Kenyataan yang Lucu

Keesokan paginya kami sarapan dengan masing-masing satu telur mata sapi, biasanya satu telur dibagi dua untuk Bagas dan Tika, atau kutambah dengan tepung biar jadi besar dan cukup untuk kami berempat. Aku ingin sedikit, menghibur diri perihal telur dan beras kemarin.

Ditemani secangkir kopi lengkap dengan gula untuk mas Pamuji yang hendak berangkat kerja, serta segelas teh manis tentunya untukku. Apa ini sudah bisa disebut hidup layak? Aku sangat senang dan mulai bersemangat kembali untuk meneruskan hidup sebagai istri mas Pamuji.

Suara derap kaki terdengar mendekati pintu depan rumah kami, benar saja suara ketukan mengikutinya kemudian. Aku bergegas membuka pintu, penasaran siapa yang bertamu sepagi ini dan mengetuk tanpa salam.

"Ibu?"

Ibu berdiri di depan pintu dengan kepayahan membawa 2 kardus dan sebuah kantong plastik besar.

"Apa ini, Bu?"

"Ibu mau balikin barang-barang yang ibu beli pake uang Pamuji," jawab ibu dengan nafas sedikit ngos-ngosan.

"Tapi kenapa, Bu? Buat apa?" tanyaku semakin heran.

"Pokoknya ibu kembalikan! Kenapa-kenapanya kamu introspeksi sendiri, jangan sok polos kamu, Sekar. Ibu tahu sifat kamu yang sebenarnya. Silahkan kuasai anak ibu, ibu jamin kehidupan kalian nggak akan tenang!" jawab ibu dengan ketus dan kasar, nadanya pun tinggi.

"Astaghfirullohaladzim," pekikku dengan terkejut.

Drama apa lagi yang ibu lakonkan?

"Ada apa ini? Kenapa, Bu?" ucap mas Pamuji yang keluar mendengar teriakan ibu.

"Ambil semua yang ibu pernah minta dari kamu, Ji!" ucap ibu masih dengan nada yang tidak rendah.

"Jangan sampai kalian kelaparan gara-gara ibu," lanjutnya.

"Istighfar, Bu. Aku yakin ibu ngerti maksudku dan Sekar, tapi kenapa ibu bersikap berlebihan seperti ini?" tanya mas Pamuji, dia maju lebih dekat dan berdiri di depanku, gestur tubuhnya menandakan dia sedang melindungiku.

"Berlebihan kamu bilang?! Ibu juga punya perasaan, Ji. Apa yang kalian lakukan seperti penghinaan bagi ibu, seolah-olah aku ibu yang jahat, yang mementingkan diri ibu sendiri. Begitu kan Sekar, penilaianmu pada ibu?" Ibu menatapku sinis.

"Baru segini aja kalian sudah perhitungan, padahal ibu baru minta sedikit, tapi kalian sudah kelabakan. Makan semua Sekar, jangan sampai kamu dan anak-anakmu kelaparan!" lanjut ibu meluapkan amarah yang menurutku tidak jelas akar dan ujungnya.

Sikapnya seperti remaja yang ngambek karena tidak dituruti, aku mengurut dada menyaksikan tingkah ibu yang semakin absurd dan susah kumengerti. Definisi seorang ibu seperti tidak ada di diri beliau.

Mas Pamuji mengepalkan tangan, dia menahan marah. Ibu mulai berjongkok dan mengeluarkan isi dari kardus yang dia bawa. Baju, sepatu, gamis, dan masih banyak barang-barang lainnya yang bahkan aku tak tahu namanya. Ibu melemparkan apapun yang berhasil dia raih dari dalam kardus ke arahku. Beruntung mas Pamuji berhasil meraih tangan ibu dan menahannya.

Aku yang terlalu kuper, ditambah ibuku yang terlampau jauh bergaul. Hampir saja lupa, ibu mertuaku bahkan memakai behel gigi berwarna tosca, rambutnya sedada bercat merah, dan diluruskan. Bila pergi jauh beliau memakai jilbab, dan kalau cuma sekitaran sini beliau bergaya bak ABG. Aku jauh terbanting bila dibandingkan dengan nenek dari anak-anakku itu.

Ibu juga sering membagikan foto-foto yang, maaf ... centil, di sosmed miliknya. Hampir setiap hal ibu tulis sebagai status, aku yang jarang memiliki paket data saja sampai paham isi updatean ibu.

Ibu juga memiliki sebuah motor matic, yang setiap bulan dana servicenya hampir seperti jatah bulanan dapurku yang kempis. Motornya selalu di modif seperti anak motor, ganti ban-lah, pelek-lah, jok-lah, sepion-lah, sampai-sampai hampir tidak ada lagi bagian yang ori di motor itu. Aku heran, ibu mertuaku bergaul dengan siapa sebenarnya?

Sementara motor yang digunakan mas Pamuji pergi kerja adalah motor bekas yang kubelikan dari hasil pencairan BP*S ketenagakerjaan milikku, ketika motor milik mas Pamuji hilang hampir 5 tahun lalu.

Aku mendengus nelangsa dan tersenyum kecut mendapati kenyataan yang lucu seperti ini. Aku mengelus dada bukan untuk meminta hatiku bersabar, tapi aku sedang mengasihani diriku yang kuper dan juga menertawakan diriku sendiri.

Aku hanya berdoa, jangan sampai sifat seperti itu ada yang menurun pada anak-anakku.

"Ayo pulang, Bu. Aku antar sekalian berangkat kerja!" ucap mas Pamuji sambil menarik tangan ibu untuk mengikutinya menuju motor kami yang butut.

"Nggak usah, nanti bensinnya dihitung juga sama Sekar!" Ibu menarik tangannya dari pegangan mas Pamuji dengan kasar.

Aku memuji kesabaran dan kemampuan mas Pamuji untuk menahan amarah. Andai ibuku masih hidup, aku pasti bisa berlindung pada doa-doanya yang baik untuk kami, dari doa-doa yang buruk dari ibu mertuaku.

Aku yakin Alloh tahu apa yang ada di hati kami, tidak sedikit pun terbesit keinginan untuk menjadi durhaka. Aku pun ikut bahagia ketika ibu sedang memuji dan mengelu-elukan mas Pamuji saat mas Pamuji membuatnya senang, dan hatiku nelangsa melihat ibu dengan entengnya mengucapkan sesuatu yang buruk atas mas Pamuji ketika keinginannya tidak terpenuhi seperti ini.

Andai mampu, aku pasti lebih memilih untuk menyenangkan ibu dan memberikan apapun yang beliau minta. Namun bagaimana mungkin kami bisa menyuguhkan langit ketika kaki kami tidak menyentuh bumi?

Ibu pergi, mendahului mas Pamuji. Hari yang dimulai dengan indah tiba-tiba hancur, membuat semangat yang tadinya menggebu menjadi layu.

Ibu bolehkah kami berbakti dengan cara yang lain?

Kuhampiri mas Pamuji dan memberinya senyum. Kuraih tangannya dan menciumnya dengan takdzim.

"Maaf Sekar, sepertinya keadaan malah memburuk," sesal mas Pamuji.

"Bukan salahmu, Mas. Sudahlah kita banyak-banyak berdoa aja buat ibu," ucapku berusaha menenangkan mas Pamuji.

"Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalin aku, Sekar," ucap mas Pamuji lirih.

"Aku takut kamu kembali berpikir untuk berpisah," lanjutnya.

"Insha Alloh enggak, Mas. Bagiku yang terpenting adalah sikap Mas padaku dan anak-anak, hari ini Mas sudah menunjukan sikap yang membuat aku yakin untuk bertahan, Mas."

"Iya, Sekar. Sabar, ya, suatu saat pasti ibu berubah."

Aku mengangguk saja, meski dalam hatiku ada seratus persen ragu.

Mas Pamuji pun berangkat, aku berbalik dan melihat Bagas dan Tika sedang memegang-megang barang-barang yang ibu bawa. Mereka penasaran dan bertanya ini itu. Kujawab pertanyaan receh mereka sembari membereskan barang-barang ibu.

"Ya Alloh lindungi mas Pamuji dan keluarga kecil kami dari doa-doa yang buruk, dan jadikanlah anak-anakku keturunan yang sholih dan sholihah, aamiin," gumamku lirih.

Aku berniat untuk menemui bude Rum setelah mengantar Bagas sekolah nanti, meski aku tidak bisa memastikan seberapa berpihaknya beliau padaku, tapi aku harus bertanya apa saja yang sudah beliau katakan pada ibu mertuaku.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Hap£!π

Hap£!π

crtnya bagus bgt lho kaka
sesuai kenyataan dimasyarakat

2022-08-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!