Baru kali ini aku diam saja ketika Nurma membentakku, keadaan membuatku menahan diri untuk tidak membalas. Mobil melaju meninggalkanku bersama kerumunan tetangga yang berkumpul dan ingin tahu.
Mereka bertanya, aku saja tidak tahu, lebih baik aku pulang. Mas Pamuji pergi tanpa membawa ponsel atau pun dompetnya. Aku pun menemani Bagas dan Tika tidur dengan hati yang resah. Aku mengkhawatirkan mas Pamuji yang baru pulang kerja dan belum sempat makan.
Malam pun berlalu, saat subuh bude Rum menelpon mengabariku tentang keadaan ibu. Ibu mengalami gejala stroke, kaki kanannya mati rasa sampai ke pinggang. Ibu dirawat di rumah sakit kota, dan bude Rum mengajakku untuk kesana.
Aku lemas dan tertunduk lesu, baru saja rumah tanggaku akan bahagia, tapi cobaan baru datang menyapa. Ibu sehat saja, gaji mas Pamuji lebih banyak kesana, apa lagi nanti jika ibu stroke. Pembagian gaji yang mas Pamuji katakan semalam sepertinya akan kembali gagal.
Aku sedih ibu sakit, tapi aku merasa lebih sedih karena bayangan bahagia keluarga kecilku kembali memudar.
Saat hari sedikit terang, aku pergi ke warung mbak Yuyun untuk membeli sayur dan beberapa cemilan, atau biskuit. Tentu saja kabar sakitnya mertuaku sudah sampai ke telinga mbak Yuyun sehingga kedatanganku dimanfaatkan olehnya untuk bertanya.
"Aku nggak tahu, Mbak. Ini baru mau nyusulin ke rumah sakit, tapi bude Rum bilang gejala stroke," jawabku pada mbak Yuyun.
"Stroke, Mbak Sekar?" tanya mbak Yuyun mengulang jawabanku.
"Baru gejala, Mbak."
"Mbak Sekar, orang-orang sini pada ngomong kalo mertuamu itu kena karma, udah tua masih dandan kaya anak muda, mentang-mentang janda jadi gayanya sok caper gitu, kaya nyari mangsa," ucap Mbak Yuyun membuatku tergelitik untuk tertawa.
"Masa sih, Mbak," ucapku berusaha menutupi sudut bibirku yang terlanjut naik.
"Iya, udah banyak yang ngomong gitu, lagian laki-laki sekarang nyarinya daun muda, bukan daun kering kaya dia," lanjut mbak Yuyun dengan sadis. Aku tidak kuat menahan tawa, kucubit saja tanganku sendiri agar tidak lepas kendali.
"Udah dihitung belanjaanku, Mbak Yuyun, aku buru-buru mau masak, mau ke rumah sakit."
Aku bergegas meninggalkan warung mbak Yuyun, dan pulang untuk segera memasak. Simpatiku pada ibu benar-benar luntur setelah tahu semua akal bulus ibu yang berusaha menguasai mas Pamuji selama ini.
Aku hanya mengkhawatirkan mas Pamuji yang mungkin saja belum makan. Aku mengemas bawaanku berupa termos air panas, gula, kopi, teh, cemilan, dan juga bekal makanan untuk mas Pamuji. Tak lupa kubawa baju ganti juga untuk mas Pamuji.
Kubawa pula ponsel milik mas Pamuji namun tidak dengan dompetnya. Aku akan berpura-pura lupa atau tidak tahu jika mas Pamuji menanyakannya. Aku lelah mengalah, mungkin benar kata mbak Yuyun kalau ini karma atau pelajaran untuk ibu. Semoga setelah ini ibu bisa sedikit berubah.
Kutitipkan Bagas ke rumah Raka, karena mereka berdua terbiasa betah main bersama, ibunya Raka pun tidak keberatan kutitipkan Bagas bersamanya, bahkan dia meminta Tika untuk tinggal juga, karena rumah sakit biasanya melarang anak kecil untuk masuk. Aku bersyukur masih ada orang yang baik di dunia ini.
Pakde dan bude Rum datang menjemputku pada pukul 9 pagi. Butuh waktu satu jam untuk sampai di rumah sakit tujuan, aku diam dan mengikuti kemana bude Rum melangkah karena aku tidak tahu dimana ibu dirawat.
Sampai akhirnya kita tiba di ruangan kenanga, kulihat mas Pamuji duduk di bangku panjang di depan salah satu ruangan di lorong panjang itu. Mas Pamuji berdiri melihat kedatangan kami.
"Ji, gimana ibumu?" tanya bude Rum, tak lupa mas Aji bersalaman dahulu dengan pakde dan bude.
"Sedang istirahat bude, ibu tidur tadi pagi habis minum obat," jawab mas Pamuji.
Kami pun masuk untuk melihat keadaan ibu, ada Nurma yang sedang memainkan ponsel di dekat ranjang ibu, dia pun berdiri melihat kami. Ruangan ini berisi 2 ranjang, namun ibu beruntung karena ranjang sebelahnya sedang kosong.
"Gimana keadaan ibumu, Nur?" tanya bude.
"Ibu stroke Bude, ibu masih sedih dan terpukul," jawab Nurma.
"Ya sudah, semoga nanti bisa sembuh seperti sedia kala," ucap bude lagi.
Aku meletakan barang bawaanku, meski malas kubawakan Nurma kotak nasi juga. Kuambil milik mas Pamuji dan kutuang secangkir teh untuk kubawa keluar bersama mas Pamuji.
"Makasih, Sekar," ucap mas Pamuji.
"Ibu beneran stroke, Mas?" tanyaku tidak percaya.
"Baru gejala, nanti kita obatin ibu ke alternatif aja. Pak Dayat kenal orang yang bisa ngobati stroke ringan kaya ibu," jawab mas Pamuji.
Mas Pamuji makan dengan lahap, dalam sekejap wadah nasi itu telah kosong. Kemudian mas Pamuji mandi karena dari kemarin dia belum mandi. Aku bergabung bersama bude, pakde, dan Nurma.
Nurma tampak menjaga sikapnya di depan bude dan pakde, namun tatapan tidak suka begitu terlihat di wajahnya. Hanya karena ini rumah sakit kubiarkan dia bersikap menyebalkan seperti itu. Bude pun banyak menasehati Nurma tentang perilaku ibunya.
Karena bosan aku memilih keluar dan duduk di depan kamar menunggu mas Pamuji. Tidak lama mas Pamuji datang dengan penampilan yang sudah kembali segar.
"Bagas sama Tika dimana, Kar?"
"Aku titipin sama ibunya Raka," jawabku.
"Apa nggak ngerepotin?"
"Kayaknya enggak, Mas. Soalnya dia sendiri yang minta, lagian ibunya Raka pengen banget Raka punya anak perempuan."
"Ini, Mas." Kuserahkan ponsel mas Pamuji yang kubawa.
"Dompetnya enggak sekalian? Aku cuma bawa duit 10 ribu di saku celana," ucap mas Pamuji.
"Aku lupa, Mas."
Nurma tiba-tiba datang menghampiri kami yang sedang asik ngobrol berdua. Malas sekali kalau harus bertengkar di sini.
"Aku mau ngomong, Kar!" ucapnya sinis, belum apa-apa dia sudah memulai.
"Ada apa, Nur?"
"Kamu nggak usah sok baik, ibu sakit juga gara-gara kamu, kamu ngelarang mas Pamuji ngasih duit ke ibu, kan?" tuduh Nurma.
"Nurma! Nggak usah mbahas itu sekarang," cegah mas Pamuji.
"Mas dipelet apa sih sama Sekar?" tuduh Nurma lagi.
"Jangan sembarangan, Nur!" timpalku.
"Aku muak sama kamu, Sekar. Kamu sok-sokan ngadu ke bude tentang gaya ibu, kegiatan ibu, biarin aja ibu banyak arisan kesana sini, dari pada kamu kuper," omel Nurma lagi.
"Ya boleh, tapi kan bisa sewajarnya aja," jawabku.
"Lagian nggak perlu aku ngadu semua mata juga tahu, ngeliat gimana penampilan ibumu dan rentetan kegiatannya yang sok sosialita," lanjutku gemas.
"Ya biarin aja kenapa, Sih?" ucap Nurma.
"Ibu itu udah capek nggedein anak-anaknya, wajar ibu nyari hiburan biar nggak spaneng ngadepin menantu yang ngeselin kaya kamu," ucap Nurma, ingin sekali aku tertawa mendengarnya.
"Ibu beli seragam dan sepatu senam juga biar ibu sehat, lihat kan akibatnya kalau ibu enggak olahraga, ibu sakit stroke sekarang, semua gara-gara kamu," lanjut Nurma.
Aku geli mendengar ucapan Nurma, ibu senam tidak dengan sungguh-sungguh. Ibu lebih banyak berfoto-foto ria dengan teman-temannya untuk dipajang di sosmed masing-masing. Mereka juga menjadikan senam sebagai ajang bergaya, dan juga pamer sepatu yang harganya setara dengan 3 bulan SPP Bagas.
"Sudah cukup! Kalian nggak usah ribut, ini rumah sakit," lerai mas Pamuji.
"Pokoknya gara-gara kamu ibu jadi sakit, puas kamu!" ucap Nurma, dia langsung berbalik dan kembali masuk ke ruangan.
Sementara mas Pamuji terlihat kalut dengan keadaan ini, aku harap keadaan ibu segera membaik.
"Apa mas juga berpikir aku yang bikin ibu jadi sakit?" tanyaku pada mas Pamuji di sela-sela waktu kami menunggu.
"Sudahlah Sekar, nggak usah ikut-ikutan Nurma." Kami pun kembali terdiam, kulihat mas Pamuji duduk sambil terkantuk-kantuk.
Pakde dan bude sudah pulang terlebih dahulu, sementara aku akan pulang bersama mas Pamuji nanti selepas dzuhur, karena menunggu kedatangan Rima untuk bergantian berjaga.
Rima tinggal cukup jauh, butuh 3 jam perjalanan kemari. Tingkah Rima tidak terlalu parah seperti Nurma, kami masih sedikit nyambung untuk ngobrol.
Hari mulai siang, seorang perawat terlihat masuk membawa nampan makan siang ibu dan juga obat.
"Mas dipanggil ibu!" ucap Nurma yang kembali menghampiri kami.
Mas Pamuji masuk dan aku mengikutinya.
"Ada apa, Bu?" tanya mas Pamuji.
"Ibu nggak mau makan sama minum obatnya," jawab Nurma, sementara ibu hanya diam dan membuang pandangannya dari arah kami.
"Kenapa, Bu? Ayo ibu makan dulu baru nanti minum obat, biar ibu cepat sembuh," bujuk mas Pamuji, aku mencium bau drama baru disini.
"Ibu nggak mau!" tolak ibu.
"Ibu kenapa, sih? Ngapain kita di sini kalau ibu nggak mau sembuh," bujuk mas Pamuji lagi.
"Ibu mau makan dan minum obat tapi ada syaratnya," ucap ibu, dan perasaanku mulai tidak enak.
"Apa, Bu?" tanya mas Pamuji dengan sabar.
"Ibu mau kamu ceraiin Sekar!"
.
.
.
.
.
.
.
Dukung cerita ini dengan komen, like, dan subcribe.
Terimakasih untuk teman-teman yang sudah menyisihkan sebagian rezekinya untuk membuka bab ini, semoga rezeki teman-teman ditambah berkali-kali lipat, aamiin.
Kalau ada kritik dan saran, silahkan tulis di kolom komentar.
Salam sejahtera semuanya, peluk sayang dan tetap kuat untuk Sekar-sekar di dunia nyata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Uthie
Hmm..
ngeselin banget sihhh itu mertua kaya gtu 😤
2022-08-25
0