RETAK
"Jangan kekanakan begitu! Masalah sepele aja minta cerai," cebik Mas Pamuji, bagian mana yang dia anggap sebagai masalah sepele?
"Aku udah nggak tahan, lebih baik aku mundur aja dari kehidupan kamu, Mas, dari masalah ini, dari keributan yang nggak pernah ada ujungnya," ucapku serius.
Mas Pamuji hanya memandangku, keterlaluan sekali jika dia masih menganggap penderitaanku sebagai hal yang sepele.
"Aku nggak mungkin meminta kamu memilih aku atau ibumu, 'kan Mas?" ucapku lagi dengan membalas tatapan Mas Pamuji dengan dalam, aku ingin sekali saja suamiku ini melihat bahwa aku benar-benar sudah tidak sanggup.
Bulir bening mulai menetes dari ujung netraku, keputusan yang berat tapi aku memang buntu tidak tahu harus bagaimana mengakhiri semua ini. Jalan yang terlintas hanya berpisah, mengikhlaskan semua yang menjadi rezeki anak-anakku untuk dinikmati ibu mertuaku.
Selama delapan tahun pernikahan, rumah tanggaku sudah mengalami dua fase perekonomian. Pertama, fase dimana Mas Pamuji menanggung hutang puluhan juta yang berbunga hingga hampir mendekati angka 100 juta. Tahun yang berat kami lewati tanpa bantuan siapapun, kami hidup sesederhana mungkin, demi membayar cicilan yang besar setiap bulannya.
Saat itu kami merasa bahagia, keluarga kecil kami hangat meski sering tidak dianggap oleh keluarga besar suamiku, karena kami miskin. Kami menjauhi mereka demi menjaga kesehatan mental dan kami berjanji suatu saat kami pasti akan menjadi sesuatu.
Jujur saja hatiku sedih, ketika untuk makan saja kami harus sangat berhemat sementara ibu mertuaku hidup dengan gaya yang tinggi. Entah sengaja atau hanya perasaanku, beliau seolah memamerkan kehidupannya yang terkesan dipaksa terlihat kaya, untuk mengejek kami.
Sering kali kutemukan Mas Pamuji sedang menangis, dia pernah berujar bahwasannya dia malu padaku, malu karena ibu yang seharusnya mendoakan kami justru dengan terang-terangan menari di atas kemiskinan rumah tangga anaknya.
Pernah suatu ketika, kami kemalingan sepeda motor, Mas Pamuji sangat sedih karena itu kendaraan kami satu-satunya, namun mas Pamuji kecewa tatkala ibunya justru pamer di sosmed miliknya, berselfi-selfi ria di atas motor baru milik mbaknya--bude mas Pamuji. Iya, ibu mertuaku memang gaul, aku yang muda pun kalah gaya dengannya.
"Sabar Sekar," ucap Mas Pamuji.
"Aku tertekan, Mas! Kamu adalah anak lelaki yang sampai kapanpun akan tetap jadi milik ibumu, berbakti saja kamu, Mas. Lepaskan aku dan anak-anak, kalau memang anak-anakku bernasib baik, Alloh akan memberikan mereka rezeki lewat tanganku, biarlah gajimu menjadi milik ibumu sepenuhnya. Aku akan kerja untuk Bagas dan Tika," tuturku dengan sesenggukan.
"Berpikirlah jernih, Sekar!"
"Mas, aku lelah!" tegasku.
"Makanan yang setiap hari kumakan rasanya berhenti ditenggorokan setiap ibumu mengungkit nafkah yang kamu kasih, gara-gara menantu dan cucunya harus makan jatah ibumu untuk beli sepatu senam harus terpending hingga bulan depan," ucapku sendu.
"Ketika kita harus berhemat, ibumu justru hidup dengan gaya yang terlampau tinggi, setiap diperingatkan dia berdalih sedang menikmati masa tuanya, menikmati jerih payahnya telah membesarkan kamu."
"Lebih baik aku yang mundur, Mas! Biarkan rezekiku dan rezeki anak-anak datang dari tanganku sendiri, biar nggak ada lagi nasi yang tersangkut di tenggorokanku, biar ibumu bisa leluasa menikmati gajimu."
Mas Pamuji terdiam mendengar semua tumpahan amarahku. Aku lelah.
Ketika Mas Pamuji berhasil menyelesaikan hutangnya, kehidupan kami berangsur-angsur membaik. Di tahun ke-6 pernikahan, kami bebas dari hutang. Di saat itulah aku kembali hamil anak keduaku. Rezeki kami mengalir deras, mas Pamuji pun naik jabatan dengan gaji yang menjanjikan. Semua saudara telah kembali menganggap kami sebagai bagian dari mereka.
Mas Pamuji pun sudah bisa menyisihkan sebagian gaji untuk ibunya, setelah bertahun-tahun kami kenyang dengan sindiran karena tidak pernah memberikan jatah. Semua karena hutang.
Mas Pamuji terlihat bahagia, karena sejak saat itu dia kembali mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibunya. Miris memang, ketika bakti diukur dari materi. Tapi setidaknya suamiku tetap berusaha untuk berbakti sesuai standar yang ibunya terapkan.
Lambat laun ibu mertuaku semakin meminta lebih dari yang Mas Pamuji berikan. Banyak barang yang ibu mertuaku beli hanya karena tetangga yang lain membeli, dengan berbagai alasan dia selalu berhasil memaksa Mas Pamuji menuruti semua keinginannya.
Ah, aku cemburu? Entahlah. Hanya saja jalan pikiran ibu mertuaku tak pernah bisa kumengerti. Aku dan anak-anak terus mengalah padanya dengan bakti sebagai pembelaan. Rasanya sedih ketika anak-anakku lebih banyak menggigit jari, dan uang ayahnya lebih banyak berubah menjadi tanaman hias kekinian, seragam senam, atau barang-barang lainnya yang kurasa kurang bermanfaat.
Mas Pamuji kembali diam, sepertinya dia paham bahwa ucapanku bukan sekedar ancaman.
"Gajimu memang hasil kerja kerasmu, Mas. Tapi apa Mas tahu, Alloh menitipkan rezeki kami di dalamnya, bukan hanya rezeki ibumu, bisakah kamu adil membaginya sesuai kebutuhan? Mau sebesar apapun gajimu kalau untuk memenuhi gaya hidup ibu pasti akan kurang."
"Tapi pisah bukan jalan keluar, Sekar," jawab suamiku.
Sebenarnya mas Pamuji baik padaku, dia pun sepenuhnya sadar kalau ibunya sudah keterlaluan. Tapi dia tidak berdaya. Berkali-kali dia mencoba membesarkan hatiku untuk bersabar, disaat gaji suamiku besar justru kehidupan kami semakin memperihatinkan.
"Mas, aku punya harga diri. Hatiku sakit setiap ibumu membahas nafkah yang nggak seberapa darimu, dia boleh memperlakukanku seperti ini, karena aku memang hanya orang lain, tapi Bagas dan Tika adalah cucunya, darah kalian sama, tapi perlakuan ibumu nggak mencerminkan bahwa dirinya seorang nenek." Dadaku sesak menahan emosi.
Mas Pamuji menunduk, entah apa yang dia pikirkan, kedua tangannya menangkup menutupi wajahnya.
"Maafkan ibuku, Sekar," ucapnya lirih.
"Lepaskan kami, Mas."
"Nggak ... nggak Sekar. Aku akan lebih tegas pada ibu sekarang, pikirkan Bagas dan Tika, lagi pula secara pribadi kita berdua nggak ada masalah apapun, alasanmu minta pisah benar-benar nggak masuk akal."
Mas Pamuji benar, bahkan saat kehidupan membawa rumah tanggaku ke titik rendah kehidupan kami tetaplah hangat. Kami tetap saling menyayangi, saling menguatkan, dan saling mengingatkan untuk beribadah. Kami pun saling setia. Dan semua justru berubah saat kehidupan kami membaik, ketika ibu meminta ini itu, kami sering cekcok.
"Aku memutuskan berpisah justru karena Bagas dan Tika, mereka akan dapat apa jika ibumu terus-terusan begini?"
"Tapi ini nggak adil untukku, Sekar, " tolak Mas Pamuji.
"Kamu bisa berbakti, Mas."
"Tapi--"
"Mas, ini bukan pertama kali mas janji mau tegas sama ibu, tapi nyatanya mas selalu takut dengan ancaman akan dianggap sebagai anak durhaka. Tapi memang benar, Mas harus mencari ridho seorang ibu 'kan?"
Ibu mertuaku selalu mengancam dengan doa yang kurang baik bila mas Pamuji tidak memenuhi keinginannya. Pada masa puber kedua beliau, keinginan-keinginannya melebihi seorang remaja. Mas Pamuji kewalahan, sehingga kami yang selalu menjadi korban.
"Sekar ...," ucapnya pasrah, mengiyakan semua perkataanku tentang ibunya.
"Maafkan aku, Mas!"
Tubuhku limbung di pangkuan mas Pamuji, kulepaskan semua tangis keputusasaanku.
"Maafkan aku yang nggak bisa jadi istri yang baik, maafkan aku karena aku kurang sabar, maafkan aku yang kemampuannya terbatas, maafkan aku yang nggak bisa membantumu berbakti pada ibumu," ucapku sesenggukan.
"Sekar ...." Kurasakan tangan mas Pamuji mengusap rambutku, suami yang sudah kudampingi selama 8 tahun.
"Kasiani aku, Mas. Aku nggak sanggup menyaksikan setiap tingkah laku ibu lagi, dan aku nggak mungkin memintamu memilih satu diantara kita, aku ikhlaskan semua," pintaku lagi.
"Kamu udah nggak mencintai aku lagi, Sekar?"
"Aku cinta, Mas. Karena itulah aku pergi, aku nggak mau mas jadi anak yang durhaka."
"Kamu nggak mengizinkan mas menjadi suami dan ayah yang baik!"
"Dengan berpisah anak-anak nggak akan tahu dilema yang dialami ayahnya, bagi mereka kamu tetap ayah yang baik, tapi kalau mereka tumbuh semakin besar, kemungkinan mereka akan bisa mengerti permasalahan ini, cukup aku yang tahu bagaimana setiap bulan kita harus mengalah."
Mas Pamuji kembali diam.
"Kamu mau kerja apa?" tanya mas Pamuji lagi.
"Apa saja! Asal halal dan--"
"Assalamualaikum, Ji ...." Panjang umur sekali, kedatangan ibu mertuaku menyela diskusi kami.
Aku segera mengusap airmata dan menyeka hidungku.
"Ibu datang, cepat kamu temui, Mas!"
Dengan berat mas Pamuji beranjak dari duduknya. Langkahnya terdengar setengah hati. Ketukan pintu berhenti setelah mas Pamuji membukanya.
"Waalaikum--"
"Ibu minta uang, Ji, mau arisan." Benar dugaanku, uang lagi, bahkan mas Pamuji belum sempat menyelesaikan salamnya.
.
.
.
.
.
"Ibu minta uang, Ji, mau arisan."
"Kan kemarin udah dikasih, Bu," jawab mas Pamuji.
"Itu buat kebutuhan yang lain, sekarang ibu mau arisan," ucap ibu ngotot.
"Arisan apa lagi sih, Bu?" tanya mas Pamuji.
Aku sengaja menutup telinga, sakit hatiku mendengar setiap rengekan ibu yang menurutku keterlaluan. Ibu memaksa mas Pamuji memberi lebih dan lebih untuk memenuhi gaya hidupnya, ibu selalu panasan jika ada tetangga yang punya sesuatu lebih darinya. Kalau yang ibu minta untuk kebutuhan primer atau untuk sesuatu yang penting hatiku tidak akan sesakit ini.
Mas Pamuji masuk ke kamar dan meraih sebuah benda pipih berwarna coklat, sudah kuduga dia tidak bisa menolak permintaan ibu. Kulemparkan pandangan ke tembok, kecewa kembali kurasakan melihat sikap suamiku. Uang yang dipakai ibu untuk bergaya adalah uang yang akan kugunakan untuk membayar SPP Bagas yang sudah menunggak 3 bulan. Mas Pamuji menjanjikan akan membayarnya bulan depan, bulan depan, dan bulan depan. Sepertinya bulan ini aku harus kembali menanggung malu dan meminta tenggang waktu pada guru Bagas.
Tanpa mengucap sepatah kata pun padaku, mas Pamuji keluar dan menyerahkan uang yang ibunya minta. Sayup-sayup terdengar ibu pamit dengan girang. Aku rindu cicilan, rindu sindiran ibu karena mas Pamuji tidak pernah bisa memberinya uang, setidaknya aku tidak lagi mengorbankan kebutuhan primer anak-anakku untuk kebutuhan tersier ibu mertuaku.
Mas Pamuji kembali ke kamar dengan wajah tertunduk, dia duduk dengan lesu tanpa berani menoleh ke arahku.
"Maaf, Sekar!" ucapnya lirih.
"Kita berpisah aja, Mas," pintaku lagi, mas Pamuji mendongak lemah mendengar kebulatan tekatku.
"Kamu bisa kerja Sekar tanpa perlu berpisah," ucap mas Pamuji menolak permintaanku.
"Mas ... kalau aku kerja sekarang bukannya kebutuhan Bagas dan Tika tercukupi, tapi ibumu yang akan semakin menjadi. Mentang-mentang aku kerja nanti akan makin banyak yang ibumu minta, aku yakin itu."
Mas Pamuji kembali menunduk dan membuang nafas dengan kasar.
"Apa yang kamu kasih ke ibu tadi adalah yang SPP Bagas, Mas?" Mas Pamuji diam tanpa berani menjawab.
"Dulu kami hidup serba kekurangan," ucap mas Pamuji, "demi membesarkan aku, Nurma, dan Rima ibu banyak menahan keinginannya, karena bapak hanyalah seorang buruh bangunan. Jadi sekarang ibu sedang menuntaskan semua keinginan yang dulu dia pendam, Sekar," kisah mas Pamuji.
"Dan lagi, perbedaan nasib ibu dengan bude Rum dan lek Tri yang beruntung mendapat suami yang berada dan hidup enak, membuat ibu merasa dunia nggak adil sama dia," lanjut mas Pamuji.
"Jadi, maklumi tingkah ibuku," pungkas mas Pamuji.
"Sampai kapan, Mas? Sampai ibumu puas? Kapan puasnya? Boleh aja bergaya seperti itu jika mampu, permasalahannya kamu mengorbankan kami untuk gaya hidup ibumu, miris, Mas, memalukan, di usianya seharusnya ibu banyak beribadah bukan sibuk mengejar kesenangan." Dadaku naik turun mengeluarkan semua unek-unek yang kupendam.
"Dan ... pembelaanmu untuk semua sikap ibu yang boros, membuatku semakin yakin, jalan satu-satunya agar anak-anak bisa bahagia adalah pisah."
Kutinggalkan mas Pamuji di kamar, dua tahun rasanya sudah cukup bagiku untuk bersabar, tapi sebagai seorang ibu aku tidak akan membiarkan anak-anakku terus-terusan hidup susah.
Aku masuk ke kamar anak-anak, mengambil sebuah kardus untuk mengemas baju-baju anakku. Bahkan baju-baju anakku adalah pemberian dari bude Rum, bekas cucunya yang sudah kekecilan. Kalau tidak, mungkin anak-anaku tidak punya baju yang pantas.
Air mataku menetes setiap menyentuh lembar demi lembar baju Bagas dan Tika, kasian sekali mereka. Baju, sepatu, mainan, dan masih banyak lagi barang yang mereka punya adalah bekas cucu bude Rum. Bude Rum memang baik, kehidupan beliau juga baik, anak-anaknya sukses dan hidup enak. Tapi akan salah, bila ibu mertuaku menggunakan kehidupan bude Rum sebagai tolak ukur kebahagianya, bukankah setiap orang memiliki nasib yang berbeda?
Aku bergerak perlahan karena Tika sedang tidur siang, sementara Bagas sedang bermain di luar. Setelah selesai aku kembali ke kamar untuk mengemasi bajuku, baju yang tidak seberapa dan tentu saja sebagian adalah baju bekas pemberian bude Rum atau lek Tri.
Kardus, iya, hanya kardus, karena aku tidak punya tas besar. Aku bergerak cekatan, aku ingin segera pulang, menutup mata melihat hak-hak kami dinikmati ibu mertuaku.
"Sekar ... jangan gegabah, apa kamu benar-benar harus pergi secepat ini?" tanya suamiku.
"Aku sudah memikirkannya sejak lama, sejak mas lebih banyak memberiku janji dan kepedihan sementara ibu hidup mewah namun tidak berfaedah."
"Ganti bajumu, Mas! Antar aku dan anak-anak ke rumah mas Anjar, kita memulai baik-baik, dan karena penyebab kita berpisah bukan berasal dari diri kita pribadi, jadi aku harap hubungan kita tetap baik demi anak-anak."
Kedua orang tuaku telah meninggal sejak lama, aku hanya punya seorang kakak. Butuh waktu kurang lebih 5 jam perjalanan menggunakan bus untuk sampai ke rumah mas Anjar. Di sanalah aku berencana memulai kehidupan baru.
Hanya dengusan kesal mas Pamuji yang kudengar, aku tidak peduli, bila dia tidak bisa tegas maka aku yang akan tegas.
"Duduk dulu, Sekar! Obrolan kita belum selesai, masih ada jalan lain," ucapnya berusaha menghentikanku.
"Jalan yang kaya gimana, Mas? Ada sekolah Bagas yang harus dibayar, ada beras yang tinggal segelas yang harus dibeli, ada kebutuhan dapur untuk kita makan sehari-hari yang mulai habis, sementara gajian mas yang belum ada seminggu udah habis entah kemana."
"Aku lelah, Mas!" teriakku mulai kehilangan kesabaran.
"Sebentar lagi Bagas pulang, dan Tika juga bangun. Kalau mas nggak mau nganterin, aku terpaksa pergi sendiri," ucapku tidak peduli.
"Baiklah Sekar, aku ijinkan kamu pergi. Mungkin kamu butuh waktu menenangkan diri dan berpikir jer--"
"Aku butuh dinafkahi, Mas! Secara layak ... aku sangat memaklumi ketika dulu Mas memang nggak punya, tapi nggak untuk sekarang!" Kuucapkan kalimat ini tepat di depan wajah mas Pamuji.
Lelaki yang sudah kudampingi suka dukanya, cinta dan taat yang kujunjung tinggi perlahan luntur, karena kenyataan hidup bahwa anak-anakku tidak akan hidup layak hanya dengan cinta. Mata kami saling beradu, mataku yang penuh dengan amarah dan mata mas Pamuji yang putus asa. Percayalah, tidak mudah bagiku untuk sampai pada keputusan ini.
Terdengar suara anak sulungku pulang, tanganku reflek menyeka airmata dan mengontrol raut wajah agar terlihat baik-baik saja. Begitu juga dengan mas Pamuji, kami selalu menghindari bertengkar di depan anak-anak.
"Mama ... Bagas pulang, assalamualaikum," teriak bocah 7 tahun itu lantang, sebentar lagi dia akan masuk SD, berbagai biaya sudah kuprediksi menunggu di depan sana.
"Waalaikumsalam, Bagas habis main dimana?" sambutku.
"Habis main di rumah Raka. Mah, Raka punya mobil remot baru, namanya mobil monster, mobilnya bagus bisa jumping bisa jalan di air juga dan enggak rusak pas kena air, Bagas mau, Mah, mobil kaya gitu," celotehnya panjang.
"Ayah ... Bagas mau mobil-mobilan kaya Raka," pinta Bagas menghampiri ayahnya.
Mas Pamuji terlihat sedih mendengar permintaan Bagas, anak laki-laki yang saat kelahirannya dulu, dia sambut dengan bahagia.
"Sudah jangan ganggu ayah, ayo Bagas mandi kita akan ke rumah pakde Anjar." Segera kuambil alih Bagas yang akan merengek pada mas Pamuji.
"Tapi sekali aja, Mah, Bagas pengen punya mobil monster kaya Raka, nanti Bagas jaga baik-baik, Mah, Bagas nggak akan rusakin, Bagas janji," rengeknya padaku, kudengarkan semua permintaanya dengan pilu sambil tanganku cekatan membuka bajunya dan menyuruhnya mandi.
"Iya, Gas, doakan mama punya rejeki yang baanyaak biar bisa beliin Bagas mobil remot kaya Raka, yah," jawabku mencoba menenangkan Bagas.
"Ya Alloh ... beri ayah Bagas rejeki ya Alloh, eh salah, beri mama Bagas rejeki ya Alloh, Aamiin," ucapnya sambil tangan menengadah ke atas.
"Aamiin ...," ucapku membarengi Bagas.
"Kenapa rejeki mama bukan rejeki ayah? Biasanya Mama nyuruh Bagas doain ayah," tanya Bagas dengan lugu.
"Karena mama juga mau kerja kaya ayah, biar Bagas punya mainan dan biar Bagas bisa makan chiken yang Bagas pengen, jadi Bagas harus banyak-banyak doain mama sekarang."
Bocah itu akhirnya mandi, Bagas memang sedang dalam fase banyak bertanya. Aku bergerak ke kamar untuk membangunkan Tika, sementara mas Pamuji masih terdiam di tempatnya. Mungkin dia tersinggung dengan percakapanku tadi dengan Bagas, tapi mau bagaimana lagi, untuk makan saja kami kekurangan apalagi untuk membeli mainan.
Dengan sedikit repot kami bertiga telah rapih. Kemudian kuhampiri mas Pamuji di kamar untuk bertanya kesanggupannya untuk mengantar. Mas Pamuji tengah duduk termenung di sisi ranjang, perlahan kudekati, keputusanku telah bulat, diantar ataupun tidak aku akan tetap membawa anak-anak pergi. Terlebih bayangan bahwa aku akan bisa membahagiakan anak-anak membuatku semakin ingin lepas dari mas Pamuji dan ibunya.
"Mas ... kami udah siap, Mas mau nganterin atau enggak?" tanyaku.
Mas Pamuji tidak menjawab, perlahan kulihat pundaknya bergerak naik turun. Mas Pamuji menangis. Dengan kalut kudekati suamiku itu, kupegang pundaknya untuk memberinya kekuatan. Detik berikutnya Mas Pamuji memelukku erat dan semakin leluasa melepas tangisnya.
Tiga kali kusaksikan mas Pamuji menangis, pertama saat kelahiran Bagas, kedua saat kelahiran Tika, dan ketiga adalah saat ini. Kubiarkan mas Pamuji melepas kesedihannya. Kutepuk-tepuk punggungnya dengan lembut. Seperti memakan buah simalakama, hatiku sakit tidak tergambarkan.
Benarkah keputusanku?
"Maafkan aku, Sekar!" ucap mas Pamuji sesenggukan.
"Aku nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa jadi ayah yang baik, nggak bisa bahagiain kamu atau pun anak-anak, aku membuat kalian hidup susah, maaf Sekar!"
'Sebenarnya kamu bisa, Mas, andai saja kamu adil dan nggak terlalu royal pada ibumu,' batinku.
Tentu saja aku tidak bisa mengucapkannya pada mas Pamuji, selain untuk menjaga perasaannya juga karena tidak ingin memperpanjang perdebatan.
"Sudahlah, Mas, kita harus sama-sama menerima kenyataan. Mas bisa menjadi anak yang baik bagi ibu, dan aku bisa membahagiakan anak-anak."
Kulepas pelukan mas Pamuji, entah kenapa aku tidak lagi menangis seperti tadi. Apakah ini tanda bahwa keputusanku sudah benar?
"Apa kedua hal itu nggak bisa berjalan beriringan?" tanya mas Pamuji, dia mulai menyeka airmatanya.
"Andai saja bisa, aku pasti bahagia, Mas!" jawabku.
"Tapi aku nggak bisa pisah dari kamu dan anak-anak, Sekar! Baru membayangkan aja udah berat," ucapnya lagi.
"Mas bebas menemui mereka nantinya, kita akan bersikap seolah semua baik-baik aja," jawabku mantap.
"Sekar ...," rintihnya memelas padaku.
"Ini juga berat untukku, Mas. Aku berusaha bersikap baik dengan nggak menggaduhkan masalah ini, aku bisa saja marah-marah dan menuntut semua di depan ibu, tapi apa itu akan membuat ibu berubah? Aku rasa enggak, aku pendam dan terus memendam semua, Mas! Berusaha mencari jalan terbaik dan sedamai mungkin."
"Kenapa kamu begitu yakin akan bisa membahagiakan mereka Sekar? Kamu mau kerja apa?" tanya mas Pamuji.
"Apa saja, Mas. Aku yakin karena Alloh akan memindah rezeki Bagas dan Tika yang semula datang lewat tangan Mas ke tanganku," jawabku dengan yakin.
Sebenarnya aku mendapatkan tawaran pekerjaan dari Puji di sebuah pabrik garmen di dekat rumah mas Anjar. Puji adalah sahabatku dari kecil, aku telah banyak berkeluh kesah padanya sehingga dia membantuku mencari pekerjaan untuk menyelesaikan masalahku.
Mas Pamuji diam tanpa bisa mendebat argumenku. Dia terlihat berpikir untuk bisa menahanku disini.
"Jadi, Mas mau nganterin kami atau enggak? Hari semakin sore nanti kita kehabisan bus."
Dengusan nafas mas Pamuji terdengar berat, kemudian dia berdiri dan meraih pintu lemari.
"Aku antar," ucapnya singkat.
"Mas ...," panggilku pada mas Pamuji dan berhasil membuatnya berhenti membuka setengah pintu lemari.
"Talak aku sebelum aku pergi."
"Sekar!" bentak mas Pamuji dan membuatku sedikit terkejut.
"Pikirkan lagi, aku memang membebaskan kamu pergi sekarang, tapi tidak untuk buru-buru ke arah sana!" Bila tadi mas Pamuji terlihat sedih, sekarang dia terlihat marah.
"Dua tahun bukan waktu yang buru-buru, setiap hari aku semakin tercekik dengan gaya hidup ibumu yang tinggi, Mas harus segera menalakku agar putus ikatan kita di depan Alloh," ucapku sedih.
"Aku ingin mengambil rezekiku sendiri dan juga rezeki anak-anak dari tanganmu, Mas! Jika ikatan kita putus Alloh akan kembalikan jalan rezeki itu ke tanganku. Aku ingin hidup layak dengan anak-anak, aku mohon, Mas, andai Mas bisa pahami betapa menderitanya aku selama ini," lanjutku berusaha meyakinkan mas Pamuji.
"Rezeki, maut, jodoh itu sudah diatur, Sekar!" ucap mas Pamuji.
"Memang, Mas. Mungkin juga jodoh kita cuma sampai sini."
Mas Pamuji kembali mendengus kasar, dia berbalik dan meneruskan aktifitasnya.
"Tunggu aku di luar!" perintah mas Pamuji tanpa memperdulikan permintaanku.
Aku pun segera keluar karena suara Bagas dan Tika mulai gaduh, mereka tidak sabar untuk pergi. Kesempatan untuk naik bus dan berjalan-jalan adalah hal yang langka bagi mereka, tentu saja mereka kegirangan saat kubilang akan pergi ke rumah pakdenya.
Kami menunggu di teras, dengan sebuah tas kecil dan dua kardus berisi pakaian kami. Sementara hanya ini yang bisa kubawa. Bagas dan Tika berceloteh riang sambil menunggu ayahnya.
Cukup lama sampai akhirnya mas Pamuji keluar, Bagas dan Tika menghambur ke arahnya dan menarik tangannya untuk bergegas. Mereka hanya tahu kita akan naik bus, tanpa mereka tahu bahwa inilah titik dimana hidup mereka akan berubah.
Di saat kami sudah siap untuk pergi tiba-tiba bude Rum datang, mungkin beliau hanya lewat namun melihat kami bersiap pergi beliau menghampiri kami.
"Mau kemana, Kar?" tanya bude Rum.
"Bagas sama Tika mau ke rumah pakde Anjar, Mbahde Rum," jawab Bagas.
"Kata mama kita akan nginep lama makanya mama bawa baju banyak," terang Bagas melihat bude Rum keheranan dengan bawaan kami.
"Oh iya, ada acara apa?" Bude melirikku dan mas Pamuji.
"Mama mau kerja biar bisa beliin Bagas mobil remot," jawab Bagas lagi, anakku terlalu jujur dan polos.
"Ada apa, Sekar?" tanya bude curiga.
"Kenapa, Ji?" Kini giliran mas Pamuji.
"Kenapa Sekar harus kerja, bukannya gajimu sekarang lumayan, Ji?"
"Maaf Bude, ada hal yang nggak bisa aku jelaskan," ucapku pada bude Rum.
"Bagas sama Tika beli es cream dulu ya," ucap bude Rum sambil mengulurkan selembar uang berwarna ungu pada Bagas.
Bagas kegirangan, dia mengajak Tika untuk ke warung. Bude Rum sepertinya curiga, aku hanya tidak ingin ada yang ikut campur, bagaimanapun juga kelakuan ibu mertuaku adalah hal yang tidak pantas dan cukup memalukan.
"Ayo ngobrol di dalam, barangkali kamu mau cerita sama bude, Sekar!" ajak bude Rum mendahului langkah kami kembali ke rumah.
Aku dan mas Pamuji saling pandang sambil mengikuti langkah bude. Sebagai menantu aku masih berbaik hati untuk tidak mengumbar dan cenderung menutupi kejelekan mertuaku. Bukan karena ibu tapi karena menghormati dan menjaga perasaan mas Pamuji, bila memang harus berpisah aku berharap bisa pisah secara baik-baik.
Mas Pamuji kembali mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu. Bude langsung duduk dengan nyaman, aku duduk di samping kanan dan mas Pamuji duduk di samping kiri.
"Kalian kenapa?" tanya bude Rum.
Aku dan mas Pamuji saling diam, orang luar hanya tahu ibu sekarang sudah hidup lebih baik tanpa tahu apa yang harus kami alami demi memberikan semua permintaan ibu. Mungkin ini saatnya, bude Rum harus tahu karena bude bukanlah orang lain bagi kami, ibu mertuaku pun adalah adiknya.
"Jadi nggak ada yang mau jawab?" tanya bude Rum lagi.
"Sekar mau pisah dari mas Pamuji, Sekar nggak sanggup lagi melihat semua kelakuan ibu mas Pamuji," ucapku lirih.
"Astaghfirullohaladzim, masalahnya apa?"
"Bagas dan Tika semakin sudah mulai besar, mulai butuh biaya yang enggak sedikit, tapi hampir semua gaji mas Pamuji habis oleh ibu, jangankan untuk kebutuhan yang lain atau bahkan tabungan anak-anak, untuk makan aja kami sulit," tuturku.
"Maaf bude, Sekar bukan sedang menjelek-jelekan ibu, atau nggak ikhlas karena ibu menghabiskan semua gaji mas Pamujo, tapi kami juga butuh, Bude."
"Bude paham, Kar. Ibumu itu memang dari dulu seperti itu, demi dianggap mampu sering kali membeli barang secara kredit, pas tagihannya datang ya dia kelabakan, pasti datangnya ke bude. Bude bukannya perhitungan, tapi ... ibumu memang harus ditegur."
"Sekarang dia menyusahkan anak dan menantunya, padahal bude bukan sekali dua kali menasehatinya, menolongnya dari rentenir," ucap bude berkisah.
Aku terkejut mendengar kenyataan lain tentang ibu mertuaku.
"Apa kamu diam saja, Ji, nggak negur kelakuan ibumu?"
"Mas Pamuji takut dianggap anak durhaka lagi Bude, dulu saat kami terbelit hutang ibu sering mencela dan tidak segan-segan berucap bahwa kami durhaka," jawabku menyela.
Mas Pamuji hanya diam dan mengiyakan ucapanku.
"Berbakti memang nggak harus diukur dari harta, berilah ibumu semampunya saja, kasian Sekar dan anak-anakmu. Masalah ibumu menganggap kamu kurang berbakti pasrahkan aja sama Alloh, doakan dia agar hatinya melunak, agar dia berubah dan berhenti bergaul dengan orang-orang yang memaksanya harus terlihat kaya."
"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan.
Apakah rumah tanggaku bisa selamat?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!