"Tentang Bapak, tentang perlakuan ibu yang amoral, apa aku boleh tahu?" tanyaku mencoba memberanikan diri untuk tahu.
Mas Pamuji menunduk, membuang nafas untuk mengosongkan dadanya yang berat.
"Nggak mau juga nggak papa, Mas. Tapi kalo Mas butuh temen cerita, jangan sungkan, ya. Aku baru tahu ternyata Mas banyak mendem masalah sendiri," ucapku mencoba membuat mas Pamuji nyaman.
"Bapakku seorang pekerja kasar, dia ikut proyek jalan tol yang terkadang harus berpindah-pindah pulau," ucap mas Pamuji mulai bercerita, diiringi deru suara bus dan klakson kendaraan yang saling melaju.
"Sebenernya uang yang bapak kirim waktu itu lebih dari cukup untuk kehidupan kami, tapi gaya hidup ibuku membuat semua terasa kurang dan kurang."
"Ada aja barang yang ibu ambil dengan cara kredit, hingga lama kelamaan penghasilan bapak nggak cukup untuk bayar semua tagihan-tagihan ibu, sementara barang yang nggak berguna banyak teronggok di rumah."
"Bukan satu dua orang yang udah negur ibu waktu itu, tapi ... ibu keras kepala dan paling berhenti hanya sebentar, lalu dia mulai lagi."
Aku diam mendengarkan dengan seksama cerita mas Pamuji, selama ini aku hanya tahu kalau bapak mas Pamuji seorang kuli bangunan.
"Waktu itu aku belum ngerti, aku cuma tahu gaji bapak kecil, kami harus berhemat, pas udah gede aja aku baru tahu ternyata proyek jalan tol itu gajinya lumayan," ucap mas Pamuji sambil sesekali matanya menerawang ke depan.
"Waktu itu aku masih SMK, aku biasa nongkrong dan pulang menjelang subuh. Hampir setiap aku pulang, ibu pasti sedang menelpon, bahkan ibu bisa berjam-jam bercanda manja lewat panggilan itu," lanjut mas Pamuji, nada suaranya mulai terdengar sedih.
"Aku penasaran, akhirnya kutelpon bapak dan kutanya, apa bapak yang telponan sama ibu setiap malam sampai pagi? Ternyata bapak menjawab tidak," ungkap mas Pamuji.
"Aku memarahi ibu karena kurasa ibu mulai bermain api, tapi ibu terus mengelak, aku juga dengar kalau ibu dan bapak bertengkar lewat telpon karena aku mengadu," lanjut mas Pamuji.
"Aku yang marah pergi dari rumah dan kabur ke rumah Simbah dari keluarga bapak, bodohnya kuceritakan semua kejadian yang sedang menimpa ibu dan bapak kepada simbah dan lik-likku. Mereka marah dan mendatangi ibu, serta mengutuk kelakuan ibu yang sudah mengkhianati bapak."
Ada banyak fakta yang membuatku semakin terkejut. Aku sibuk mencerna kata demi kata yang mas Pamuji ceritakan.
"Aku nggak berani pulang, jadi sementara aku tidur di rumah simbah, seminggu kemudian bapak pulang dari Batam, dan pertengkaran hebat terjadi, selain karena perselingkuhan, bapak juga mempertanyakan uang yang selama ini bapak kirim, ditambah campur tangan dua keluarga simbah dari ibu dan simbah dari bapak. Semua semakin keruh."
"Sore itu hujan sedang lebat, aku bersama bapak sedang berkumpul di rumah simbah dengan adik-adik bapak. Bapak tertidur di atas dipan tanpa kasur, tiba-tiba tubuh bapak menggigil, badannya panas tinggi, akhirnya kami membawa bapak ke rumah sakit dengan mobil pickup yang kami pinjam dari Pak Tarno pemilik toko bangunan."
"Sampai di rumah sakit nyawa bapak tidak tertolong, kami nggak tahu bapak sakit apa, dokter cuma bilang bapak meninggal diduga karena serangan jantung, atau bahasa kitanya angin duduk," ucap mas Pamuji dengan sedih.
"Aku menyesal, mengadukan prilaku ibu pada bapak saat itu, tapi ... mungkin dengan cara seperti ini lah Alloh memberikan bapak istirahat yang panjang setelah sepanjang hidupnya menjadi sapi perah oleh ibu," ucap mas Pamuji mengakhiri ceritanya.
"Jadi maksudnya amoral itu ibumu berselingkuh?" tanyaku.
"Iya, dan itu sangat hina di depan keluarga bapak dan keluarga ibu sendiri. Jika laki-laki yang selingkuh masih dianggap wajar karena itu naluri, paling dimaki-maki tapi harga dirinya tetap tinggi. Tapi jika perempuan yang berselingkuh harga dirinya udah jatuh, murahan, gatel, dan masih banyak lagi umpatan-umpatan untuk ibu saat itu," terang mas Pamuji.
"Aku heran, kejadian sebesar itu nggak mampu merubah ibu. Bude Rum yang paling baik dan sabar, dia tetap merangkul ibu tanpa lelah menasehati bahkan sampai sekarang, keluarga yang lain sudah lelah, apalagi keluarga bapak, mereka marah semarah-marahnya. Sampai sekarang nggak ada komunikasi apapun lagi," lanjut mas Pamuji.
"Saat itu, Nurma dan Rima masih kecil, belum banyak yang mereka mengerti, aku kecewa ... mereka justru mengikuti kebiasaan-kebiasaan jelek ibu."
Hebat sekali suamiku ini, dengan kisah sekelam ini dia masih menghormati ibunya.
"Waktu itu bude Rum bilang, ayam kalo bertelur 10 juga nggak semuanya jadi ayam, kadang ada yang busuk satu. Begitu juga orang tua, nggak semuanya jadi orang, terkadang ada satu yang gagal, dalam hal ini ibuku. Bude berpesan aku harus tetap menyayangi ibu, dan itu dicontohkan sendiri oleh bude Rum."
Aku kembali terdiam mendengar kalimat-kalimat terakhir mas Pamuji.
"Lalu? Diantara Bagas dan Tika juga akan ada yang gagal?" tanyaku khawatir.
"Kan aku bilang terkadang, makanya aku percaya kalau kamu yang mendidik mereka pasti akan berhasil, nggak perlu jadi orang besar yang penting mereka berdua saling menyayangi satu sama lain, saling menolong ketika mereka dewasa nanti, dan saling menjaga kalau kita sudah nggak sama mereka lagi."
Aku tersenyum mendengar penjelasan mas Pamuji, begitulah beban seorang ibu dalam proses pembentukan karakter anak. Jadi apa mereka nanti, sangat ditentukan oleh peran ibu.
Mendadak aku merasa kasihan pada Nurma dan Rima, mereka mendapat contoh yang salah sehingga kelakuan mereka sekarang juga menyebalkan seperti itu. Andai ibu bisa lebih bijak lagi sedikit, mungkin karakter Nurma dan Rima tidak akan seperti sekarang.
Kalau mas Pamuji, sepertinya dia lebih berkiblat pada bapaknya. Meskipun aku tidak pernah mengenal almarhum bapak mertuaku, tapi aku yakin beliau baik seperti mas Pamuji.
Terbesit tanya di dalam benakku, bagaimana bisa almarhum bapak yang baik berjodoh dengan ibu yang sifatnya seperti itu!? Ah, sudahlah. Bukan urusanku.
"Maaf, Mas. Mas jadi harus nginget semua peristiwa-peristiwa itu."
"Nggak papa, lagi pula aku sedikit lega sekarang," jawab mas Pamuji.
Tanpa terasa bus telah sampai di terminal kecil dekat rumah kami, hanya tinggal berjalan kaki 10 menit kami pun sampai ke rumah.
Tak lupa kami membeli beberapa bungkus es dawet ayu yang terkenal enak sebagai buah tangan untuk mamanya Raka, dan sebagai rasa terimakasih karena telah menjaga Bagas dan Tika.
Dalam perjalanan pulang ada tetangga yang bertanya pada kami perihal keadaan ibu. Tentu saja kami jawab seadanya, namun kabar yang terlanjur beredar adalah ibu sakit stroke dan sudah lumpuh, aku tidak tahu bagaimana kabar itu bisa beredar.
Saat kujelaskan mereka hanya mengangguk, namun setelah aku dan mas Pamuji pergi mereka kembali asik berkasak kusuk tentang ibu mertuaku.
Ibu, semoga setelah ini ibu bisa berubah.
Malam harinya, saat mas Pamuji sedang menonton tivi dengan anak-anak sebuah panggilan telpon masuk ke hape mas Pamuji.
"Mas ... telpon dari Nurma," ucapku seraya menyodorkan hape yang sedang bergetar.
Perasaanku mengatakan, ini soal biaya rumah sakit.
"Halo, assalamualaikum, ada apa, Nur?"
"Ke rumah sakit? Ada apa? Mas besok udah harus kerja," jawab mas Pamuji.
"Ya udah, pulang kerja besok mas kesana," ucap mas Pamuji kemudian mematikan panggilan itu.
"Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments