"Halaman kalian kan sempit, banyak pot-pot begini, gimana kalo parkirnya di rumah ibu aja?" tanya ibu.
"Nggak usahlah, Bu, repot ntar," tolak mas Pamuji.
"Eh, enggak ngerepotin," bujuk ibu kembali melangkahkan kakinya mendekat pada kami.
"Bukan gitu, maksudnya aku yang repot berangkat sama pulang kerjanya," jelas mas Pamuji.
"Repot gimana, sih?" tanya ibu.
"Rumah ibu kan nggak jauh, kamu bisa jalan kaki dulu baru naik mobil," usul ibu.
"Nah itu, Bu, repotnya disitu," sambungku.
"Eh, masa jalan kaki sedikit aja dibilang repot," ucap ibu kekeh.
"Biarin di sini aja, lagian nggak sempit-sempit amat," tolak mas Pamuji lagi.
Ibu terlihat kesal dan langsung pergi tanpa berpamitan.
"Nekat banget si ibu, sampe minta mobil parkir di sana," ucapku kesal.
Kutinggalkan mas Pamuji yang masih mematung dan kembali duduk di depan tivi. Ada rasa marah dan kecewa yang tidak bisa kujelaskan, membuat dadaku sesak dan nafasku berat. Perasaanku pun kacau. Melihat figur seorang ibu yang tidak pantas untuk dilawan, tapi terus berperilaku seenaknya menabrak norma dan kepantasan.
Air mataku keluar tanpa bisa kumengerti alasannya. Aku bukan sedih, tapi aku lelah, gemas, kecewa, dan marah. Semua bercampur menjadi satu membawa ke titik manusiawiku sebagai menantu. Bisakah aku memiliki ibu mertua seperti lainnya? Bisakah!
Andai aku bisa memaki ibu pasti rasanya lega, tidak perlu tertawa tapi keluar air mata seperti ini. Aku ingin mengeluarkan 20.000 kata tentang ibu dari mulutku, bicara tanpa jeda dan henti.
"Sudah, nanti dada kamu sakit lagi, Sekar," ucap mas Pamuji mencoba menenangkanku.
"Tarik nafas pelan-pelan, terus keluarkan," tuntun mas Pamuji sambil memijat pundakku, aku pun mengikuti arahannya.
Aku pernah menderita Kardiomiopati Postpartum, atau pembengkakan jantung pasca persalinan. Mungkin secara medis seperti itu. Setelah kelahiran Tika adalah masa yang berat dimana aku pernah hampir kehilangan nyawa. Dimulai dari batuk parah yang tidak kumengerti sebabnya, sakit luar biasa di dada yang menjalar hingga ke punggung dan tangan, seolah-olah sesuatu di dalam dadaku akan meledak.
Mas Anjar menghabiskan banyak uang untuk membawaku bolak-balik ke rumah sakit, tapi nihil, kata dokter pembengkakan jantung memang tidak bisa sembuh, hanya bisa dijaga agar tidak sampai kambuh. Keadaan ekonomi kami membuat mas Pamuji tidak bisa berbuat banyak, untung aku punya mas Anjar.
Kemudian mas Anjar mencari seorang ahli pijat syaraf, namanya mbak Iis, dia rutin didatangkan mas Anjar seminggu sekali dari kampung kami yang berjarak 5 jam.
Di situlah mulai ada titik terang dari kondisiku yang mengkhawatirkan, untung ada kakak iparku, istrinya mas Anjar, yang setia menginap untuk merawat Tika yang masih sangat merah waktu itu.
Mbak Iis mengatakan bahwa aku sangat tertekan dan memendam amarah yang besar sehingga menyumbat syaraf dan urat yang membawa darah ke jantung. Bukan hanya dipijat tapi mbak Iis juga mengajakku bicara, menggali perlahan emosi yang kupendam selama ini. Tidak jarang aku menangis meraung-raung saat dipijat, tapi setelahnya aku lega. Amarah yang besar ini, siapa lagi kalo bukan karena ibu?
Di tengah-tengah perlakuan ibu yang seenaknya pada kami yang miskin, dan gaya ibu yang setinggi langit. Mulutnya yang dengan mudah menghina seperti kami ini orang lain, padahal kami adalah anaknya. Semua tentang ibu membuatku hampir gila, hanya dengan mengingatnya saja emosiku sudah meluap dan membuat dadaku sakit luar biasa.
Tahun yang sangat berat, aku takut kalau harus mati, aku takut bila anak-anakku tidak punya ibu lagi, terlebih Tika yang masih butuh air susuku. Tidak ada yang mencintai mereka seperti aku. Aku tidak mau bila mereka harus dirawat oleh ibu mertuaku, mau jadi apa mereka? Anak-anakku yang malang karena mempunyai nenek seperti Bu Susi.
Butuh waktu setahun lebih untuk pemulihan sampai akhirnya hidupku kembali normal dan sehat lahir batin. Saat itu memang aku belum seterbuka ini pada mas Pamuji, aku tidak berani mengatakan padanya bahwa aku marah dan kesal pada tingkah ibu. Itulah sebabnya kupendam marah seorang diri, tidak tahu harus bagaimana dan pada siapa kuungkapkan kalo aku marah. Untunglah ada Bagas dan Tika, penyemangatku untuk hidup.
"Mas ... aku cuma pengen sekali aja ibu minta maaf, minta maaf yang tulus," ucapku setelah nafasku mulai normal, mas Pamuji masih memijat pundak dan punggungku.
"Sabar," ucap mas Pamuji.
"Kesehatanmu lebih penting Sekar, ada Bagas sama Tika yang butuh kamu, kenapa sekarang kumat lagi?" tanya mas Pamuji.
"Aku kesel sama ibumu, Mas!" jawabku.
"Yang waras ngalah aja," ucap mas Pamuji dengan enteng.
"Kami perempuan nggak bisa gitu, Mas! Nggak kaya kalian yang bisa menghadapi sesuatu tanpa hati."
Memang benar bukan? Permasalahan menantu vs mertua bukanlah hal baru, hampir semuanya mengalami, tapi bagi mereka kaum laki-laki menganggap permasalahan ini hal yang biasa. Ingin sekali rasanya mengurai permasalahan ini satu persatu, menyelami hati dan pikiran ibu yang absurd benar-benar membuatku hampir gila.
"Suatu saat nanti pasti ibu sadar," ujar mas Pamuji.
"Aku ragu ibu bisa sadar, sesuatu yang salah karena dijalani terus lama-lama jadi benar, ya kaya ibu contohnya, yang menurut orang lain salah dan nggak pantes tapi karena ibu udah biasa ngelakuinnya ya di mata ibu bener dan pantes-pantes aja," debat emosi.
"Lihat, Mas! Ibu sampe bohong ke orang-orang kalo dia yang beliin kamu mobil, pengen banget ibu kesohor sampe nggak mikirin perasaan kita, apa ibu nggak malu udah kebuka kedoknya kemarin? Jangan-jangan ibu sakit mental, Mas, selalu haus perhatian orang, selalu ingin dipandang kaya," cerocosku pada mas Pamuji.
Mas Pamuji mungkin menutup kupingnya, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutku hampir sama setiap kali aku kesal pada ibu, mungkin mas Pamuji sudah hafal. Aku tidak peduli aku tetap bicara dari A sampai Z hingga perasaanku lega.
Keesokan paginya sebelum mas Pamuji berangkat kerja, ibu datang kembali ke rumah. Pakaiannya rapih, seperti hendak bepergian.
"Assalamualaikum," sapanya, kupandangi dari atas sampai bawah outfit yang ibu kenakan sambil menggelengkan kepala.
"Waalaikumsalam, mau kemana, Bu?" tanyaku.
"Pamuji udah berangkat?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku, ibu merangsek masuk ke dalam mencari mas Pamuji.
"Sebentar lagi," sahutku.
"Ji, sambil berangkat kerja anterin ibu ke rumah Bu Wandi yah, kan searah sama tempat kerja kamu," pinta ibu.
"Ada acara apa, Bu?" tanya mas Pamuji yang masih mengunyah sarapannya.
"Ada kepentingan," jawab ibu.
"Bertamu pagi-pagi apa nggak ngganggu, Bu?" tanya mas Pamuji.
"Ibu udah janjian, Kok!"
Aku cuek saja pada ibu dan memilih meneruskan aktifitas pagiku.
"Mbah mau kemana?" tanya Bagas.
"Mau jalan-jalan, Bagas ikut?" jawab ibu sambil memainkan ponselnya.
"Mbah mau nyobain mobil Bagas ya?" tanya Bagas dengan polos.
"Itu mobil ayahmu, mobil ayahmu ya mobil keluarga, mobil kita semua, mobil mbah juga," jawab ibu, aku terkejut mendengar konsep kepemilikan yang dijabarkan ibu di depan Bagas. Ini lucu sekaligus menjengkelkan.
Kubanting piring bekas sarapanku yang sedang kucuci, praank!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments