Drama Ibu

"Dimana kamu, Sekar? Aku harus bikin perhitungan sama kamu!" ucap Nurma dari seberang sana tanpa peduli salamku.

"Di sekolah Bagas," jawabku singkat.

"Aku tunggu kamu di rumah ibu, aku mau ngomong penting!" ucapnya lagi kasar.

"Aku sibuk Nur, aku belum nyuci sama beres-beres rumah," tolakku.

"Oh kamu takut ya ketemu ibu?" tebaknya salah.

"Sejak kapan ibu jadi menakutkan?" tanyaku sekenanya.

"Oh, berani kamu ya, Sekar!"

"Sudahlah Nur, aku bilang cucianku banyak di rumah, aku sibuk, aku nyuci sambil jongkok kucek-kucek di kamar mandi, nggak kaya kamu atau ibu yang tinggal muterin mesin cuci, jadi nggak bisa ditinggal-tinggal."

Tanpa menunggu jawaban kutekan tombol matikan, malas sekali meladeni Nurma. Sudah kuduga ibu akan mengadu pada anak-anak perempuannya. Walau umurku dan Nurma sama tapi aku adalah istri kakaknya, seharusnya dia memanggilku mbak, tapi dia selalu bersikap seenaknya.

Nurma dan Rima bersikap hampir sama dengan ibu mertuaku, mungkin itu yang dinamakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Apa yang dilihat anak-anak dari seorang ibu terkadang mereka pun ikut melakukannya.

Mereka berdua telah berumah tangga, yang sering kudengar mereka pun sama, sering menuntut suami dan bergaya lebih. Pernah suatu ketika Nurma mengatakan bahwa, lebih baik dia tidak makan dari pada tidak bisa membeli skincare. Prinsip yang tidak bisa kumengerti, kupikir kebutuhan dasar hidup berupa sandang, pangan, papan tidak berlaku bagi mereka. Rasanya seperti hidup di peradaban yang berbeda.

Kami pulang berjalan kaki dengan gembira, semalam mas Pamuji memintaku membelikan chiken yang selalu diidam-idamkan Bagas untuk makan siang. Kami pun mampir untuk membeli ayam yang berbalut tepung krispi tersebut.

Sampai di rumah Bagas tidak sabar meminta nasi, mulut keduanya tidak berhenti tersenyum dan mengecap karena tidak sabar ingin memakan makanan yang sangat mewah bagi mereka. Bagas dan Tika pun makan dengan lahap dan gembira.

"Mama, Bagas mau doain ayah terus biar rezeki ayah banyak jadi bisa beliin Bagas sama Tika chiken lagi, chikennya enak," ucap Bagas gembira.

"Tika juga mau minta chiken sama Alloh," sambung Tika dengan mulut kecilnya.

"Iya sayang, doain rezeki ayah berkah juga ya," jawabku seraya mengelus kepala kedua anakku.

Kupandangi tingkah polah keduanya penuh haru, aku harap untuk seterusnya aku bisa membahagiakan mereka namun juga mampu mendidik mereka untuk tetap sederhana.

Sebuah ketukan keras di pintu membuyarkan renungan indahku. Detik berikutnya suara Nurma mengucap salam dengan kasar terdengar nyaring. Aku lelah mengalah, lagi pula melihat anak-anakku bahagia seperti tadi sudah membuatku candu. Akan kuhadapi mereka, aku bertanggung jawab melindungi hak-hak anak-anakku.

"Iya ... iya, sebentar," teriakku seraya berjalan menuju pintu.

"Lama banget sih, Sekar!" ucap Nurma ketika pintu terbuka.

"Nggak lama kok, aku denger ada yang teriak aku langsung lari bukain pintu, kalau nunggu aku selesai nyuci baru lama, wong aku baru mau mulai," jawabku asal.

"Ngeselin banget kamu, Kar!"

"Kalau kamu baik aku bisa kok bersikap baik, kamu aja banyakkan nggak sopannya."

"Belagu, jangan gila hormat, kamu nggak pantes dihormati. Sekarang jawab! Kamu udah apain ibu?" tanya Nurma dengan kasar, dia merangsek masuk dan matanya jelalatan melihat sudut-sudut rumahku.

"Aku nggak ngapai-ngapain," jawabku.

"Halah, kemarin bude ngelabrak ibu, terus malemnya kamu bawa mas Pamuji buat ngelabrak ibu juga, tega banget kamu Sekar, ibuku itu janda dan anak laki-laki yang harusnya jadi tempat dia berlindung malah kamu hasut biar ngelawan sama ibu." Telunjuk Nurma melayang-layang di depan wajahku.

Kutepis keras jemarinya itu hingga membuatnya sedikit terkejut.

"Siapa yang ngelabrak? Ibu pasti melebih-lebihkan cerita, ibu kemarin mecahin plastik beras sama telur disini, jadi mas Pamuji kesana cuma mau nasehatin, bagaimanapun perbuatan ibu itu keterlaluan, beras sama telur itu mau buat makan siang cucu-cucunya," tuturku memberi penjelasan.

"Ibu nggak sengaja, tangannya kepleset aja jadi nyamber plastik itu, lagian beras sama telur aja jadi masalah, kamu harusnya bijaksana sedikit, Kar! Mentang-mentang kamu yatim piatu jadi kamu seenaknya sama orang tuaku!" ucap Nurma sambil melipat tangan di dadanya dengan sombong.

"Nggak usah bawa-bawa orang tuaku, lagian beras dan telur kemarin itu makanan kami satu-satunya, jadi wajar kalau mas Pamuji marah dan sedih, karena anak-anaknya gagal makan layak." Sengaja kutekankan nada bicaraku pada kata terakhir di wajah Nurma.

"Kamu yang melebih-lebihkan!" hardik Nurma padaku.

"Dan ... kamu kemanain barang-barang ibu?" tanya Nurma sambil matanya berjalan-jalan menyisir sudut rumah ini.

"Asal kamu tahu barang-barang ibu itu mahal-mahal, masa gara-gara beras sama telor aja kamu mesti ngambil semua barang-barang kesayangan ibu, nggak punya hati kamu, Sekar!" tuduh Nurma.

"Oh jadi kamu kemari cuma mau ngambil barang-barang ibu?" tanyaku sinis.

"Tuh, ambil semua!" ucapku sambil menunjuk sebuah meja kecil di pojok ruang tengah.

Pintar sekali ibu, tadi pagi dia sok sedih dengan mengembalikan semua barang-barang yang selalu dipujanya di depan mas Pamuji, setelah gagal meraih simpati dan rasa iba mas Pamuji dia menyuruh anak perempuannya untuk mengambil semuanya kembali. Memang susah, ibu seperti tidak bisa hidup dengan barang-barang tidak berfaedah seperti ini.

Nurma merangsek masuk ke ruang tengah dan mengambil barang-barang ibu dengan kepayahan. Untung saja Bagas sudah mengajak Tika ke kamar untuk tidur siang, sehingga tingkah Nurma tidak mereka saksikan. Aku hanya diam dan melihatnya. Jika pada ibu, aku masih menahan diri karena rasa hormatku pada mas Pamuji, tapi pada Nurma dan Rima, aku tidak bisa membiarkan mereka berbuat seenaknya padaku dan anak-anak.

"Dihitung, jangan sampai ada yang kurang!" ucapku.

"Kalau kurang pasti kamu yang ngambil," sahut Nurma.

"Apa ibu nggak cerita kalau dia sendiri yang nganterin barang-barang itu kemari?" tanyaku penasaran, apakah ibu memutar cerita pada Nurma?

"Ibu ngomong, kan kamu yang minta buat ganti rugi telur sama beras yang ibu jatuhin!"

"Teganya ibu kaya gitu, semakin kesini semakin keluar semua aslinya," gumamku.

"Ngomong apa kamu, Sekar?!" tanya Nurma yang sedikit mendengar kata-kataku barusan.

"Bilang sama ibu, jangan lupa kalau dia juga punya anak perempuan, jangan sampai apa yang sudah ibu lakukan padaku akan menimpa kalian juga," ucapku penuh penekanan.

"Kamu makin kurang aja ya, Sekar!"

"Cukup, Nur! Mudah-mudahan ibu mertuamu nggak merampas semua gaji suamimu! Sudah dapat kan barang-barangnya? Mending kamu pergi!"

"Nggak usah ngomong gitu aku juga mau pergi, siapa yang betah di rumah jelek ini!" ucap Nurma sambil pergi.

Kutatap kepergian Nurma dengan marah, ternyata begini respon ibu ketika aku mulai berontak? Membuat drama murahan dan memalukan, memutar balik kejadian. Aku pikir gayanya yang tinggi akan membuat pola pikirnya tinggi juga, tapi ternyata tidak.

Nampaknya aku harus sedikit membantu mas Pamuji untuk memberi ibu pelajaran agar dia bertobat.

.

.

.

.

.

Dukung cerita ini dengan komen, like, dan subcribe. Terimakasih.

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

Bagus banget ini cerita nya 👍👍👍 o

2022-08-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!