasan ibu? Kekanakan sekali.
"Assalamualaikum," salam mas Pamuji sambil membuka pintu dan langsung masuk, aku mengekorinya di belakang.
"Mas, kenapa bawa Sekar kemari? Dia hampir aja nyelakain ibu," sambut Nurma tanpa menjawab salam.
"Siapa yang mau bikin ibu celaka? Sekar justru bikinin sarapan buat kalian," sahut mas Pamuji dan terus berjalan menuju kamar ibu tanpa meladeni Nurma.
Ibu kembali menangis saat melihat kedatangan mas Pamuji, Rima sedang di sisinya memijat kaki ibu.
"Ji, Sekar udah keterlaluan. Sekarang dia mulai ngefitnah ibu," adu ibu pada Mas Pamuji.
"Aku nggak fitnah ibu, aku beneran lihat ibu jalan tadi," belaku, mas Pamuji memegang tanganku mengisyaratkan untuk tidak membalas perkataan ibu.
"Emang yang sekarang ibu rasain bagaimana?" tanya mas Pamuji dengan lembut.
"Kaki kanan ibu masih mati rasa," jawab ibu.
"Bener, Mas. Aku sama mbak Nurma yang ngerawat ibu jadi pastilah kami yang tahu keadaan ibu, ibu memang masih belum bisa ngerasain kakinya," ucap Rima mendukung ibu.
Mas Pamuji mulai menatapku curiga, ayolah jangan ikutan bodoh seperti kedua saudarimua, Mas! Kubalas tatapan mas Pamuji dengan yakin, agar dia paham kalau aku tidak mungkin salah lihat.
"Istrimu itu memang nggak suka sama ibu dari dulu, udahlah ganti istri aja, Mas!" timbrung Nurma yang baru masuk dengan membawa segelas teh panas untuk ibu.
"Sekar juga nggak mungkin nuduh sembarangan, Nur," ucap mas Pamuji.
"Bela aja terus si Sekar itu, nanti dia makin besar kepala, lihat! Gara-gara Mas belain dia kemarin sekarang dia jadi ngelunjak, ini akal-akalannya dia aja biar Mas benci sama ibu," lanjut Nurma dengan tuduhan membabi-buta.
"Nurma!" pekikku.
Karena kesal kurebut segelas teh panas yang ada di tangan Nurma, dengan berpegangan pada gagangnya kutempelkan gelas itu kekaki kanan ibu.
"Aw, panas!" teriak ibu.
Kaki kanannya dengan reflek bergerak sehingga teh di tanganku kena tendang dan tumpah, air panas itu mengguyur kaki ibu.
"Panas, panas ...!"
Ibu bangun berjingkrakan di samping kasur mengibas-ngibaskan air teh yang mengenai kakinya.
Adegan demi adegan terlihat di depan mata mereka semua. Sekarang bukan hanya aku yang melihat ibu bangun dan berlompatan tapi mereka bertiga. Nurma dan Rima memandang ibu tanpa berkedip.
"Ibu ...," panggil Rima dengan lemah.
"I-ibu bohong sama kami?" tanya Nurma tidak percaya, namun kenyataan bahwa ibunya berdiri membuatnya syok.
"Ibu tega bohongin kami?" tanya Nurma lagi.
"Kenapa, Bu? Kenapa?" tanya Nurma dengan suara yang mulai meninggi.
"Hem ...."
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments