"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan.
"Insha Alloh, Ji, semua tergantung niatmu. Berbakti bukan berarti harus menuruti semua yang ibumu minta, ada Sekar dan anak-anak yang harus kamu nafkahi, kamu juga berdosa kalau mengabaikan tanggung jawabmu pada mereka," terang bude Rum dengan bijaksana.
"Bude benar, aku sudah banyak salah sama Sekar," ucap mas Pamuji.
Sebenarnya aku sudah kenyang dengan pengakuan salah dari mas Pamuji, semua nggak berguna tanpa perbaikan atas sikap-sikapnya. Aku butuh ketegasan.
Dari raut wajah bude Rum, aku bisa menangkap bahwa sebelum menyusahkan kami, ibu telah terlebih dulu menyusahkan bude.
"Kalian jangan gegabah dan gampang memutuskan untuk pisah, kalau kalian pisah tambah panjang aja kesalahan ibumu itu," ucap bude.
"Batas kekuatan Sekar sudah menipis bude, Sekar nggak sanggup melihat anak-anak terus kekurangan," ucapku penuh putus asa.
"Kalau mas Pamuji nggak ngasih apa yg ibu minta, pasti ibu mikir kalau aku yang ngelarang, padahal bukannya nggak boleh, tapi kenyataannya kami juga butuh untuk hidup," tangisku meledak, bude memelukku dengan penuh pengertian.
"Sekar lelah disalah-salahkan, disindir-sindir, ibu selalu baik sama Bagas dan Tika di depan mas Pamuji, tapi selebihnya ibu selalu bersikap cuek pada cucu-cucunya sendiri, apa itu pantas bude? Kasian Bagas sama Tika, Sekar cuma pengen bawa mereka pergi jauh dari kepalsuan yang ibu buat di depan mas Pamuji," lanjutku mengadu seperti anak kecil, semua tekanan yang kupendam seolah meluncur begitu saja dengan mudahnya.
"Hati Sekar sakit setiap Bagas minta makan pake chiken sementara Sekar cuma mampu beliin dia tempe goreng, sementara ibu selalu memajang fotonya yang sedang jalan-jalan dan makan di tempat-tempat bagus dengan makanan yang enak," ucapku lagi sesenggukan, bisa kurasakan pandangan bude dan mas Pamuji melihatku dengan kasihan.
"Sekar tahu nggak mudah mendebat ibu, semua sudut pandangnya selalu benar, semua yang Sekar anggap salah selalu diputar balikan menjadi nggak salah, sepatu senam dan beras di mata ibu lebih penting sepatu senam, dan itu benar tanpa bisa Sekar ganggu gugat," tuturku, bude dan mas Pamuji hanya mendengarkan tanpa menyela.
"Sekar aja yang terlalu miskin jadi Sekar nggak sanggup memahami jalan pikiran ibu, Sekar memilih mundur Bude, cara ibu memandang kehidupan terlalu beda dengan cara Sekar," pungkasku.
"Astaghfirullohaladzim," gumam bude lirih.
Kami saling diam hanya suara tangisku yang terdengar. Beban di pikiran dan hatiku seolah menguap satu persatu, setelah mengatakan semuanya aku merasa lega, tidak pernah hatiku selepas ini. Kehadiran bude Rum saat ini membuatku merasa nyaman, hingga semya keluhan meluncur satu persatu tanpa hambatan.
Andai saja mertuaku itu seperti bude Rum, andai saja bude Rum-lah yang jadi mertuaku, andai saja ibuku masih ada sehingga ada tempat dimana aku bisa mengadu seperti ini. Kenapa mertuaku tidak seperti ibu pada unumnya?
"Bude nggak nyangka kelakuan Susi separah ini," lanjut bude.
"Dengarkan bude Rum, Sekar, kamu boleh ke rumah mas Anjar untuk menenangkan diri, tapi jangan buru-buru minta pisah," pinta mas Pamuji.
"Apa nanti setelah tenang aku bisa hidup tanpa makan, Mas? Apa nanti setelah tenang anak-anak bisa besar tanpa biaya? Tanpa Sekolah? Apa gunanya aku tenang?" tanyaku pada mas Pamuji, pertanyaan yang mungkin tidak bisa dia jawab.
"Aku akan bicara apa adanya pada ibu, tentang keadaan kita," ucap mas Pamuji.
"Mas, aku nggak yakin kamu bisa bikin ibu mengerti, yang ada ibu tambah benci sama aku." Jujur saja aku ragu, mas Pamuji tidak pandai merangkai kata.
"Nanti bude bantu Sekar, ucapan suamimu ada benarnya, sabar ... ini cobaan untuk rumah tangga kalian."
Bude terus memberiku dan mas Pamuji wejangan sampai aku lupa bahwa kami harus mengejar bus agar bisa ke rumah mas Anjar. Menjelang maghrib bude Rum berpamitan, rumah beliau hanya berbeda RW dengan kami.
Dengan berat kuurungkan kepergianku hari ini. Setelah sholat maghrib kurasakan perut yang meronta-ronta minta diisi, anak-anak dan suamiku pasti juga merasakan hal yang sama.
Beras satu gelas cukup untuk makan malam kami, aku pun memasaknya. Di dalam kulkas tersisa setengah papan tempe, kupotong-potong dan kugoreng dengan adonan tepung agar menjadi banyak. Tidak lupa aku membuat sambel orek dengan cabe yang kupetik di pot depan rumah.
Kami makan bersama malam itu dengan nikmat, tidak pernah ada lauk dan sayur, ketika ada sayur ya sayur saja dan ketika ada lauk ya lauk saja. Semua kuatur agar uang belanja yang tidak seberapa itu sampai akhir bulan.
Keesokan harinya kutebalkan muka dan menemui guru TK Bagas, kuutarakan maksudku untuk menunda lagi sampai bulan depan. Meski rasanya malu namun hanya ini yang bisa kulakukan.
Kami pulang berjalan kaki, uang di dompet hanya sisa 10.000, sementara hari sudah siang. Aku mengajak anak-anak mampir ke warung untuk membeli beras dan sebutir telur.
"Mbak Sekar irit sekali belanjanya," ucap mbak Yuyun pemilik warung.
"Iya," jawabku singkat.
"Tapi makasih lho masih belanja di warung kecil saya, kalo ibu mertuamu udah lama nggak belanja ke sini, dia pasti belanja ke alpa dan sengaja nunjuk-nunjukin merk di plastiknya, aku kesel deh sama mertuamu itu Mbak, kayak lupa aja dulu pasti ngutangnya ke sini," tutur mbak Yuyun.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum kecut, malu, bukan satu dua orang saja yang menggunjing kelakuan ibu.
"Maaf ya Mbak Sekar, habis saja jengel banget sama mertua Mbak itu, giliran nggak dikasih THR dia marah-marah."
Kusodorkan uang 10 ribu yang kupunya agar kami bisa segera pergi. Tadi pagi sebelum mas Pamuji berangkat kerja mengatakan akan mencari pinjaman untuk uang makan kami sampai gajian bulan depan, dan mas Pamuji pun berjanji akan memberikan jatah ibu secukupnya saja.
Sampai rumah aku segera memeluk Bagas, bocah 7 tahun itu heran namun menerima saja pelukanku. Dalam hati aku berjanji, aku akan menjadi ibu yang baik, setidaknya aku tidak akan menyusahkan Bagas ketika dia dewasa nanti.
"Mama kenapa?" tanya Bagas.
"Nggak papa, mama cuma bahagia aja punya Bagas," jawabku.
"Tika juga," pinta gadis kecilku sambil merentangkan tangannya.
Aku pun memeluknya dan menciumi pipinya, aku berharap kelak Tika mendapat mertua yang baik, dan suami yang mengerti bagaimana memposisikan diri antara istri dan ibunya. Aamiin.
"Sekar ...!" Sebuah suara memanggilku, aku langsung mengenali pemilik suara itu.
Pintu terbuka dan ibu langsung masuk menghampiriku.
"Iya, kenapa, Bu?"
"Kamu ngomong apa sama bude Rum?" tanyanya marah, aku diam tanpa tahu harus menjawab apa.
"Bude kenapa memang, Bu?"
"Halah, jangan pura-pura polos kamu, asal kamu tahu, ibu nggedein Pamuji biar dia berbakti sama ibu, biar masa tua ibu ada yang nanggung, bukan untuk kamu manfaatin biar kamu numpang hidup sama dia," ucap ibu marah.
"Astaghfirullohaladzim, istighfar, Bu. Kalau mas Pamuji denger pasti dia sakit hati, Bu. Dan bagaimanapun aku ini istri mas Pamuji, bagaimana bisa dibilang numpang hidup? Memang sudah jadi tanggung jawab mas Pamuji," balasku.
"Enak banget jadi kamu, dateng-dateng langsung bisa menikmati kehidupan Pamuji, ibu yang berkorban biar dia jadi kaya gini! Jadi pantes kalau ibu yang lebih banyak menikmatinya."
"Dulu ibu juga hidup susah, kamu ini harusnya banyak prihatin biar besok anak kamu juga bisa nyenengin kamu, bukannya ngarep ke anak ibu," lanjutnya.
Ibu berbalik hendak pergi, dan tangannya bergerak menangkis bungkusan beras dan telur yang kuletakan di atas meja karena belum sempat membawanya ke belakang.
Mataku bergerak seiring dengan tanganku berusaha menangkap bungkusan itu. Tepat ketika pintu tertutup bungkusan itu pun jatuh menghantam lantai dan isinya berserakan, dan telurnya ... pecah.
"Ya Alloh!" pekikku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Uthie
Jangan kira hanya anak yg bisa durhaka', tapi Orgtua juga bisa dikatakan durhaka bahkan berdosa juga jika memang berbuat dzalim 🤨😡😡
2022-08-25
0
Sulati Cus
miris pk bgt
2022-05-27
0
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Astagfirullah.... terbuat dari apa hati ibu mas Pramuji, hanya bisa menghela nafas dalam², hufftttt
2021-11-05
0